Jumat (21/1) pagi, para murid kelas 3A SDN 50 Buton, Sulawesi Tenggara, sedang antusias menyiapkan kejutan ulang tahun kepada wali kelasnya. Keributan yang terjadi akibat persiapan selebrasi ini mengganggu MS, insial guru yang tengah mengajar di kelas 4. Ia kemudian mendatangi kelas 3A dan meminta murid lebih tenang. Selepasnya pergi, murid masih menimbulkan suara gaduh. MS emosi, kembali mendatangi kelas, dan meminta wakil ketua kelas mengambil plastik bekas bungkus snack di kotak sampah.
MS memasukkan serpihan plastik ke mulut 16 murid sembari mengatakan “daripada ribut, mending makan plastik itu saja.”
Keputusan emosional guru tersebut langsung menyebabkan kegaduhan lebih besar dan serius. Beberapa murid mengaku trauma dan takut ke sekolah karenanya. Pada Senin (24/1), pertemuan orang tua murid dengan pihak sekolah digelar. MS meminta maaf atas perbuatannya. Para wali murid memaafkan, kecuali satu pihak. Satu wali murid ini masih tidak terima dan memutuskan melapor ke polisi sembari menyebarkan kasus tersebut ke publik.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Buton, Aslim, mengonfirmasi laporan. Pihaknya menyatakan sudah melakukan pemeriksaan terhadap korban dan orang tuanya.
“Hari ini [28/1] rencana kami melakukan tindak lanjut dengan mengirimkan surat undangan klarifikasi atau panggilan terhadap saksi-saksi. Saat ini, kami masih melakukan proses penyelidikan. Setelah penyelidikan, baru kita menyimpulkan apakah kasus ini kita tingkatkan ke tahap penyidikan. Sampai saat ini, kita belum menetapkan tersangka,” kata Aslim, dilansir Kompas.
Kepolisian sendiri mendorong agar kasus ini tidak diperpanjang, serta bisa diselesaikan tanpa mekanisme pidana. “Kita harapkan dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan menjadi pembelajaran untuk semuanya,” kata Kapolres Buton AKBP Gunarko.
Kepala Dinas Pendidikan Buton, Harmin, turut menginginkan adanya perdamaian. Dinas sudah mendatangi sekolah dan mendengar klarifikasi pelaku. MS, yang statusnya guru ASN, sedang menjalani hukuman internal dengan tidak diberikan jam mengajar. “Jadi hari Senin, kepala sekolah rapat dengan orang tua siswa. Setelah selesai rapat, jumlah siswa itu kan ada 16 orang, semua murid-murid ini orang tuanya sudah saling memaafkan guru ini, hanya ada satu yang keberatan dan tidak mau. Nah, inilah yang memviralkan berita itu,” kata Harmin seperti dikutip CNN Indonesia.
Merujuk situs Hukum Online, apabila pemaksaan memakan sampah plastik termasuk kekerasan terhadap anak, maka UU No. 35/2014 bisa digunakan untuk menjerat pelaku dengan pidana penjara maksimal 3,5 tahun dan denda maksimal Rp72 juta.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Mariyati mengecam tindakan MS. Hukuman yang bisa berdampak pada kesehatan anak seharusnya dihindari.
“Saya sangat mendorong bagaimana mereka saling bicara satu sama lain dan bagaimana anak-anak ini tidak merasa ketakutan, depresi, dan mereka pasti merasa tidak diperlakukan manusiawi, direndahkan ya seperti itu. Ini, menurut saya, kekerasan bukan hanya fisik, tetapi dampaknya lihat, secara kesehatan itu harus diperiksa,” kata Ai dilansir dari Detik.
Perkara guru yang menghukum murid secara tidak manusiawi masih menjadi masalah di berbagai wilayah. Pada 2020 kemarin, guru SMP berinisial YT di Nusa Tenggara Timur dipolisikan karena ketahuan menghukum muridnya dengan diminumkan air kotor apabila tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Kejadian terbongkar saat salah satu siswa bercerita saat berkunjung ke rumah kawannya. Orang tua pemilik rumah mendengar kejadian dan langsung melaporkannya ke komite sekolah. Ternyata, sudah ada 27 anak mendapat hukuman tersebut.
“Hasil penyelidikan kita ke anak-anak sekolah, mereka ada kesepakatan jika tidak mengerjakan PR, harus minum air. Ini yang kita dalami,” kata Kapolres Lembata Janes Simamora. “Orang di sana kan memanfaatkan air hujan kalau musim hujan karena pelayanan air di sana belum maksimal. Maka, mereka menampung air hujan pakai profil tank. Informasinya, air hujan itu sudah berlumut, sudah berjentik.”
Guru yang menghukum murid dengan kegiatan fisik tanpa melihat kondisi murid juga bisa berakibat fatal. Lintang, murid SMP Negeri 1 Palasah, Kabupaten Majalengka, meninggal dunia setelah dihukum mengitari lapangan 10 kali karena tidak mengerjakan PR. Baru putaran kedua, Lintang ambruk dan nyawanya tak tertolong. Pihak keluarga lantas tidak membawa kasus ini ke ranah hukum setelah menganggapnya sebagai musibah.
Data 2019, KPAI mencatat masih banyak kasus kekerasan terhadap anak di lingkungan pendidikan terjadi, baik secara verbal, fisik, psikis, hingga seksual. Komisioner KPAI Retno Listyarti kala itu menjelaskan bahwa guru dan pihak sekolah masih saja memberikan hukuman fisik bagi siswa nakal meski dapat berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Dari 153 kasus kekerasan fisik di institusi pendidikan pada tahun itu, mayoritas dilakukan oleh guru atau kepala sekolah sebanyak 44 persen.