*Peringatan: deskripsi kekerasan seksual dalam artikel ini dapat membangkitkan trauma.
Nominasi manusia paling bajingan 2021 diraih lelaki bernama Herry Wirawan (36), pemilik dan pengasuh rumah tahfidz (penghafal Al-Qur’an) Al-Ikhlas dan sekolah Madani Boarding School, keduanya di kawasan Cibiru, Kota Bandung. Pesantren yang sedianya menjadi rumah bagi anak-anak perempuan belajar menghafal kitab suci tersebut jadi tempat Herry mencari mangsa.
Sebanyak 13 santriwati di bawah umur diperkosa Herry selama rentang 2016-2015. Delapan korban hamil, salah satunya hingga dua kali, melahirkan total sembilan bayi. Yang lebih brengsek, anak-anak hasil pemerkosaan tersebut juga dieksploitasi Herry untuk mencari sumbangan untuk operasional pesantren.
Kejahatan berat Herry terkuak pada Mei 2021, namun kasusnya baru diketahui publik setelah sidang kesekian di PN Bandung pada 7 Desember dibicarakan akun Twitter Nong Andah Darol Mahmada. Herry sendiri sejak 1 Juni lalu sudah ditahan di Rutan Kebon Waru, Bandung.
Mary Silvita, pendamping korban, mengatakan kepada BBC Indonesia, tragedi ini terungkap ketika salah satu korban yang sedang pulang kampung dipergoki tetangga sedang membeli alat uji kehamilan. Korban kemudian mengaku telah diperkosa Herry, mendorong keluarga langsung melapor ke polisi. Setelah kejadian ini terungkap, tetangga Herry mengaku tak pernah menduga pria itu bisa sangat bejat.
Mary mengatakan, dari 13 korban yang diketahui saat ini, mereka berusia antara 13-16 tahun ketika mengalami pemerkosaan. Delapan orang di antaranya hamil dan telah melahirkan. Bahkan salah satu korban dua kali hamil. Saat ini, sudah 9 bayi lahir akibat pemerkosaan yang dilakukan Herry. Menurut Plt. Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono saat dikonfirmasi Sindonews, masih ada dua korban yang sedang hamil, membuat jumlah anak hasil pemerkosaan Herry kemungkinan besar akan mencapai 11 bayi. Mary memperkirakan, jumlah korban bisa lebih besar karena ada santriwati yang sudah tidak tinggal di pesantren.
Dari paparan pengadilan, Herry memakai 10 lokasi untuk melakukan pemerkosaan. Daftarnya antara lain Kantor Yayasan Manarul Huda di Antapani, kantor Yayasan Tahfidz Madani di Cibiru, Pesantren Manarul Huda di Cibiru, Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Cibiru, serta di 5 hotel dan 1 apartemen di Bandung.
Ketika melakukan pemerkosaan di Rumah Tahfidz Al-Ikhlas—pesantren yang semua muridnya perempuan dan menjadi tempat tinggal Herry—ia sering memakai modus pura-pura minta dipijat santriwati di kamar. Jaksa menyebut, meski korban ketakutan dan menangis, Herry tetap memaksakan pemerkosaan tersebut.
Dari fakta persidangan, Herry memakai 10 lokasi untuk melakukan pemerkosaan. Daftarnya antara lain Kantor Yayasan Manarul Huda di Antapani, kantor Yayasan Tahfidz Madani di Cibiru, Pesantren Manarul Huda di Cibiru, Rumah Tahfidz Al-Ikhlas di Cibiru, serta di 5 hotel dan 1 apartemen di Bandung.
Ketika melakukan pemerkosaan di Rumah Tahfidz Al-Ikhlas—pesantren yang semua muridnya perempuan dan menjadi tempat tinggal Herry—ia sering memakai modus pura-pura minta dipijat santriwati di kamar. Jaksa menyebut, meski korban ketakutan dan menangis, Herry tetap melakukan pemerkosaannya. Bahkan pemerkosaan tetap dilakukan ketika korban sedang haid maupun sedang mengandung.
“Perbuatan terdakwa menyebabkan anak korban terganggu secara psikologis kejiwaannya, menjadi benci, marah dan takut terhadap terdakwa,” demikian bunyi tuntutan jaksa, dilansir Kumparan. “Ketika anak korban sedang haid terdakwa dengan cara paksa dan kasar terus menyuruh anak korban untuk terus melayani nafsu bejat terdakwa untuk berhubungan intim.”
Untuk membuat korban menurut, Herry Wirawan mengeksploitasi kemiskinan korban-korbannya. Ia memberi janji “akan dinikahi”, “dibiayai kuliahnya”, dan “akan dijadikan polwan”. Ia juga memperdaya korban dengan bilang anak yang dikandung korban akan dirawat bersama dan “dibiayai sampai kuliah”. Intimidasi lain dilakukan dengan memberi dogma bahwa korban “harus taat kepada guru”.
Roni, warga Garut yang tiga saudara perempuannya diperkosa Herry, mengatakan bahwa korban juga diiming-imingi sekolah gratis di pesantren Herry. “Ada ngaji gratis dan sekolah gratis, yang namanya orang tidak punya uang dan modal pastilah tergiur,” ujar Roni kepada Pojoksatu.
Namun, penderitaan korban tak hanya itu. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menyebut, Herry juga memperbudak korban secara ekonomi dengan mengambil uang Program Indonesia Pintar milik korban, serta memaksa korban menjadi kuli di pembangunan pesantren milik pelaku. “Serta para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru,” bunyi rilis Wakil Ketua LPSK RI Livia Istania D.F. Iskandar, dilansir Detik.
Itu saja? Rupanya tidak. LPSK turut mengungkap bila Herry mengklaim anak-anak yang dilahirkan korban sebagai yatim piatu, serta memakai mereka untuk mencari sumbangan bagi kepentingan pesantrennya.
“Fakta persidangan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak,” tambah Livia.
Saat ini, jaksa Kejati Jawa Barat mempersiapkan tuntutan penjara 20 tahun, menggunakan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 1 dan 3. Walau rencana tuntutan ini sudah diperberat dari semula 15 tahun, keluarga salah satu korban meminta hukuman lebih: kebiri atau penjara seumur hidup. “Seharusnya hukuman paling ringan itu hukuman kebiri atau seumur hidup, maunya keluarga seperti itu,” kata Hikmat Dijaya, wakil dari salah satu keluarga korban, kepada Sindonews. Kejati menyebut, akan mengkaji dulu opsi hukuman kebiri.
Kejahatan mengerikan ini mendorong dibuatnya panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren, sesuatu yang belum pernah disusun Kementerian Agama—otoritas yang mengatur sekolah keagamaan—hingga saat ini. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Waryono mengatakan kepada BBC Indonesia, ia sudah tahu kasus Herry sejak Mei lalu. Namun lembaganya menyimpan kasus ini atas kesepakatan dengan Polda Jawa Barat dan LSM, dengan alasan nanti “ramai” dan “kasihan santrinya”.