Sejak akhir Oktober 2021, sebagian wilayah di Kalimantan Barat mengalami bencana banjir bandang. Banjir terburuk dialami wilayah Kabupaten Sintang, yang mana tercatat 12 kecamatan masih terendam air setinggi 5-7 cm hingga artikel ini tayang.
Merujuk laporan Detik.com, setidaknya 140 ribu warga di Kabupaten Sintang terdampak banjir, memaksa ribuan orang mengungsi, sementara dua orang tewas. Selain Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Ketapang, dan Sekadau di Kalbar turut mengalami banjir akibat curah hujan yang tak tertampung di kawasan hulu sungai, merangsek permukiman warga.
Gubernur Kalbar Sutarmidji secara tegas menyebut bencana banjir tahun ini akibat deforestasi hutan di wilayahnya, menyebabkan sungai meluap tak terkendali ketika curah hujan meningkat sejak 13 Oktober lalu. Deforestasi itu, menurutnya, dipicu tindakan perusahaan sawit yang abai menanam lagi kawasan hutan yang sudah ditebangi. Gubernur yang kerap dijuluki Bang Midji itu mengakui aktivitas pertambangan tanpa izin juga patut disalahkan, karena membuat area resapan air berkurang drastis di daerah aliran sungai (DAS).
“[Banjir] sekarang ini lebih banyak karena deforestasi dan pertambangan tidak diikuti dengan menangani tempat pembuangan, aliran air dan sebagainya,” kata Sutarmidji saat diwawancarai di TVOne. Dari catatan Pemprov Kalbar 70 persen DAS Sungai Kapuas telah rusak akibat kombinasi aktivitas perkebunan dan tambang, padahal wilayah sekitar sungai tersebut menjadi jantung peradaban Kalbar selama ini.
Pada 8 November 2021, Sutarmidji mengaku telah mengundang 20 perusahaan sawit yang beroperasi di Kalbar ke kantornya di Pontianak, dalam rangka meminta mereka turut menyediakan bantuan bagi warga yang terdampak banjir. Namun, menurut gubernur, utusan korporasi yang datang adalah pegawai yang tidak bisa mengambil keputusan, atau berdalih izin konsesi mereka jauh dari wilayah terdampak banjir.
Merasa terhina mendengar berbagai alasan tersebut, Sutarmidji mengusir ke-20 perwakilan perusahaan sawit dari kantornya. Pengakuan itu ditulis sang gubernur di laman Facebook pribadinya.
Sutarmidji mengakui hutan di Kalbar sudah menyusut parah, bahkan nyaris habis, karena kekeliruan kebijakan pemerintah. Pemprov dan kementerian pusat selama bertahun-tahun mengobral Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI). Ditambah pengawasan yang lemah, alhasil pelanggaran izin kerap terjadi dari lapangan.
“HTI itu kan diberikan harusnya dengan meanajemen dalam memperlakukan lahan. Tapi yang dilakukan oleh pemegang konsesi HTI saat ini adalah kayu-kayu nya diambil semua, ditebang semua, iuran hasil hutannya tidak dia bayar kemudian lahan dia tinggalkan, dia tidak tanam lagi,” ujar Gubernur Kalbar seperti dikutip CNN Indonesia.
Sutarmidji berdalih penindakan perusahaan sawit yang menggunduli hutan, atau tambang yang merusak aliran sungai, tak semata-mata berada di bawah kendali Pemprov Kalbar. Dia menyalahkan pemerintah pusat, lantaran izin sebagian bisnis ekstraktif tersebut diterbitkan oleh pejabat di Jakarta.
“Sekarang kita tidak tahu siapa yang tanggung jawab untuk tangani pertambangan, karena perizinannya di pusat,” kata Sutarmidji saat dikonfirasi Tribun Pontianak. Dalam wawancara terpisah, Gubernur Kalbar mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencabut semua HTI sawit di wilayahnya, lalu dikembalikan ke masyarakat.
Sikap keras gubernur kalbar terhadap Sawit ini mengikuti tren kepala daerah di Indonesia yang mulai merasa ekspansi sawit di wilayah mereka lebih mendatangkan mudharat. Pada 2017, gubernur Papua maupun Papua Barat, sama-sama berkomitmen melestarikan 70 persen area hutan di wilayah mereka, mengurangi ekspansi industri ekstraktif.
Adapun pada April 2021, Bupati Johny Kamuru mencabut izin tiga perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sorong, Papua Barat. Tindakan sang bupati berujung gugatan ke PTUN, yang masih disidangkan sampai sekarang. Pemkab Sorong menengarai izin perkebunan hanya jadi modus untuk membalak kayu, sehingga merusak lingkungan dan kualitas hidup warga.