#gengsawo93
#episode2
Oleh : @Sofyan Mohammad
LIPUTAN4.COM, Kabupaten Semarang – Tiap hari minggu adalah hari yang selalu kita dinanti nantikan. Banyak agenda permainan sudah kita rencanakan. Biasanya pada hari minggu pagi kita anak anak desa termasuk kami Geng Sawo beramai ramai ke kedung/ belik/ sungai kecil yang kami sebut Kali Bendho. Untuk mencuci pakaian, seragam, tas dan sepatu sekolah.
Minggu pagi itu kami tidak beraktifitas di Kali Bendho sebab sudah beberapa minggu sebelumnya kami sudah merencanakan untuk jalan jalan ke Umbul Senjoyo, Tegalwaton, Tingkir, Salatiga.
Sejak pagi buta kami berjalan berjejer beriringan menyusuri lorong jalan setapak kebun tebu di dusun krancah, menyusuri jalan setapak pematang sawah yang luas wilayah desa nyamat hingga tingkir lor dan menyusuri sungai cengek, kadipurwo dan sampailah kami di Umbul Senjoyo yang tumbuh pohon pohon trembesi, ringin, preh hingga mahoni yang sangat besar, kekar dan berdahan sangat rimbun.
Perjalanan kaki yang kami tempuh sama sekali tidak membuat merasa lelah sebab diperjalanan selalu diselingi dengan aneka canda tawa dan tingkah tingkah lucu kami anak anak geng sawo. Sehingga tanpa disadari tiba tiba sudah sampai tujuan.
Di Umbul Senjoyo pagi itu sudah sangat ramai pengunjung. Umbul kolam sudah penuh orang yang berenang. Di Umbul lain sudah banyak ibu ibu mencuci pakaian karpet selimut dll dan di buritan bibir bibir sungai sudah banyak orang orang mandi. Warung warung yang menjual kopi, gorengan, jagung bakar dll sudah penuh terisi hingga tak ada kursi kosong didalamnya.
Kami saat itu sudah siap siap mau langsung berenang di Umbul yang biasa orang dewasa berenang. Kedalaman kolam sekitar 120 m. Kami tidak takut sebab kami sudah terbiasa dan terlatih cekluk atau berenang di Kali Bendho yang dalamnya lebih dari 120m.
Saat itu semua sudah melepas baju dan hanya menyisakan celana kolor dan satu persatu sudah mulai masuk kolam. Hanya Munadak yang tidak masuk kolam. Saya perhatikan dia hanya duduk duduk dibawah pohon trembesi yang besar sambil terus mengamati tiada henti sosok laki laki paruh baya berambut gondrong beruban semua. Sehingga keseluruhan rambut hingga kumisnya terlihat putih kepera perakan.
Aku bergegas naik dari kolam dan mendekati Munadak apa yang sebenarnya dilakukan. Dan benar ternyata Munadak sedang mengamati dan memperhatikan laki laki gondrong berambut perak itu. Lantas aku dekati sambil aku remas pundaknya ” kenapa kamu ngak ikut berenang..?”
Munadak yang jelas mendengar pertanyaanku hanya diam saja. Lantas kulangi pertanyaan
” siapa orang itu kok keren dan sangar sekali”
Seketika tanpa memandangku Munadak langsung menjawab dengan cepat
” orang itu namanya Mbah Ocoor geng Pos Tingkir, coba kamu perhatikan itu sangat kereen kan dan dia itu sangat ditakuti oleh semua orang!”
Aku melanjutkan pertanyaan
” apa dia sakti kebal senjata atau memiliki ajian lembu sekilan seperti kata kencuk?
Munadak berdiri dan langsung memegang pundaku sambil berkata yang bernada menjelaskan.
” Mbah Ocoor ini hidup dijalanan sejak kecil saya sudah sering mendengar kisahnya. Dia Preman yang baik hati ngak suka sewenang wenang, katanya juga sering menolong orang yang lemah. Dia katanya juga sakti tapi ngak tahu apa ajian yang dia miliki. Saya ini sedang mengawasi sejak tadi dan benar saya melihat dengan mata kepala sendiri jika dia sangat ditakuti orang. Tadi hanya satu kali gertakan saja beberapa orang bergerombol itu semua terdiam dan minta ampun pada Mbah Ocoor !”
Kata Munadak sambil jarinya menunjuk ke arah 6-10 laki laki yang duduk bergerombol dibawah pohon beringin. Lantas ku lanjutkan pertanyaan
” Masalahnya apa kok sampai digertak sama Mbah Ocoor? ”
Munadak menjeleskan dengan serius
” Masalahnya orang orang itu tadi kayaknya akan mau membuat keributan dengan orang lain lantas ada orang yang memberitahu pada Mbah Ocoor. Dan saya melihat sendiri sekali gertak orang orang itu pada ketakutan. Wah pokoknya hebat Mbah Ocoor”
Saat itu aku bergegas ganti pakaian dan menemani Munadak mengikuti perjalanan Mbah Occor. Setiap gerak geriknya kami perhatikan. Sungguh beralasan sekali bagiku apabila kawanku Munadak sangat ngefans berat sama Mbah Ocoor. Sebab dia adalah sosok preman jalanan yang tidak menakutkan seperti digambarkan dalam berbagai film maupun cerita cerita selama ini.
Setelah beberapa jam di Umbul Senjoyo selanjutnya kami pulang berjalan kaki dengan menempuh rute yang lebih jauh. Sebab menuruti kemauan Munadak yang akan melakukan semacam observasi terhadap tokoh idolanya Mbah Ocoor yang bermarkas di Pos Tingkir Salatiga.
Dari Umbul Senjoyo kami berjalan menuju Pos Tingkir setelah sekitar 30 menit kami sampai. Kami hanya duduk duduk dibawah pohon mahoni yang besar tinggi menjulang dipinggir jalan samping Polsek Tingkir. Kami hanya seperti menghitung setiap kendaraan yang lewat. Kami semua memang ngak membawa uang sama sekali sehingga kami tidak ada yang berani mendekati warung sekedar hanya mau membeli es.
Setelah beberapa lama kami duduk tiba tiba dari samping kami lewat laki laki paruh baya berambut gondrong lebat sepunggung berwarna uban keperak perakan. Bercelana dan berjaket jeans serta berkaca mata hitam. Berjalan tepat disamping dan melintas didepan kami yang sedang duduk dan menunggunya. Seketika itu Munadak langsung berdiri mencium tangan laki laki itu. Dan ternyata laki laki itu menyambutnya dengan senyum. Karena hal itu kita sama sama ikut mencium tangan laki laki itu.
Sambil menerima ciuman tangan dari kami Mbah Ocoor berkata
” anak kecil jangan main main dijalan. Berbahaya, sekarang pulang sana dicari orang tuamu”
” Gihh Mbah”
Jawab kami kompak.
Setelah itu kami bergegas pulang dan yang tampak paling berbahagia adalah Munadak sebab dapat bertemu langsung dan mencium tangan idolanya. Di sepanjang perjalanan hanya diisi peran parodi Munadak yang memainkan peran sosok idolanya.
Munadak sangat fasih dan mirip menirukan suara, kalimat hingga gaya Mbah Ocoor. Disepanjang jalan kami terus diguyur canda tawa hingga tanpa sadar kita sudah sampai dirumah masing masing.
Ritual Munadak dan Kencuk Agar Bisa Menggunakan Nama Mbah Ocoor
Sepulang dari plesir di Umbul Senjoyo sengaja saya menemui Munadak tentang nama panggil yang cocok diantara pilihan pemberian yaitu Manol, Blekok atau Pak Thun saat itu Munadak dengan tegas menolak nama nama itu.
Sambil menolak nama nama itu akan tetapi secara tidak langsung selalu menyinggung sosok Geng Pos Tingkir yang dikaguminya tersebut.
Saya cukup paham jika senyatanya Munadak hanya mau dipanggil nama parapan adalah ketika sama dengan nama idolanya. Lantas dengan hati hati saya menyampaikan pada Munadak
” Bos bila nama akrabmu atau nama panggilan adalah Mbah Ocoor bagaimana bos..?”
Munadak dengan mata berbinar dan tampak bahagia langsung menjabat erat tanganku sambil berkata
” kalau nama itu rasanya aku sudah cocok silahkan memanggilku dengan nama itu”
Masih dalam genggaman tangannya saya melanjutkan pertanyaan
” Mbah Ocoor asli kan sudah tua sedang kamu kan masih kecil kok dipanggil mbah..?”
Sambil melepas gengaman tanganya Munadak menjelaskan
” Masalah itu nanti aku akan melakukan sesuatu bersama kencuk. Untuk itu tolong kabari temen temen nanti habis maghrib. Kita kumpul di markas
Setelah pertemuan itu pada sore harinya saya memberitahukan kepada anggota Geng Sawo lainya. Dan setelah Maghrib semua telah berkumpul di atas tikar pandan dibawah rimbun pohon Sawo kita menggelar rapat. Semua sudah tahu tentang yang dibahas menyangkut keselamatan, kepantasan dan etika pemberian nama Mbah Occor pada Munadak yang dianggap masih kecil. Ditengah pembahasan Kencuk menyampaikan pendapatnya
Poro dulur kabeh pemberian nama panggil Munadak dengan nama Mbah Occor menurut primbon yang saya ikut membuka dirumah Mbah Jiyat sangat tidak cocok, bertentangan dengan Neptu dino dan taliwangke. Belum lagi kawan kita Munadak ini masih kecil seumuran kita kok akan dipanggil dengan mbah, itu namanya ora toto, tidak adab sopan santun. Agar nama itu nanti bisa digunakan maka harus dilakukan topobroto Munadak sendiri dan saya selaku pendampingnya!
Kami semua terdiam lantas Kencuk melanjutkan
” Menurut Mbah Jiyat jenis topobrotonya apa, saya juga sudah dijelaskan nanti hal ini akan saya bicarakan khusus dengan Munadak. Adapun umborampe pada saat wisuda nanti akan kita dapatkan dalam laku topobroto yang saya dan Munadak lakukan. Sekarang habis ini saya akan ngomong berdua dengan Munadak silahkan yang lain bisa keteras rumah dulu.
Pinta Kencuk sambil jari jempol kananya menunjuk arah teras rumah Munadak.
Saya, Kothe dan Boneng langsung buru buru menuju teras rumah.
Dibawah pohon Sawo terlihat Kencuk dan Munadak berbicara serius. Tampak Kencuk seperti memperagakan adegan seperti orang semedi, ada juga adegan seperti orang menari nari, adengan pencak sikat maupun adegan seperti orang naik kuda lumping dan nampak nampaknya semua adegan tersebut ditirukan secara fasih oleh Munadak.
Sebelum adzan Isya berkumandang kami semua dipanggil dibawah pohon Sawo. Kita sudah diberitahu jenis lelaku apa yang akan dilakukan oleh Munadak dan Kencuk agar bisa menggunakan nama Mbah Ocoor. Kami semua hanya disuruh merahasiakan apapun yang terjadi. Akan tetapi apabila sampai dalam waktu 2 hari 2 malam ngak ada kabar maka kami disuruh untuk mencarinya di sekitar komplek Kuburan cilik yang sudah terkenal wingit dan angker seantero desa.
Sejak kamis sore saya, Kothe, Boneng dengan melibatkan anggota relawan lainnya seperti Blenyek, Gembrot, Welut, Londheng Bleweh sudah diperintahkan oleh Kencuk dan Munadak untuk mencari beraneka ragam bunga termasuk bunga Kamboja yang tumbuh di kuburan.
Kami berpencar 2 – 3 orang menyusuri sudut sudut desa, mulai pekarangan rumah orang, peceran peceren disumur warga, perkebunan yang angker hingga dipekuburan sambil menenteng tas kresek untuk memunguti beraneka jenis bunga.
Sampai pada sore hari sebelum Adzan Magrib di Markas Geng Sawo sudah terkumpul setidaknya 7 kantong plastik besar beraneka ragam kembang yang berhasil kami punguti dari seantero desa.
Setelah Sholat Magrib kami bergegas lari mengendap endap meninggalkan masjid agar tidak ketahuan Pak Kyai Jadid sebab jika ketahuan pasti kami dimarahi dan dilarang sebab biasanya pada malam jumat dimasjid pasti ada acara tahlilan dan Yasinan yang dilanjutkan hingga sholat Isya secara berjamaah.
Sampai di Markas Geng Sawo Kencuk langsung memerintahkan
Hey Kamu Blenyek, Gembrot, Welut, Londeng dan Bleweh tolong kamu bawa 4 kantong plastik ini ke Sumur. Nanti kamu masukan dalam tong air. Selanjutnya tong itu kamu isi sampai penuh ya.
Blenyek, Gembrot, Welut, Londeng dan Bleweh langsung menyatakan
siapp laksanakan pak
Sambil mengangkat 4 kantong plastik menuju sumur belakang rumah.
Kami bertiga mendapatkan tugas untuk merajut bunga bunga tersebut dengan benang agar membentuk kalungan bunga. Sementara terlihat Kencuk dan Munadak latihan menghafal mantra mantra doa. Sebelum Adzan Isya 2 kalungan bunga sudah dapat kami selesaikan demikian 2 (dua) tong air sudah diisi penuh oleh Blenyek, Gembrot, Welut, Londeng dan Bleweh.
Setelah iqomah tanda Sholat Isya akan dimulai kami semua lari tunggang langgang terlebih dahulu menuju masjid untuk ikut menunaikan sholat Isya secara berjamaah. Kami sengaja datang setelah iqomah adalah untuk menghindar agar tidak kena marah sama pak Kyai Jadid.
Selesai Sholat kami berlima menuju Markas Geng Sawo Kencuk semacam memberi wejangan kapada kami
” kamu semua, tolong sampaikan pada bu guru kalau besok saya dan Munadak sedang sakit perut sehingga ngk bisa masuk sekolah. Kalau ditanya orang tua kami bilang saja ngak tahu. Ingat apabila sampai hari sabtu sore kami belum kembali kesini maka kamu semua harus menjemput kami di kuburan cilik. !”
Munadak menambahkan
” Kami mohon doa nya semoga topobroto yang kami lakukan membuahkan hasil dan qobul”
Kami semua menyahuti nya
Amien Amien Amien Ya Robal Alamin
Setelah itu Munadak dan Kencuk menuju sumur untuk mandi kembang didalam 2 tong yang telah terisi air dan kembang tersebut. Selesai mandi keduanya mengajak kami untuk mengantar mereka sampai pintu masuk kuburan cilik yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah Munadak.
Disepanjang jalan menuju kuburan cilik kita melewati tritisan (teras belakang) rumah Pak Harun. Terlihat pak harun sedang mempersiapkan bumbung bumbung (potongan bambu seukuran satu ros) untuk tempat menyeduh nira diatas pohon kepala. Karena berjalan mengendap endap semua tidak memperhatikan hanya saya yang sempat memperhatikan situasi.
Sesampai dipintu masuk kuburan cilik Kencuk berujar
” Wis tekan kene wae dulur, aku sama munadak tak melanjutkan laku topobroto. Doakan saja ya semoga qobul. Dan ingat pesan pesan kami !”
Munadak dengan suara yang cukup bergetar menambahi
” Koncoku kabeh dongaake kabeh Slamet dan qobul semua keinginan ya”
Kami bertiga mengangguk sambil mengucap ” yaaaa” Lantas kami berlima berangkulan setelah itu kencuk mulai berjalan kearah nisan utama kuburan cilik diikuti munadak sambil membawa kalungan bunga dan dua bungkus kantong plastik berisi beraneka kembang.
Kuburan cilik adalah salah satu sebutan untuk kuburan tidak terpakai di desa kami. Letaknya di tengah tengah Desa Kami. Di kuburan itu yang tampak hanya terdapat 2 nisan kuburan dan tumbuh berbagai tanaman seperti pohon trembesi, pohon Kamboja maupun pohon kemuning. 2 nisan itu tidak diketahui secara pasti akan tetapi para sesepuh bilang bahwa itu adalah makam leluhur desa kami yang tergabung dalam laskar Diponegoro dalam perang Jawa 1825 – 1830 M.
Setelah Kencuk dan Munadak sudah benar benar masuk diarea perkuburan maka kami bergegas akan pulang tapi ditengah perjalanan saya menghasut Boneng dan Khote. Untuk mengintip ritual apa yang sebenarnya Kencuk dan Munadak lakukan. Nampaknya semua semua juga merasa penasaran hingga akhirnya kami berjalan berputar arah dengan mengendap endap menuju pusat terdekat semedi Kencuk dan Munadak.
Saat kami bersembunyi disemak semak dibalik daun daun lumbu yang besar dan lebar lebar didepan kami berjalan Pak Harun dengan membawa oncor bambu sambil memikul bumbung didepan dan dibelakang.
Di desa kami rata rata orang bermata pencaharian sebagai petani dan penyadap nira kelapa. Jika pagi hari sebelum bertani disawah atau diladang maka akan menyadap nira terlebih dahulu. Sore hari setelah bertani maka baru dilanjutkan mengambil nira bahkan hingga tengah malam hari. Seperti halnya pak Harun ini sudah menjadi kebiasaan jika tengah malam sering masih menderes kelapa menyeduh nira.
Malam itu karena terburu buru Pak Harun sama sekali tidak memperhatikan jika dikuburan cilik ada dua orang anak kecil sedang bermain main disitu. Pak Harun berjalan saja dan langsung memulai pekerjaanya Menderes nira di pohon kelapa di sekitar kuburan cilik. Kencuk dan Munadak karena sedemikian konsentrasi maka tidak memperhatikan jika ada pak Harun lewat di sekitarnya.
Kami yang bersembunyi dibalik semak semak hanya bisa melihat aksi hebat dan memukau dari pada Kencuk dan Munadak. Didalam area kuburan tersebut Kencuk yang diikuti oleh Munadak terlihat melakukan gerakan tari dengan koreografi yang sangat indah menawan. Dibawah sinar bulan purnama malam itu. Hembusan angin bertiup sepoi menyibak harum beraneka kuntum bunga yang sudah tersebar di pelataran tanah kuburan. Bunyi burung gagak bersahutan dengan bunyi burung belok dan bunyi codot yang berterbangan dari berbagai penjuru menciptakan bunyi berdesingan hingga tercipta laggam dalam harmoni alam tak terkira.
Suasana estetik penuh keindahan sebagai sebuah pertunjukan malam itu terlihat dari setiap hentakan kaki maupun liukan tubuh mungil Kencuk – Munadak dalam selimut koreografi mahakarya Kencuk, yang presisi dengan lighting alam sinar bulan purnama bersama hembusan angin yang menggugurkan daun daun trembesi menerobos asap dupa yang membumbung.
Malam itu menjadi terasa sangat spektakuker sebab penampilan Kencuk – Munadak diiringi oleh orkestra yang memukau dalam tempo dan arasemen musik yang alami yaitu perpaduan antara bunyi burung gagak yang bertengger dipuncak puncak pohon kemuning. Bunyi burung belok atau burung hantu yang bertengger didahan dahan pohon trembesi serta beratus ratus codot ( lowo/kelelawar) yang terbang hinggap lalulalang diantara ranting pohon mengkudu, pohon beringin preh dan pohon sawo yang tumbuh di sekitar kuburan cilik.
Bunyi bunyian itu saling sahut sahutan menciptakan harmoni yang laras dan epik. Menambah estetik dan mahal penampilan Kencuk – Munadak malam itu.
Kami yang bersembunyi dibalik semak semak tidak bisa berkata apa apa. Kami bertiga dibuat takjub hingga hanya bisa diam mematung, menyaksikan aksi spektakuler Kencuk – Munadak.
Gigitan nyamuk dan ruam rasa gatal dihampir sekujur tubuh akibat bersentuhan dengan tumbuhan lateng yang awalnya kami rasakan tiba tiba hilang seakan terlupakan sebab penampilan memukau dua kawan kami tersebut.
Dalam suatu sesi tiba tiba Kencuk dan Munadak duduk bersila seperti posisi Budha. Kami yang menyaksikan ikut larut dengan mengatur nafas kami. Tiba tiba didepan semak semak tempat kami bersembunyi lewat Pak Harun berjalan sambil memikul dua ombyok bumbung didepan dan dibelakang, tangan kanannya membawa obor sebagai penerang. Dipinggulnya ada sabuk terbuat dari anyaman rotan biasa disebut tampar untuk memasang sabit guna memangkas manggar bijih tunas kepala yang disadap menjadi nira.
Pak Harun terlihat jalan sangat tergesa gesa menahan berat pikulanya. Sehingga dia tidak memperhatikan kanan dan kirinya. Namun cukup membuat panik kami. Situasi tersebut juga tidak disadari oleh Kencuk – Munadak. Setelah adegan mematung seperti Budha selanjutnya terlihat mereka bersendra tari seperti gerakan leak di pulau Bali. Kami yang awalnya panik kini seakan ikut ikutan semangat seperti tempo Tarian yang dimainkan Kencuk – Munadak. Gerakan itu rancak namun sungguh sangat mempesona. Ditengah tengah gerakan itu. Saya sempat menyaksikan Pak Harun yang ternyata berhenti di bawah Pohon Kelapa diluar pagar pembatas Kuburan Cilik berjarak sekitar 15 m dari aksi Kencuk – Munadak.
Pak Harun terlihat dengan menggunakan oncor mulai memanjat, kira kira 5-6 meter diatas pohon kelapa Pak Harun menoleh kearah aksi Kencuk – Munadak seketika itu Pak Harun langsung berteriak teriak kencang…
” Tuyul tuyul tuyul…..”
Sambil menjatuhkan diri terjun bebas dari atas pohon kelapa.
Kami yang mendengar itu tadinya mau berdiri untuk menolong Pak Harun yang terlihat cidera. Namun belum sempat kami memulai beranjak untuk menolong justru terlihat dengan susah payah pak Harun mampu berdiri sendiri sambil berteriak
” Awas ada Tuyul tuyul tuyul tolong ada tuyul….”
Sambil berlari melawati tempat persembunyian kami. Tanpa ada koordinasi tiba tiba Boneng dengan inisiatifnya sendiri berdiri dengan menutupi seluruh wajahnya dengan sarung hitam dan dan hanya memperlihatkan gigi giginya yang besar besar, sambil berteriak mengaum seperti singa_WAOOUGHMM_. tepat ketika pak Harun berlari sampai didepan kami.
Pak Harun seketika itu terkaget kaget dan langsung terjatuh. Kami semua panik karena kami mengira Pak Harun Pingsan. Namun tidak berselang lama Pak Harun ternyata bisa bangun lagi dan bisa kembali berlari meski dengan susah payah sambil terus berteriak teriak
” ada Tuyul tuyul tuyul tolong ada tuyul dan gendruwo glundung pringis sedang pesta pora di kuburan cilik”
” Tolong, tolong, tolong ada tuyul….”
Begitu teriakan Pak Harun hingga kami tidak mendengar lagi teriakanya.
Insiden Pak Harun tersebut ternyata sudah diketahui oleh Kencuk – Munadak namun mereka nampak masih tenang. Mereka terlihat masih menyelesaikan salah satu adegan seperti patung Krisna dengan posisi berdiri dengan kedua jari tertekuk didepan dada. Sayup sayup aku sempat mendengar bacaan mantra doa mereka. Akhirnya aku sendiri yang datang menemui mereka di tengah tengah kuburan kecil. Tidak berlama lama aku menjelaskan agar mereka mau mengakhiri Topobrotonya dulu dan bersembunyi dibalik semak semak yang sudah kami persiapkan, Kencuk – Munadak mengendap endap mengikuti langkahku menuju semak semak tempat persembunyian.
Tidak begitu lama kami bersembunyi belum sempat tegur sapa selain hanya menahan rasa gatal akibat nyamuk dan senyawa tumbuhan lateng yang menyentuh kulit kami. Dari arah kampung terlihat berjejer oncor lampu penerang berjalanan kearah kuburan cilik. Kami semua diam mematung dibalik semak semak. Ketika sampai didepan kami maka kami dapat menghitung jumlah orang dan hafal dari suara suaranya. Bahwa mereka semua adalah para tetangga kami berjumlah 7 laki laki dewasa, 2 orang perempuan dewasa. Termasuk diantaranya adalah Bapaknya Boneng, ibunya Munadak dan Bapaknya Kothe.
Dari pembicaraan mereka yang berhasil kami curi curi dengar maka intinya bersumber dari cerita versi Pak Harun yaitu :
Pak Harun telah melihat sendiri ratusan mahluk halus berbentuk tuyul sedang melakukan pesta pora di pelataran tanah kuburan cilik. Para Tuyul tersebut telah mengajak pak Harun untuk ikut berpesta akan tetapi pak Harun menolak. Sehingga para Tuyul itu marah sehingga Pak Harun diseret paksa dari atas pohon kepala. Setelah itu Pak Harun sudah mau dibunuh oleh para Tuyul tapi Pak Harun bisa melawan dan akhirnya giliran Gendruwo Glundung Pringis yang akan membunuh Pak Harun. Namun karena jimat pemberian dari Mbah Jiyat maka gendruwo tersebut jadi takut sehingga pak Harun bisa melarikan diri
Saat ini Pak Harun yang sedang mengalami cidera disekujur tubuhnya dan cidera psikologisnya karena masih terus beriak teriak awas ada tuyul
maka saat ini sedang menunggu kedatangan mbah Jiyat untuk mendiagnosa segala keluhan yang dialami pak Harun.
Kami yang mendengar cerita versi pak Harun yang disampaikan tak berurutan oleh orang orang yang datang ke kuburan kecil itu sungguh telah membuat kami sakit perut karena menawan tawa. Perut kami sampai begah dan senep, Boneng berkali kali terdengar terpenthut penthut karena menahan tawa ini.
Tapi apapun yang terjadi kami tetap harus diam dibalik semak semak sambil mengamati apa yang sebenarnya mau dilakukan orang orang itu di kuburan cilik.
Yang kami lihat mereka ternyata hanya mengambil barang barang yang ditinggal lari Pak Harun seperti bumbung maupun peralatan nderes lainya. Beberapa diantaranya terlihat masuk pelataran kuburan dan mengambil sisa dupa yang terbakar dan sisa sisa bunga yang tercecer. Setelah itu mereka kembali pulang menuju rumahnya Pak Harun.
Setelah beberapa lama kami juga keluar dari persembunyian dengan mengendap endap tanpa berbicara apapun kami berjalan melewati tritisan rumah Pak Harun. Kami dengar dari suara suaranya masih banyak orang yang berada didalam rumah untuk membesuk atau sekedar mewawancara Pak Harun atas insiden pesta pora tuyul di kuburan cilik
Kami berjalan tenang hingga sampai pada markas utama gang sawo tepat pada pukul 12.42 WIB. 13 Mei 1993.
Bersambung……………….. ………………..
Singapura, 15/15/22.
———————————————————————–
Tunggu cerita selanjutnya tentang kondisi pak Harun, peran Mbah Jiyat dan aksi lucu anak anak seperti Kempros, Ublok, Blenyik, Gembrot, Welut, Londheng dkk merespon isu tuyul berpesta pora di kuburan cilik. Semua terkemas secara jenaka, nganyelke dan gemeske oleh kepolosan anak anak geng sawo menuju ritual wisuda nama Munadak menjadi mbah ocoor….. Dijamin senep nguya nguyu dewe
coming soon
Nb. Apabila ada kesamaan nama, waktu dan tempat adalah suatu kebetulan sebab kisah ini bersumber dari adaptasi cerita masa kecil penulis yang dikemas dalam tulisan sebagai sebuah karya sastra.
Berita dengan judul: Geng Sawo Edisi Munadak bertemu dengan Idolanya Geng Postingkir yang Legendaris pertama kali tampil pada Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. Reporter: Jarkoni