Semua orang bisa memahami perasaan rapper Tyga dan musisi TikTok Curtis Roach saat mereka merilis lagu “Bored In The House” di awal lockdown dua tahun lalu. Kita cepat jenuh menjalani rutinitas yang monoton dan itu-itu saja selama terkurung di rumah.
Rasa bosan kerap timbul saat seseorang tidak memiliki kegiatan atau hal menarik apa pun untuk dilakukan. Menunggu lama atau terjebak macet hingga berjam-jam, misalnya, dapat mengakibatkan perasaan jemu. Namun, tahukah kamu, kebosanan ternyata membawa konsekuensi negatif bagi hidup manusia dan hubungannya dengan orang lain.
Selama 15 tahun, psikolog sosial eksperimental Wijnand Van Tilburg mendalami rasa bosan untuk benar-benar memahami konsekuensinya.
“Saya tertarik mempelajari kebosanan saat kuliah S1,” ungkap Tilburg saat dihubungi melalui panggilan video. “Saya dan Eric Igou, yang berkolaborasi denganku, memperhatikan kalau selama ini orang menyepelekan rasa bosan. Kami penasaran apa sebenarnya yang tidak disukai orang dari perasaan bosan, dan apa akibatnya kepada kita. Masih sangat jarang penelitian yang serius membahas dampak kebosanan pada diri kita.”
Igou dan Tilburg pun melakukan serangkaian eksperimen yang dapat memicu rasa jemu. Subjek penelitian diminta mengerjakan tugas yang membosankan, seperti menyalin daftar pustaka ke dokumen lain, mengerjakan teka-teki yang sulit diselesaikan dan menggambar lingkaran tanpa henti.
“Ternyata benar, rasa bosan memiliki dampak negatif. Orang menjadi berpikiran buruk terhadap orang lain karena mereka merasa kelompoknya jauh lebih baik. Perasaan ini juga terkait dengan agresi,” terang Tilburg. “Tapi kami juga menemukan, kebosanan pada akhirnya membangkitkan semacam tujuan psikologis dan mendorong orang mencari hal-hal baru yang lebih bermanfaat dan bermakna bagi mereka. Itu artinya kebosanan juga membawa pengaruh positif.”
Menurutnya, penelitian ini juga menunjukkan, rasa bosan biasanya mengarah pada nostalgia. Orang merasa nyaman atau tertarik mengenang masa lalu.
Begitu Tilburg mempersempit reaksi emosional yang ditunjukkan orang ketika bosan, dia baru menyadari tidak ada penelitian terbaru yang meneliti konsekuensi kebosanan pada hubungan antarpribadi. Dari situlah dia mencari kepribadian, hobi dan sifat seperti apa saja yang membuat seseorang dicap membosankan.
Dalam studi berjudul Boring People: Stereotype Characteristics, Interpersonal Attributions, and Social Reactions, Tilburg memimpin sekelompok peneliti memahami lebih dalam ciri-ciri stereotip yang menyebabkan seseorang dianggap membosankan oleh orang lain.
Sementara kebanyakan riset berfokus pada karakteristik orang atau hubungan yang membosankan, penelitian ini mengidentifikasi tantangan interpersonal yang dihadapi orang-orang yang dicap membosankan, serta pengaruhnya terhadap cara masyarakat memperlakukan mereka.
Bersama kedua rekannya Igou dan Mehr Panwani, tim Tilburg menanyakan pendapat lebih dari 500 orang yang menjadi peserta dalam lima eksperimen, tentang profesi dan hobi yang mereka anggap “paling membosankan”. Mereka kemudian diminta menuliskan ciri-ciri orang yang memiliki pekerjaan tersebut.
Menurut peserta, profesi yang bergerak di bidang analisis data, akuntansi, pajak/asuransi, kebersihan dan perbankan merupakan lima pekerjaan yang paling membosankan. Menariknya lagi, sebagian besar menganggap tidur, agama, menonton televisi, mengamati binatang dan mengerjakan tugas matematika sebagai hobi yang gampang bikin bosan.
Subjek penelitian selanjutnya berpendapat orang membosankan biasanya tidak punya minat, selera humor dan opini pribadi. Orang-orang membosankan juga dikatakan sering mengeluh.
Namun, temuan yang paling mengejutkan adalah orang-orang yang dicap membosankan secara otomatis dianggap tidak kompeten dan berkepribadian dingin. Orang cenderung menghindari mereka dalam interaksi sosial, dan hanya mau menghabiskan waktu bersama mereka jika ada bayaran. Hal ini menunjukkan ada konsekuensi interpersonal yang buruk dari stereotip tersebut.
“Selain reaksi negatif terhadap orang [yang dianggap membosankan], kemampuan mereka diragukan banyak orang karena stereotip tersebut. Meski harus diakui, orang yang bekerja sebagai akuntan, misalnya, tetap akan dianggap kompeten karena pekerjaan mereka.”
Temuan lain yang tak kalah mengejutkan adalah peserta menilai merokok sebagai kebiasaan membosankan. “Merokok dulu diiklankan sebagai tindakan keren, tapi sekarang tak lagi begitu,” tutur Tilburg.
Tilburg menekankan ukuran sampel penelitian ini relatif kecil, sehingga temuannya belum bisa dianggap final dan konklusif. Tapi setidaknya ini memberi gambaran apa yang dapat kita lakukan agar tidak dinilai membosankan.
“Orang menganggap analisis data dan matematika membosankan, tapi berpikir menjadi ilmuwan itu keren. Padahal, pekerjaan ilmuwan sebagian besar berkutat pada analisis data,” jelasnya. Oleh karena itu, menurut Tilburg, seseorang harus pintar mendeskripsikan diri mereka agar tidak terdengar membosankan.
Jadi kalau kamu hobi menonton tv, kamu mungkin bisa memosisikan diri sebagai sosok yang memiliki ketertarikan besar pada budaya modern dan sering menganalisis pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
Tilburg lebih lanjut mengungkapkan, orang yang terlalu banyak dan jarang berbicara juga dicap membosankan. “Penting bagimu menjaga keseimbangan saat mengobrol dengan orang lain. Pahami posisi orang lain dan pastikan mereka menikmati obrolannya.”
Namun, dia memperingatkan bukan hanya orang-orang yang dicap membosankan saja yang harus mengubah sikap mereka agar tidak dipandang sebelah mata.
“Memang mudah menyarankan orang-orang membosankan untuk memperbaiki reputasi mereka, tapi penting juga bagi orang lain untuk berpikiran terbuka dan memberi kesempatan kepada mereka,” ujarnya. “Pada dasarnya, penelitian ini tentang stereotip. Tak selamanya salah jika seseorang masuk kategori membosankan. Orang sering bertanya salah atau tidak kalau kita merasa bosan. Padahal kenyataannya, dalam hidup ini, manusia pasti pernah dirundung perasaan jenuh.”
Follow Shamani di Instagram dan Twitter.