Desa Predappio di Italia dikenal sebagai tempat kelahiran diktator fasis Benito Mussolini. Di sana pula, tempat peristirahatan terakhirnya.
Mussolini tewas ditembak pada 1945. Jasadnya dikebumikan di makam tak bertanda setelah sempat dipajang di alun-alun Piazzale Loreto, Milan. Namun, lokasinya ditemukan oleh mantan politikus Domenico Leccisi setahun setelah kematian Mussolini. Dibantu dua kaki tangan, dia mencuri jenazah mendiang tokoh panutannya dan menitipkannya di biara Kapusin tak jauh dari Milan. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang dan rumit, jasad Mussolini akhirnya diserahkan ke keluarga pada 1957.
Meski jenazahnya disimpan di kediaman keluarga Mussolini, Predappio mendadak jadi tempat ziarah bagi para simpatisan kelompok fasis. Setiap akhir Oktober, mereka berkumpul di desa itu untuk memperingati “Pawai ke Roma”, yang merupakan hari Mussolini sukses meraih kekuasaan di Italia.
100 tahun lalu, Mussolini memimpin pasukan paramiliter fasis dalam upaya menggulingkan pemerintahan yang ada. Invasinya terjadi pada saat Italia terkena imbas Perang Dunia I. Negara itu terlilit utang di atas kegagalannya memperoleh pembagian wilayah pasca-perang.
Kala itu, semakin banyak orang dari kalangan kelas pekerja menganut paham sosialisme, yang memicu terjadinya aksi demo besar-besaran di Italia. Para pengunjuk rasa menuntut sistem kerja yang lebih baik. Pasukan Mussolini, yang dikenal sebagai Fasci atau Blackshirts, menarik banyak pendukung dari kaum borjuis setelah mereka berhasil melibas gerakan rakyat.
Monarki parlementer Italia baru seumur jagung, sehingga mudah diruntuhkan karena tidak stabil. Celah ini dimanfaatkan oleh Mussolini untuk mendirikan revolusi fasisnya. Sejak itu, ia mulai mengatur persiapan Pawai ke Roma. Tepat ketika pendukung fasis melakukan pawai di sepanjang ibu kota, mantan Raja Victor Emmanuel III mengangkat Mussolini sebagai perdana menteri guna mencegah terjadi perang saudara.
“Sudah menjadi kewajiban kami mengenang Pawai ke Roma,” ungkap Mirco Santarelli dari Arditi d’Italia, organisasi neo-fasis yang menyelenggarakan acara peringatan tahunan di Predappio. Akan tetapi, dia meminta para pengunjung tidak melakukan salam fasis untuk menghindari masalah hukum. Hal ini dikarenakan Italia melarang segala simbol fasisme, meski dalam praktiknya jarang diterapkan karena peraturan itu dianggap bertentangan dengan kebebasan berekspresi.
Santarelli mengajak para simpatisan untuk “meletakkan tangan di dada” sebagai bentuk penghormatan, tapi tampaknya tidak didengar. Seruan “Duce! Duce!” (setara “Führer” dalam bahasa Italia) ramai terdengar di antara pengunjung yang mengangkat tangan kanan mereka ke udara.
Simbolisme terpampang jelas sepanjang acara. Sekitar 2.000 simpatisan menghadiri acara peringatan dengan pakaian serba hitam, mirip seragam Fasci. Selama 20 tahun kediktatoran Mussolini, pasukan paramiliter tersebut menjadi bagian penting dalam pemerintahannya, serta penyebar intimidasi terkuat terhadap musuh politik.
Beberapa meter dari tempat mereka berkumpul, ada dua toko suvenir yang dipadati pengunjung karena menjual pernak-pernik bertema fasisme, seperti stiker swastika, patung mini Mussolini dan asbak dengan slogan “Tuhan, Tanah Air, Keluarga”. Moto ini semakin sering digaungkan oleh para pemimpin sayap kanan di berbagai negara, terutama Giorgia Meloni yang terpilih menjadi Perdana Menteri Italia.
Ini pertama kalinya saya berkunjung ke Predappio. Saya hanya bisa terperangah melihat reaksi warga yang menganggap perkumpulan ini angin lalu. Tak ada satu pun yang memprotes kehadiran mereka. Sulit bagiku memahami bagaimana bisa gerakan ini tetap berjaya di abad ke-21.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italia.