Dua hari sebelum Taliban memberlakukan larangan nasional budidaya opium, Jumah Gul pontang-panting mengamankan stok tanaman psikotropika yang dia rawat di kebunnya, kawasan Helmand, Afghanistan. Dibantu empat pekerja yang masih belia, tangan Jumah Gul sampai belepotan hitam terkena getah tanaman opium. Lelaki 40 tahun itu cekatan memangkas ujung tanaman popi yang siap panen dengan pisau kecil.
Gul sempat membayangkan itulah akhir petualangannya menjadi petani opium. “Saya sebetulnya lebih suka dagang buah di kota besar,” ujarnya pada VICE World News. “Tapi, untuk sementara saya harus mau menanam opium karena hasilnya cukup menghidupi keluarga.”
Petinggi Taliban di Kabul menyatakan opium sepenuhnya terlarang untuk dibudidayakan, atas alasan apapun, mulai 3 April 2022. Namun, di Provinsi Helmand, kawasan selatan Afghanistan, larangan para militan Islamis tersebut tidak ada tajinya sama sekali. Bahkan, pemerintah terkesan membiarkan petani memanen dulu opium yang sudah ditanam sejak akhir tahun lalu.
Selama 20 tahun terakhir, Afghanistan tercatat sebagai negara produsen sekaligus eksportir opium terbesar di seluruh dunia. Di provinsi Helmand, berbagai varian tanaman opium tumbuh subur. Jika kalian berkunjung jelang musim panen, kebun seluas ratusan hektar dari kejauhan terlihat warna-warni, dari ungu, putih, hingga merah.
Taliban sendiri, sekalipun bermazhab cukup keras menolak narkoba, selama terguling dari kekuasaan sejak 2001 bergantung pada pajak dan donasi dari para petani maupun produsen opium, serta produk turunannya, yakni heroin.
Lembaga Pemantau Kejahatan Narkoba PBB (UNODC) dalam laporannya memperkirakan para petani Afghanistan sepanjang 2021 berhasil memanen 6.800 ton biji opium. Jumlah sebesar itu bila diolah lebih lanjut akan menghasilkan 320 ton heroin murni (yang masih bisa dioprek lagi jadi putau, sabu, dan sebagainya). Bisa dibilang, sumbangan devisa dari bisnis opium sangat berpengaruh bagi ekonomi Afghanistan, dengan atau tanpa adanya rezim Taliban. Per tahun, pendapatan kotor bisnis budidaya dan ekspor opium dari Afghanistan bisa mencapai US$2,7 miliar (setara Rp39 triliun).
Ketika para milisi Taliban akhirnya berhasil menguasai Afghanistan pertama kali pada awal 1990-an, para ulamanya meminta warga tidak diizinkan lagi menanam opium dan sebangsanya. Larangan dan perang narkoba sempat dicanangkan. Namun, ketika akhirnya Taliban terguling akibat invasi militer Amerika Serikat pada 2001, kelompok Islamis itu merasakan sendiri simbiosis mutualisme dengan para petani opium.
Sebagian pengamat Afghanistan tidak meyakini Taliban bakal melarang sepenuhnya budidaya opium. Berkaca pada larangan yang saat ini terbit, Taliban masih akan berusaha memajaki panen opium yang berlangsung awal April 2022, serta fokusnya lebih pada mengecilkan skala budidaya.
Di Helmand, banyak petani bahkan dengan sengaja beralih ke opium. Mereka enggan menanam jagung atau gandum yang secara tradisional jadi mata pencaharian mereka, mengingat harga jualnya anjlok dibandingkan opium. Perekonomian Afghanistan memburuk sejak akhir 2021, ketika dunia internasional mengucilkan Taliban yang kembali berkuasa sepeninggal militer AS.
Penanaman opium berlangsung besar-besaran di Afghanistan, dan menurut para narasumber VICE, Taliban tahu tapi mendiamkan saja.
Pada akhir Maret lalu, ribuan buruh serabutan berombongan berangkat ke Helmand. Permintaan buruh pemanen opium meningkat drastis. Lagi-lagi, polisi di bawah rezim Taliban juga membiarkan proses panen berlangsung menjelang pelarangan nasional.
Mohibullah, 54 tahun, merupakan salah satu buruh kasar macam itu. Dari kampung halamannya di Provinsi Ghazni, dia menempuh perjalanan ratusan kilometer menuju Helmand. Dia diiming-imingi kawan sedang ada banyak lowongan kerja jadi tukang panen opium. “Di kampung saya tidak ada lapangan kerja sama sekali,” ujarnya pada VICE. “Anak saya ada delapan, sementara saya nganggur terus-terusan. Pilihan yang tersisa akhirnya bekerja di ladang opium.”
Dua bersaudara, Mahmadullah (22) dan Esmatullah (32) adalah petani kecil yang mempekerjakan para buruh serabutan selama musim panen lalu. Ladang mereka di kawasan Lashkar Gah sebetulnya tidak terlalu luas, namun hasilnya tetap menguntungkan. Kepada VICE World News, mereka mengklaim Taliban secara terbuka melindungi bisnis mereka, asal para petani menyetor pajak.
“Pajaknya berupa 2 kilogram opium per ekar tanah per petani,” kata Mahmadullah.
Taliban bahkan mendorong para prajurit rendahan untuk ikut membudidayakan opium, semasa kelompok tersebut belum kembali berkuasa. Kebijakan tersebut diambil, lantaran Taliban kala itu belum bisa menggaji rutin para prajuritnya.
Atiquallah, anggota Taliban berusia 24 tahun, mengaku bekerja di ladang opium selama lima kali musim panen. Dia kini tak lagi terlibat bisnis opium ketika petinggi organisasinya mulai bersikap keras kembali pada segala jenis bisnis narkoba.
Keluarga Atiquallah yang tidak ingin terlibat bisnis opium terpaksa ke Iran untuk mencari kerja. Saat ini keluarga petani di Afghanistan tidak punya pilihan lain jika ingin menafkahi anak-istri. “Afghanistan saat ini butuh investor asing untuk membuka sektor-sektor selain pertanian. Tidak ada uang sama sekali jika kita bertani yang normal seperti gandum atau jagung. Pilihan paling masuk akal bagi kebanyakan petani adalah menanam opium,” kata Atiquallah.
Juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid, tidak mendetailkan apa sanksi bila orang kedapatan masih membudidayakan dan menjual opium. Larangan ini mencakup distribusi opium ke luar negeri.
Tragisnya, larangan ini justru membuat harga getah dan biji opium menjadi sangat mahal sejak awal April 2022. Beberapa hari setelah larangan diumumkan, harga opium per kilogram mencapai setara Rp3,3 juta. Artinya, insentif warga untuk nekat tetap menanam dan mengekspor opium tetap tinggi.
Kebijakan anti-narkoba Taliban ini, sekilas, dianggap pengamat merupakan taktik untuk membujuk dunia internasional bersedia mengucurkan bantuan ke Afghanistan. Namun sebagian pengamat jaringan narkoba menilai Taliban memang mengincar kenaikan harga untuk mendapat margin keuntungan lebih besar dari pajak bisnis haram tersebut.
Jumah Gul yakin para pelaku budidaya opium tidak akan sampai ditangkap. Taliban tetap butuh uang ketika rezim mereka dikucilkan dunia internasional.
“Lihat saja sendiri, musim panen ini tidak ada sama sekali polisi yang datang melarang kami menjual opium, orang juga bebas memperjualbelikannya di pasar,” kata Gul pada VICE. “Kalau memang tidak ada pilihan lain, orang akan tetap berpaling pada opium.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE World News