Berita  

Enam Gereja Katolik di Kanada Dibakar Akibat Skandal Penemuan Jasad Masyarakat Adat

enam-gereja-katolik-di-kanada-dibakar-akibat-skandal-penemuan-jasad-masyarakat-adat

Sepanjang Juni 2021, sebanyak tujuh gereja dibakar di Kanada. Diduga kuat kebakaran ini dilakukan oleh warga sebagai bentuk protes atas tragedi penemuan jasad masyarakat adat, di bawah bekas gedung sekolah yang dikelola lembaga Katolik. Dua gereja dibakar dalam waktu berdekatan pada Rabu (30/6) lalu.

Insiden pertama menimpa gereja yang telah berusia seabad. Tim pemadam yang datang pukul 03.00 pagi waktu setempat, berusaha menjinakkan api di gereja Jean Baptiste di Kota Morinville, Provinsi Alberta. Bangunan gereja itu runtuh dan tak terselamatkan.


“Api sudah terlanjur menyebar dari gudang bawah tanah ketika petugas gereja pertama kali mendatangi lokasi. Sehingga tak banyak yang bisa dilakukan tim pemadam,” kata Iain Bushell, kepala dinas insfrastruktur Kota Morinville, saat diwawancarai CTV News. Kepolisian Kanada (RCMP) menyebut insiden kebakaran di gereja Jean Baptiste, “kemungkinan besar disengaja.”

Di hari yang sama, hanya berselang satu setengah jam dari insiden di Alberta, kebakaran juga dilaporkan terjadi di Gereja Katolik St. Kateri Tekakwitha, Provinsi Nova Scotia. Gereja tersebut berada di wilayah masyarakat adat Sipekne’katik.

Selama 16-30 Juni 2021, dilaporkan tujuh gereja terbakar secara mencurigakan di seantero Kanada. Hanya satu gereja yang terbakar tapi tidak terafiliasi dengan Vatikan. Selain kebakaran, berbagai gereja Katolik di Kanada dilaporkan mengalami vandalisme, dengan dicoret cat merah di bagian dinding atau pintu masuknya. Muncul pula laporan ada gereja yang diteror dengan bangkai hewan di gerbang.

Berbagai insiden itu, menurut penyelidikan sementara RCMP, kemungkinan dipicu kemarahan berbagai kelompok masyarakat adat Kanada terhadap insitusi gereja Katolik Roma. Pada awal Juni, muncul kabar mengejutkan mengenai ditemukannya lebih dari 1.000 kuburan tanpa nama berisi jasad, mayoritas anak-anak dari masyarakat adat seabad lalu. Jasad-jasad itu dikubur bertumpuk di bawah bekas bangunan sekolah yayasan Katolik di berbagai provinsi Kanada.

Kasus pertama yang menjadi sorotan nasional adalah temuan 215 kuburan massal di bekas gedung sekolah kawasan Tk’emlúps te Secwépemc. Sekolah itu dulunya menjadi lokasi pendidikan bagi anak-anak masyarakat Indian suku Kamloops. Setelah temuan perdana itu memicu kontroversi, masyarat adat lain di Kanada menyelidiki bekas-bekas gedung sekolah dengan latar institusi yang sama. Hasilnya, kuburan massal serupa ditemukan di Saskatchewan, Manitoba, hingga Cowessess.

Sekolah-sekolah itu adalah proyek pada Abad 19, hasil kerja sama antara pemerintah Kanada dengan gereja Katolik. Pembangunan berbagai sekolah ini, kala itu, diharap bisa mendidik 150 ribu anggota masyarakat adat, dari suku Inuit hingga Métis, agar dapat “terintegrasi” dengan budaya pendatang kulit putih, mengingat Kanada merupakan salah satu koloni penting bagi Kerajaan Inggris.

Namun, dari temuan mengejutkan soal kuburan massal, sekolah-sekolah Katolik itu rupanya tidak sekadar mendidik anak masyarakat adat. Berdasar temuan sejarawan dan jurnalis Kanada, anak-anak suku asli dulu dipaksa menganut Katolik, tidak boleh berbicara dalam bahasa mereka, dan kalau gagal mengikuti pelajaran kerap mengalami siksaan fisik. Praktik kekerasan itu berlanjut hingga Abad 20, dan tercatat masih terjadi hingga tahun 1935.

Diperkirakan sejak 1830-an, berbagai kekerasan dan pelecehan seksual menimpa anak-anak yang bersekolah di sana, sehingga menyebabkan kematian. Institusi Katolik jadi sasaran kritik terbesar, karena temuan kuburan massal dianggap upaya gereja pada masa itu menutup-nutupi skandal tersebut.

Dari perkiraan Lembaga Ombudsman Kanada, yang membentuk tim pencari fakta mengenai dugaan kekerasan terhadap masyarakat adat, ada lebih dari 4.100 pelajar yang tewas atas berbagai sebab di sekolah yayasan Katolik. Namun angka itu bahkan baru perkiraan minimum. Proyek kerja sama pengelolaan sekolah dengan yayasan Katolik, yang di Kanada dijuluki residential schools, baru disetop pada akhir dekade 1990-an.

Sejak dua pekan terakhir, muncul berbagai petisi warga yang mendesak pemerintah Kanada agar menjerat Vatikan dengan pasal pidana, atas dakwaan pelanggaran HAM dan genosida. Paus Fransiskus, selaku pemimpin tertinggi insitusi Katolik, sejauh ini belum meminta maaf atas temuan kuburan massal masyarakat adat di Kanada.

Sri Paus, dalam pidato pada 27 Juni 2021, sebatas menyesalkan serta mengaku “terluka mendengar kabar dari Kanada”. Tahta Suci berjanji akan bekerja sama dengan otoritas Kanada untuk mencari tahu penyebab adanya berbagai kuburan massal di sekolah yang pernah dikelola institusi Katolik.