Neraka di Laut Jawa. Neraka 40 jam di tengah laut. Demikian jurnalis kenamaan pada masa itu seperti Bondan Winarno atau Dahlan Iskan, menggambarkan betapa mengerikan peristiwa terbakar dan tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tampomas II yang terjadi 41 tahun silam. Tragedi “Titanic-nya Indonesia” tersebut terjadi pada malam Januari 1981 di perairan Masalembu, timur laut Pulau Jawa, sekitar 320 km dari Surabaya.
Selama dua hari, ribuan penumpang terjebak dalam kapal yang terbakar, hingga kemudian KMP Tampomas II benar-benar tenggelam, menimbulkan horor tak terkira. Ada yang menyebut korban tewas sebanyak 432 orang, namun perhitungan ekstrem mencatat 666 orang. Angka yang tak bisa dipastikan itu disebabkan oleh banyaknya jumlah penumpang gelap di atas kapal nahas tersebut.
KMP Tampomas II memiliki rute Padang-Tanjung Priok-Ujung Pandang (sekarang Makassar). Sehari sebelum terbakar (24 Januari 1981), kapal tersebut berangkat dari perhentiannya di Pelabuhan Tanjung Priok. Sedianya kapal milik PT Pelni itu akan menempuh rute dua hari dua malam menuju Ujung Pandang. Manifes penumpang mencatat terangkut 1.054 penumpang, 84 awak, 191 mobil, dan 200 sepeda motor. Namun, jumlah asli penumpang diperkirakan mencapai 1.442 orang karena selisih penumpang gelap.
Seorang anak enam tahun bernama Ibnu Khaldun adalah satu angka dalam selisih tersebut. Ia naik Tampomas II dari Tanjung Priok bersama paman dan neneknya, Nasrudin Razak dan Rahimah, yang memegang tiket resmi. Sang paman selamat dari tragedi Tampomas II, namun nasib Khaldun dan Rahimah masih misteri hingga saat ini. dengan asumsi keduanya selamat, Khaldun yang tahun ini berusia 47 tahun dipercaya masih hidup. Media sosial membuat keluarga berharap bisa menemukannya kembali.
“Mungkin saat itu mikirnya bahwa Khaldun masih kecil, sehingga tidak perlu [dibelikan tiket]. Saat pengecekan, mereka ketahuan. Tapi, paman saya kemudian bisa mengurusnya,” Ikhsan Shabran, adik Khaldun, membuka cerita lama itu kepada VICE.
Tahun 1981 adalah masa Khaldun sedang bersiap masuk pendidikan dasar. Saat itu keluarganya menetap di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Rahimah, nenek Khaldun yang tinggal di Makassar, lantas merayu Muliyah, anak perempuannya sekaligus ibu Khaldun, agar membiarkan anak ketiganya tersebut menempuh sekolah di kampung halaman sang nenek di Makassar. Muliyah yang baru saja melahirkan anak keenam lantas mengiyakan, dan Khaldun, sebagaimana anak seusianya, terlihat bersemangat untuk mencicipi pengalaman naik kapal laut.
Maka di sanalah mereka: Rahimah, Nasrudin Razak, dan si kecil Khaldun, bersama Tampomas II yang angkut sauh dari Tanjung Priok 24 Januari, pukul 19.00 WIB. Menurut laporan majalah Tempo, tragedi dimulai keesokan malamnya pada 25 Januari pukul 20.00 WITA ketika mesin mati karena kebocoran bahan bakar. Dua jam kemudian, pada 22.15 WITA, muncul api di dek bawah tempat parkir kendaraan. Api itu membuat orang-orang di dek atas kepanasan sekaligus panik.
Keluarga Khaldun ikut mendengar seruan “Kebakaran!”. Kapten lalu memerintahkan listrik dimatikan agar api tak menjalar ke ruang mesin, tapi keputusan itu membuat penumpang semakin takut. Sejumlah di antaranya memutuskan terjun ke laut dan menemui ajal di air. Sementara Nasrudin, Rahimah, dan Khaldun bergegas memakai pelampung sembari menuju geladak sekoci.
Di tengah kekisruhan, terlihat sebuah sekoci berisi penumpang prioritas bersiap turun. Tanpa pikir panjang, Nasrudin mengangkat Khaldun dan menyelipkannya di kapal darurat itu. Ia berpikir, meski sendirian, setidaknya Khaldun lebih berpeluang selamat di atas sekoci dibanding kapal yang terbakar.
Tinggal berdua, Nasrudin mengajak Rahimah ke bagian atas kapal, tempat sekoci lain biasa diparkir. Ibu dan anak tersebut berdesak-desakan menembus kerumunan penumpang panik yang terus berteriak, saling menggenggam tangan erat satu sama lain. Kala menaiki tangga menuju bagian atas kapal, genggaman mendadak terlepas. Segera menoleh ke belakang, Nasrudin tidak menemukan penampakan Rahimah sejauh mata memandang.
Nasrudin nihil hasil dalam mencari sang ibu, dan gagal pula mendapatkan sekoci. Sudah tidak tahan di atas kapal yang semakin panas, ia memutuskan lompat ke laut dan menggantungkan hidup pada kemampuannya berenang. Tujuh jam mengayuh pakai tangan menjauhi kapal, ia bertemu sekoci berisi penuh penumpang dan segera bergelantungan di pinggirnya, terombang-ambing di Laut Jawa.
Tiga hari kemudian, pada 28 Januari, Nasrudin ditemukan tim SAR dan dibawa ke pelabuhan di Surabaya, tempat para korban tragedi Tampomas II dievakuasi. Setelah mendapatkan seminggu perawatan di rumah sakit, Nasrudin pulang ke Makassar seorang diri, menyandang atribut salah satu korban selamat tragedi Tampomas II.
Keluarga tidak mendapat kejelasan nasib Khaldun dan Rahimah sampai hari ini, apakah mereka selamat atau meninggal. Pertanyaan itu terus menghantui hingga Nasrudin meninggal pada 2018 silam.
Kisah tragis itu disampaikan dua adik Ibnu Khaldun, Siti Asyura Indah dan Ikhsan Shabran, kepada VICE berdasarkan penuturan Nasrudin semasa hidup. Ikhsan mendapatkan cerita langsung dari Nasrudin pada 2007, sementara Indah membaca sendiri surat permintaan maaf Nasrudin kepada ibunya yang dikirimkan beberapa waktu setelah tragedi
“Berlembar-lembar banyak deh, lebih dari sepuluh lembar. Surat itu ditulis enggak lama setelah kejadian. Istilahnya, pertanggungjawaban beliau [Nasrudin] kepada kakaknya [Muliyah]. Saat itu kan [Khaldun dan Rahimah] adalah tanggung jawab dia,” kata Indah kepada VICE, awal April lalu. Tragedi itu membuat Nasrudin tidak berani menjejakkan kaki ke Jakarta selama sepuluh tahun.
“Saya baru ketemu [Nasrudin] pada 2007. Hubungan bapak saya dan Om sempat bersitegang karena dia selamat, tapi kok kakak saya enggak ketemu,” kenang Ikhsan.
Menurut laporan Dahlan Iskan di majalah Tempo yang terbit dua minggu setelah kejadian (7 Februari 1981), usai kebakaran pertama diketahui, kapal sempat berusaha menghubungi radio pantai namun gagal. Mereka juga sempat menembakkan flare, yang sialnya tak menyala. Sinyal SOS juga terlambat dikirimkan karena Nakhoda Tampomas II, Kapten Abdul Rivai, masih berpikir bisa mengatasi kebakaran tersebut.
Pertolongan baru datang keesokan harinya, 26 Januari 1981. Tampomas II yang masih terombang-ambing dan terus dilalap api ditemukan Kapal Motor Sangihe pada pukul 7.30 pagi. Dari kejauhan, Sangihe sempat mengira asap di kejauhan itu adalah sumur minyak Pertamina. Begitu menyadari apa yang terjadi, mereka segera mendekat untuk membantu. Namun, proses evakuasi itu teramat sulit dilakukan. Sepanjang hari Sangihe berjuang merapat, tapi terlalu riskan. Gambaran amat memprihatinkan tersebut digambarkan Tempo.
“Penumpang yang sudah berkumpul di haluan Tampomas kedengaran riuh sekali, memang. ‘Panas!, Panas! Neraka!, …. Cepat kirim air!”, teriak mereka bersahut-sahutan. Sebagian tidak sabar lagi lantas menerjunkan diri ke laut —hanyut ke arah Sangihe,” demikian kutipan laporan Tempo.
Sepanjang hari, Sangihe terus berusaha merapat. Hingga salah seorang penumpang Sangihe kemudian mengajukan jadi relawan untuk membawakan tali ke Tampomas agar kapal itu bisa ditarik mendekat. Setibanya di kapal tersebut, ia tersentak. “’Saya terkejut sekali. Begitu sampai di Tampomas saya lihat sekitar 20-an mayat berserakan di geladak,’ katanya. Mayat itu sudah berwarna hitam. Di antaranya seorang wanita tetap dalam keadaan merangkul anaknya yang berumur sekitar 3 tahun,” ujarnya kepada Tempo.
Sangihe akhirnya menyelamatkan penumpang Tampomas II dengan cara menjaring mereka yang terjun ke laut. Mereka “hanya” mendapatkan 300 orang. Baru pada pukul 9 malam kapal lain berdatangan, dimulai dari KM Ilmamui, Istana VI, lalu Adhiguna Karunia dan Sengata. Tapi mereka baru bisa melakukan penyelamatan keesokan paginya, pada 27 Januari, itu pun dari kejauhan dengan cara sama yang dilakukan Sangihe karena terlalu berbahaya untuk mendekat.
Di hari itu pula, pada pukul 12.30 WITA, terdengar ledakan dari Tampomas II yang masih dihuni 288 penumpang. Bersama ratusan orang tersebut, dua puluh menit kemudian kapal perlahan turun terus menuju dasar laut. Tempo menulis, horor itu bahkan tidak disaksikan kapal lain karena turun hujan deras yang mengaburkan pandangan.
Di luar korban hidup maupun mati yang berhasil dievakuasi kapal lain, penumpang yang lari dengan sekoci kemudian ditemukan pula. Kondisi mereka tak kalah mengerikan. Menurut penumpang sekoci yang ditemukan terdampar di Pulau Duang-duang Besar lima hari kemudian (30 Januari), mulanya mereka membawa 150-an orang, namun tinggal tersisa 63 orang. “Hampir tiap jam ada yang meninggal dan langsung kami turunkan ke laut,” kata salah satu penumpang selamat kepada Tempo.
Nakhoda Tampomas II Kapten Abdul Rivai juga bernasib nahas. Ia memutuskan bertahan hingga jelang kapan tenggelam, kemudian terjun ke laut menggunakan pelampung berenang menuju KM Sengata yang berjarak 1,5 km. Di dekat KM Sengata, Rivai menyahut penumpang lain yang hanyut lalu memberikan pelampungnya. Rivai akhirnya ditemukan terapung di laut dalam kondisi meninggal, sehari setelah Tampomas II tenggelam (28 Januari).
Kecelakaan kapal terbesar hingga saat ini tersebut segera menyulut kritik pada kerja SAR yang lamban lalu merembet pada proses pembelian Tampomas II. Pengadaan kapal feri tua bekas dari Jepang yang diubah jadi kapal penumpang itu dinilai berbau korupsi. Kritik kepada SAR, misalnya, Kantor Koordinator Rescue II Surabaya sudah dimintai bantuan sejak 26 Januari tengah hari (ketika Sangihe berjuang merapat ke Tampomas II), namun mereka baru mengirim pesawat Nomad sore harinya, itu pun tidak banyak membantu karena justru mengangkut pejabat dan wartawan, bukannya tim evakuasi.
Sedangkan pemerintah selain dikritik karena Tampomas II tidak punya sistem deteksi asap, juga karena Tampomas II diduga tak layak jalan dan dibeli dengan harga yang telah di-mark up. Bahkan ketika berlayar pertama kali pada April 1980 (sembilan bulan sebelum kapal itu tenggelam), menurut wartawan mesin kapal itu sudah berkali-kali mati dalam perjalanan.
Dari total 1.442 penumpang resmi dan gelap, sebanyak 752 orang selamat. Korban tewas sebanyak 432 orang dengan rincian 143 ditemukan dan 288 tidak (estimasi lain menyebut 666 tewas). VICE tak menemukan angka berapa orang yang dinyatakan hilang dalam musibah ini.
Khaldun adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara kandung, menurut urutan lahir: Musi Azhari, Agung Azmarudin, Ibnu Khaldun, Indah, Ikhsan, Ikhwan Mubarak, Nurmalahayati, dan Irham Maulana. Usai kejadian, kakak-beradik sepakat tidak lagi menggali cerita Khaldun kepada sang ibu sebab ia kerap menangis saban mengenang kehilangan ibu dan anak sekaligus. Muliyah juga menyembunyikan koran yang memuat berita Tampomas II sekaligus menghindarkan anaknya dari berita di televisi.
Namun, kehadiran media sosial menciptakan harapan baru bagi tujuh bersaudara ini. Indah, adik Khaldun persis, meyakini abangnya masih hidup di suatu tempat dan memutuskan mengumpulkan cerita Khaldun lalu mengunggahnya ke media sosial.
Semua ia lakukan tanpa memberi tahu Muliyah. Salah satu upaya Indah ialah mengabarkan pencarian adiknya di kolom komentar Facebook Arham Rasyid, influencer asal Sulawesi Tenggara berpengikut 250 ribu. Indah menceritakan bagaimana ia berharap menemukan sang adik meski sudah berpisah 41 tahun. Cerita ini direspons Arham dengan mengunggahnya sebagai postingan tersendiri sembari membahas sejarah tragedi Tampomas.
“Kalau saya sih ngebayanginnya sekoci itu udah sampai di pelabuhan. Sekoci [harusnya] udah paling aman dong? [Khaldun masuk sekoci] itu terjadi di awal, bukan saat [kapal] udah terbakar hebat. Itu baru awal-awal kepanikan pertama saat sekoci diturunkan, maka saya bilang ini kemungkinan selamatnya tinggi,” kata Indah.
Irham, anak bungsu dari kakak-beradik Khaldun, berasumsi mungkin saja identifikasi korban atau pencarian terhadap Khaldun mengalami kesulitan karena status kakaknya sebagai salah satu penumpang gelap. “Mungkin karena Khaldun statusnya tidak beli tiket, jadi tidak terdaftar untuk diidentifikasi mungkin ya,” ujar Irham.
Harapan Indah dengan memunculkan cerita ini ke publik adalah hadirnya keluarga korban yang bisa diajak berbagi cerita berjuang menemukan kejelasan atas korban Tragedi Tampomas II. Syukur-syukur, ada orang yang keluarganya berada satu sekoci dengan Khaldun. Ia menuturkan Khaldun memiliki raut muka yang sangat khas dengan bentuk jidat lebar dan lebih tinggi daripada hidung. “Mukanya mirip Bapak,” kata Indah, “jidatnya lebar dan lebih mancung dari hidungnya. Kata Mama dan Tante, Khaldun sendiri yang seneng diledekin kalo hidungnya kalah mancung dari jidatnya.”
Awal Maret 2021, Muliyah kehilangan seorang anak lagi. Agung Azmarudin meninggal dunia setelah terjangkit Covid-19. Kepergian tiba-tiba Agung mau tidak mau mengingatkan keluarga Muliyah pada Khaldun. Mendadak, harapan keluarga menemukan Khaldun makin membuncah. Barangkali, pikir mereka, sedih sang ibu karena “hilangnya” Agung bisa diobati dengan ditemukannya Khaldun.
“Mungkinkah kehilangan membuat kita menemukan yang lama hilang?” harap Irham.