Sebanyak 75 dari 1.349 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan tak lolos “tes kebangsaan” yang termasuk salah satu rangkaian peralihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Di antara 75 nama tersebut, salah satunya adalah penyidik senior Novel Baswedan.
Sejak Maret 2021, sebagian besar pegawai KPK menjalani proses alih status menjadi ASN. Syarat ini imbas dari ditetapkannya beleid baru UU 19/2019 tentang revisi UU KPK 2002. Dalam saat relatif bersamaan, tepatnya pada Selasa (4/5), permohonan uji materi UU yang memicu demo besar 2019 lalu resmi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Novel Baswedan mengaku mendengar desas-desus ia dan sejumlah koleganya tak lolos tes kebangsaan. “Saya dengar info tersebut. Upaya untuk menyingkirkan orang-orang baik dan berintegritas dari KPK adalah upaya lama yang terus dilakukan,” kata Novel saat dikonfirmasi CNN Indonesia, Senin (3/5). “Bila info tersebut benar, tentu saya terkejut. Karena baru kali ini upaya tersebut justru dilakukan oleh Pimpinan KPK sendiri,” tambah Novel.
Syarat pegawai KPK harus ASN baru diatur dalam UU 19/2019 Pasal 1 ayat 6. Sebelumnya, UU 30/2002 hanya menggariskan bahwa pegawai KPK adalah “warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi”. Syarat baru ini merupakan salah satu revisi ekstrem yang banyak diprotes sejak UU tersebut masih rancangan di DPR RI.
Dalam waktu kilat, isi tes kebangsaan yang disebut-sebut bocor ke media sosial menuai tentangan publik. Sejumlah pertanyaan yang harus dijawab diduga jadi cara mengidentifikasi dan menyingkirkan pegawai yang memiliki berbeda pandangan dari pimpinan.
Contoh pernyataan seperti “budaya barat merusak moral orang Indonesia”, “penista agama harus dihukum mati”, dan “hak kaum homosex harus tetap dipenuhi” harus dijawab pegawai KPK dengan pilihan setuju atau tidak setuju. Soal macam ini dikritik karena tidak relevan dengan kemampuan yang dibutuhkan seorang penyidik korupsi.
Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang menjadi penyelenggara tes seleksi ASN pegawai KPK telah mengonfirmasi adanya tes kebangsaan ini. Saat dihubungi Koran Tempo, Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan pihaknya sudah menyerahkan hasil tes kepada KPK sejak 27 April, namun menolak memberikan nama-nama pegawai KPK yang gagal.
Sementara itu, Ketua KPK Firli Bahuri, Sekjen KPK Cahya Hardianto Harefa, dan Juru Bicara KPK Ali Fikri kompak mendaku belum melihat hasil tes meski sudah menerimanya sejak seminggu lalu. Ali merespon kegaduhan ini dengan mengatakan apabila pihaknya punya informasi terbaru seputar hasil tes, KPK pasti mengumumkannya kepada publik.
Selain Novel, nama lain yang diduga tidak lolos tes adalah Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko, dan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, jika kabar tak lolosnya sejumlah pegawai KPK dalam tes kebangsaan benar, ini adalah taktik untuk melemahkan KPK yang sudah dirancang sejak revisi UU. Oleh karena itu, Presiden Jokowi dan DPR RI harus bertanggung jawab.
“Sebab dua cabang kekuasaan itu [Presiden sebagai eksekutif, DPR sebagai legislatif] yang pada akhirnya sepakat merevisi UU KPK dan memasukkan aturan kontroversi berupa alih status kepegawaian menjadi ASN. ICW beranggapan ketidaklulusan sejumlah pegawai dalam tes wawasan kebangsaan telah dirancang sejak awal sebagai episode akhir untuk menghabisi dan membunuh KPK,” kata Kurnia dalam keterangan tertulis, dilansir Kompas.
Isu tes kebangsaan disusul dengan kabar putusan uji materi UU KPK oleh MK hari ini. Dalam sidang siang tadi, MK menyatakan menolak sekaligus tujuh permohonan uji materi UU 19/2019. Namun dari 9 hakim MK, salah satu hakim bernama Wahiduddin Adams menyatakan beda pendapat (dissenting opinion).
Menurut Wahiduddin, UU tersebut inkonstitusional secara formil karena proses penyusunannya yang sangat cepat dan mepet dengan masa pergantian pemerintahan dan DPR RI. Akibat dari proses kilat itu, UU tersebut minim menampung masukan dan partisipasi masyarakat, serta minim kajian dan analisis dampak terhadap pihak yang menjalankan UU tersebut, yakni KPK sendiri.
“Dalam konteks ini, saya tidak menemukan argumentasi dan justifikasi apa pun yang dapat diterima oleh common sense bahwa suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam DIM [daftar inventarisasi masalah, dibuat oleh presiden] RUU kurang dari 24 jam. Padahal waktu presiden 60 hari [untuk menyiapkannya],” ujar Wahiduddin.
Wahiduddin mengatakan, posisinya lebih memilih menyatakan UU 19/2019 bertentangan dengan UU 1945. Seandainya pendapat ini diterima, UU tersebut akan dibatalkan dan negara akan kembali pada aturan lama UU 30/2002. Sayang, nasib hari ini belum berpihak kepada Novel Baswedan dkk.