Dua personel kepolisian yang terlibat penembakan menewaskan empat anggota Laskar Front Pembela Islam dalam insiden KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, terbebas dari hukuman bui. Kedua polisi tersebut, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella, menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memiliki “pembenaran” untuk melakukan penembakan fatal tersebut, merujuk sidang yang berlangsung 18 Maret 2022.
Putusan hakim berbeda dari tafsir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa keduanya melakukan ‘unlawful killing’ kala menewaskan empat dari total enam orang anggota Laskar FPI. Dari temuan Komnas HAM, tewasnya empat anggota FPI itu terjadi saat mereka ditahan. Klaim bahwa para simpatisan Rizieq Shihab tersebut mencoba merebut senjata petugas hanya berasal dari polisi.
Alhasil, Fikri dan Yusmin dinyatakan bebas dari ancaman hukuman penjara enam tahun seperti diminta jaksa penuntut umum. Meski begitu, hakim menyatakan bahwa kedua polisi itu “terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan primer”, yakni melakukan penembakan mematikan terhadap tersangka kriminal secara “melampaui batas.”
“[Terdakwa] tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf,” ujar Hakim Ketua Muhammad Arif Nuryanta dalam sidang pembacaan putusan seperti dilansir Tempo.co.
Empat anggota FPI yang tewas di tangan Fikri serta Yusmin adalah Muhammad Reza (20 tahun); Ahmad Sofyan (26 tahun); Faiz Ahmad Syukur (22 tahun); dan Muhammad Suci Khadavi (21 tahun). Seharusnya ada satu lagi personel kepolisian yang ikut menembak laskar FPI, yakni Ipda Elwira Priadi. Tetapi dia meninggal karena kecelakaan tunggal pada 26 Maret 2021, sehingga batal diadili.
Insiden KM 50, julukan publik terhadap kekerasan aparat yang menewaskan enam laskar FPI dan memicu kritikan berbagai pihak, terjadi pada 7 Desember 2020. Semua bermula atas adanya laporan bahwa Rizieq Shihab dan FPI hendak memicu keonaran, dengan cara mengerahkan massa mengepung gedung Polda Metro Jaya. Kepolisian lantas mengirim tujuh personel, termasuk Fikri dan Yusmin, melakukan pemantauan di komplek The Nature Mutiara Sentul, Kabupaten Bogor pada Minggu, 6 Desember 2020. Rizieq menurut aparat sedang berada di sana bersama beberapa petinggi FPI.
Rombongan mobil yang diduga mengawal Rizieq Shihab, berjumlah 10 mobil, lantas meninggalkan kawasan Megamedung, Bogor menjelang tengah malam. Polisi berniat sekalian menangkap Rizieq, karena ada informasi sang imam besar FPI itu hendak kabur dari pemeriksaan soal kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan saat menikahkan putrinya di Petamburan.
Rombongan pengawal Rizieq sempat keluar dari gerbang tol Karawang Timur. Enam mobil anggota FPI lantas melaju kencang meninggalkan dua mobil pengawal lainnya, berisi enam orang anggota laskar.
Dua mobil itu, ternyata sengaja menunggu dan mengadang mobil polisi yang membuntuti, lalu terjadilan gesekan dengan kendaraan polisi dan saling tembak di KM 50 tol Jakarta-Cikampek. Dua anggota laskar FPI bernama Andi Oktavian dan Faiz meninggal seketika akibat bentrok dengan aparat, sementara empat lainnya sempat hidup saat digelandang ke mobil polisi, kemudian ditembak mati.
Kuasa hukum Fikri dan Yusmin, Henry Yosodiningrat, berkukuh bila kliennya tidak memiliki niat sengaja membunuh keempat anggota laskar FPI yang berada di mobil tahanan. Mereka, dalam bukti-bukti yang disampaikan ke majelis hakim, panik karena ada anggota FPI yang hendak merebut senjata.
Atas dasar itu, Henry menganggap vonis hakim PN Jaksel cukup adil. “”Saya tadi lihat mereka berdua mengikuti setelah saya sujud syukur. Mereka berdua juga sujud syukur. Mereka menyampaikan ucapan terima kasih dan mengungkapkan fakta-fakta di persidangan yang saya tuangkan dalam pembelaan,” ujar Henry saat dihubungi Suara.com.
Komnas HAM sejak awal mengumumkan bahwa beberapa detail kronologi polisi kalau petugas terpaksa menembak sulit dibuktikan. Misalnya, CCTV milik PT Jasa Marga, selaku pengelola tol, dari KM 49 sampai KM 72 tidak mengirim rekaman ke server sebagaimana mestinya pada 7 Desember 2020. Komnas HAM turut mencatat adanya upaya polisi mencabut CCTV dari sebuah warung dekat TKP penembakan. Tindakan aparat mencabut CCTV, menurut Komnas HAM, seharusnya jadi fokus utama proses pengadilan.