Pada 10 September 2022, dua pemuda asal Kecamatan Cikatomas, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, berinisial AY dan I dicokok anggota Polres Tasikmalaya. Penangkapan ini imbas dari aduan masyarakat tentang penyiksaan binatang yang mereka lakukan. AY dan I diduga kuat berulang kali menyiksa dan membunuh kera ekor panjang dan lutung, merekamnya, lantas menjual rekaman tersebut kepada penyuka konten penyiksaan satwa di internet.
Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polres Tasikmalaya Ari Rinaldo, dalam jumpa pers, menjelaskan status kedua pemuda tersebut sudah naik menjadi tersangka pada Selasa, 13 September 2022. AY dan I mengakui perbuatannya saat diinterogasi aparat.
“Mereka mengaku sudah 12 kali menyiksa sadis monyet yang termasuk satwa dilindungi itu. Mulai menyayat dan memotong bagian tubuh hewan monyet itu secara hidup-hidup dengan menggunakan pisau. Juga menggunting telinga serta melubangi mata monyet menggunakan bor,” kata Ari Rinaldo, dilansir dari Kompas.
Mekanismenya, kedua pelaku mendapatkan satwa liar dari pembelian ataupun perburuan di hutan. Video rekaman kemudian diberikan kepada seorang pelaku lain yang diduga tinggal di Surakarta, Jawa Tengah. Pelaku yang masih buron ini lah yang melakukan kerja-kerja pemasaran di media sosial, misalnya mengiklankan video tersebut di Facebook.
Harga yang ditawarkan berkisar Rp150 ribu sampai Rp300 ribu per video. Pelaku mengaku sudah melakukan kegiatan ini selama empat bulan, menghasilkan 14 konten dengan penghasilan mencapai Rp10 juta. Pelanggan yang membeli video mereka ada yang bermukim di luar negeri. Dari penangkapan, polisi mengamankan barang bukti satu ekor monyet ekor panjang dan satu ekor lutung, dokumentasi foto dan video penyiksaan, satu set mesin bor, mesin blender, dan pisau dapur.
Buat penonton serial dokumenter Don’t F*uck with Cats pasti paham kalau seseorang sudah punya kapasitas untuk menyiksa hewan liar sambil merekamnya, maka ada kemungkinan pelaku memiliki gangguan mental seperti psikopat sehingga harus segera diambil tindakan.
Pendiri organisasi Animal Defenders Doni Herdaru turut memantau kasus dan mengingatkan bahwa penyiksaan terhadap hewan akan menjadi pembuka aksi penyiksaan yang lebih kejam. “Pada jangka panjang, kelakuan terkait penyiksaan hewan ini akan berimbas pada meningkatnya calon-calon psikopat yang berpotensi besar meningkatkan kekejamannya ke level lebih tinggi, ke manusia-manusia lain yang dianggap lemah dan tidak bisa melawan seperti balita dan manula,” ujar Doni dilansir dari Detik.
Indonesia tidak asing dengan kasus konten penyiksaan hewan. Di waktu berbarengan dengan kasus di Tasikmalaya, publik juga dikejutkan dengan kasus penyembelihan kucing hamil di Bengkulu Utara. DR mengunggah kegiatannya menggorok leher kucing yang sedang hamil, memasaknya, dan memakannya via Facebook pribadi. Rumah Singgah Clow, kelompok penyedia rumah singgah hewan terlantar, lantas jadi salah satu garda terdepan yang menuntut aparat segera menangkap pelaku.
DR akhirnya ditangkap satuan Polres Bengkulu Utara pada Selasa. Kepada polisi, pelaku mengaku melakukannya karena lapar dan tak ada makanan di rumah. Polisi saat ini sedang merencanakan tes kejiwaan melihat pelaku yang kesulitan menjawab pertanyaan aparat dengan benar.
“Konten penyiksaan [satwa] yang diperjualbelikan ini sudah cukup lama berlangsung. Namun, banyak transaksi yang berlangsung secara privat, jadi tidak banyak yang tahu,” ujar aktivis satwa liar dari The Centre for Orangutan Protection (COP), Indira Tendi, saat dihubungi VICE.
Laporan Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) oleh Asia for Animals Coalition pada 2021 mencatat ada 5.480 video kekejaman terhadap hewan yang sudah ditonton sebanyak 5,3 miliar kali di YouTube, Facebook, dan TikTok selama Juli 2020 hingga Agustus 2021. Indonesia nangkring di posisi puncak sebagai negara yang paling banyak mengunggah konten kekerasan pada satwa sebanyak 1.626 video, unggul jauh dari Amerika Serikat (AS) yang ada di peringkat kedua dengan 296 video.
“Yang jelas, video-video seperti ini berbahaya karena dikhawatirkan ditiru anak-anak, tidak sesuai animal welfare, dan bisa merambat ke spesies dilindungi,” ujar Indira.
Regulasi yang “ramah” para penyiksa binatang juga ditengarai jadi salah satu alasan mengapa masalah ini masih lestari di Indonesia. Pada Januari 2021, akun YouTube “Abang Satwa” ketahuan mengunggah ratusan video eksploitasi monyet demi adsense. Jakarta Animal Aid Network (JAAN) jadi salah satu pihak yang melakukan konfrontasi sampai akhirnya kasus berhasil dibawa ke ranah hukum. Sayang, pemilik akun hanya kedapatan hukuman penjara 15 hari dengan denda Rp402 ribu dalam sidang vonis di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, April 2021.
“Memang ada regulasinya terhadap kesejahteraan dan kekerasan hewan, cuma ya penalty-nya atau yang harus dipenjara itu tiga bulan, tapi jumlah uang yang dibayar sebagai orang yang tertangkap itu sangat rendah,” kata Femke den Haas, salah satu pendiri JAAN kepada ABC Indonesia.