Pasal 415 dan 416 dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi sorotan dunia usaha. Gabungan pengusaha perhotelan mengaku keberatan dengan pasal tentang perzinahan dan kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan perkawinan) yang termuat dalam draf tersebut.
Sebagai konteks, dalam KUHP yang berlaku saat ini, definisi perzinahan adalah persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, yang salah satu atau keduanya sudah terikat perkawinan. Sedangkan kohabitasi alias kumpul kebo tidak diatur.
Dalam RKUHP versi terakhir yang bisa diakses publik (draf versi 4 Juli 2022), definisi perzinahan (Pasal 415) meluas, kini mencakup persetubuhan dua orang yang sama-sama belum menikah. Perbuatan ini termasuk dalam delik aduan, artinya hanya bisa diproses hukum jika ada aduan, dengan ancaman pidana maksimal 1 tahun penjara. Pihak yang berhak mengadukan adalah suami/istri (jika sudah menikah) atau orang tua/anak (jika belum menikah).
Lalu menurut Pasal 416, kohabitasi adalah orang yang hidup bersama layaknya suami-istri, namun tanpa ikatan perkawinan. Sama dengan pasal perzinahan, pasal itu bisa dikenakan pada seorang lajang maupun yang sedang menikah. Perbuatan ini juga masuk delik aduan, dengan hukuman maksimal 6 bulan penjara. Pihak yang berhak mengadukan adalah suami/istri (jika sudah menikah) atau orang tua/anak (jika belum menikah).
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani khawatir WNA yang tengah berwisata di Indonesia bisa menjadi korban pasal ini. Pasalnya hukum pidana menganut asas teritorial, yakni hukum satu wilayah berlaku untuk siapa pun yang berada di wilayah tersebut.
“Implikasinya adalah wisatawan asing akan beralih ke negara lain di mana hal tersebut berpotensi menurunkan kunjungan wisatawan ke Indonesia,” ujar Hariyadi kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/10) lalu. Hariyadi menyatakan pihaknya sedang berusaha bertemu DPR RI untuk membahas perihal ini.
Menanggapi keberatan pengusaha, Jubir Sosialisasi RKUHP Albert Aries hanya mengulang argumentasi pemerintah bahwa pasal perzinaan dan kohabitasi dibuat untuk menghormati lembaga perkawinan. Sementara Menparekraf Sandiaga Uno mencoba menenangkan dengan berjanji akan pastikan RKUHP tak akan ganggu pariwisata Indonesia. Dia akan mengkomunikasikan pembahasan pasal-pasal tersebut dengan Komisi X DPR.
“Kita pastikan bahwa ini tidak akan mengurangi minat wisatawan untuk berwisata, maupun para pengusaha hotel tidak akan kehilangan atau mendapatkan potensi canceling dari para calon pemesan dan wisatawan,” ujar Sandi dikutip Sindonews, Senin (24/10).
Pasal perzinaan dan kohabitasi sudah lama dikritik
Penolakan terhadap pasal perzinaan dan kohabitasi di RKUHP sudah lama muncul, namun pemerintah tetap bergeming. Mei 2022, Kemkumham merilis respons pihaknya terhadap 14 poin yang diprotes publik pada demonstrasi akbar September 2019. Terkait pasal perzinaan, Kemkumham hanya mengubah redaksional tentang siapa yang berhak mengadukan. Sedangkan pada pasal kohabitasi, Kemkumham sekadar menghapus bagian tentang kepala desa bisa melaporkan pasangan kumpul kebo.
Sikap keukeuh pemerintah memidanakan seks konsensual ini menimbulkan pertanyaan. Sebab, di pihak lain, lembaga pemerintah kerap enggan memidanakan seks non-konsensual (pemerkosaan).
Juli lalu VICE mewawancarai pengacara publik LBH Jakarta yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Citra Referandum, terkait perubahan minor di pasal perzinaan dan kohabitasi ini. Menurut Citra, perubahan tersebut tak menyentuh substansi kritik. Sebab yang disuarakan adalah agar pemerintah tak mengurusi ranah privat warganya.
“Apalagi zina dalam konteks ini diperluas maknanya, akhirnya malah mengkriminalisasi orang dewasa yang berhubungan seksual secara konsensual. Kalau mau melindungi anak, sudah ada UU Perlindungan Anak, kalau konteks kekerasan seksual sudah ada UU TPKS,” ujar Citra kepada VICE.
Saking problematisnya, Aliansi Reformasi KUHP bahkan punya 8 catatan khusus untuk pasal perzinaan. Di antaranya, hak ortu untuk melaporkan anaknya menggunakan pasal ini bisa meningkatkan angka perkawinan anak. Asumsi ini muncul karena ada data 89 persen perkawinan anak di Indonesia dilakukan karena, salah satunya, ortu mencurigai anaknya telah melakukan seks di pranikah. Selain itu kriminalisasi seks konsensual di luar nikah bisa menyurutkan usaha menanggulangi penyebaran HIV, yang hingga kini masih jadi PR di Indonesia.