Ditargetkan harus sah pada Juli mendatang, draf RUU KUHP berpotensi tidak direvisi sesuai tuntutan publik pada 2019 silam. Komisi III DPR RI memberi sinyal pihaknya tak akan menyisir ulang draf lama. Alasannya, Komisi III sepakat dengan apa yang sudah dirumuskan pemerintah dan anggota DPR periode sebelumnya.
Sikap itu tampak dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III bersama Kemenkumham, 25 Mei lalu. Menyimak pemaparan Wakil Menkumham Edward O.S Hiariej mengenai 14 isu krusial RUU KUHP, DPR RI tak menunjukkan akan memberi catatan maupun masukan.
“Sampai saat ini, belum ada kesepakatan itu [kesepakatan dengan DPR untuk merevisi pasal bermasalah RUU KUHP],” ujar Kabag Humas Kemenkumham Tubagus Erif Faturahman, Jumat pekan lalu (11/6), dilansir Republika.
“Hari ini saja masih pembahasan pemerintah, tapi percayalah substansinya tidak berubah,” ujar anggota Komisi III dari fraksi PDIP Arteria Dahlan, Selasa pekan lalu (7/6), dilansir CNN Indonesia.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut, ada yang salah kaprah dari pendekatan DPR yang tak lagi menyisir pasal-pasal RUU KUHP. Meski secara teknis pembahasan sudah disetujui di tahap pertama, bukan berarti substansinya tanpa masalah.
“Esensinya tetap ke pembahasan UU yang harus deliberatif [melalui pertimbangan]. Apalagi Kemenkumham sendiri bilang memang ada perubahan dari yang terakhir, walaupun drafnya sampai sekarang belum pernah dibuka,” ujar Bivitri kepada VICE.
“Kalau masih ada pasal yang masih kontroversial, berarti harus dibahas dulu secara terbuka dan partisipatif sesuai UUD dan UU PPP Pasal 96,” tambah Bivitri.
Bila benar tak ada pembahasan substansial di DPR, kemungkinan besar RUU KUHP yang akan disahkan kelak akan memakai draf lama (draf September 2019). Jika pun ada revisi, sepertinya akan sesuai dengan paparan 14 isu krusial yang disampaikan Wamenkumham (bisa dibaca di sini). Dalam dokumen tersebut, pemerintah memberi catatan poin krusial mana yang direvisi, dihapus, atau tetap dipertahankan.
Sebanyak 8 poin krusial–istilah untuk pasal yang diprotes publik–direvisi. Lalu 2 poin dihapus dan 4 poin lainnya dipertahankan sebagaimana adanya. Pasal penghinaan presiden dan wakil presiden termasuk yang dipertahankan.
Namun dugaan ini hanya akan jadi spekulasi selama draf terakhir RUU KUHP masih misteri. Pasalnya, pemerintah dan DPR tak kunjung membuka akses publik pada draf terakhir, jika ada. Padahal tenggat pengesahan yang dipasang DPR tinggal sebulan lagi.
Tubagus Erif mengatakan, draf terbaru belum dibuka karena menunggu DPR setuju. “Penyempurnaan dari pemerintah sendiri belum dapat disosialisasi dan dipublikasikan karena belum ada persetujuan dari DPR,” ujarnya pada 7 Juni kepada Koran Tempo.
Pada 9 Juni, Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyurati Presiden Jokowi agar membuka draf RUU KUHP terbaru untuk dikaji publik. Aliansi terdiri dari 82 organisasi, di antaranya YLBHI, LBH Jakarta, BEM UI, Imparsial, Greenpeace Indonesia, dan KontraS.
“Oleh karena itu kami menyerukan kepada pemeritah untuk membuka draf terbaru RKUHP kepada publik. Karena publik berhak memastikan perubahan substansi tersebut. Sebagaimana seruan sebelumnya, kami menekankan bahwa proses penyusunan RKUHP harus dilakukan secara transparan dan inklusif sebelum pengesahan menjadi Undang-undang,” ujar perwakilan Aliansi, Bayu Satrio Utomo, pada9 Juni lalu, dilansir Kompas.
Publik juga penasaran pada misteri draf RUU KUHP ini setelah Menko Polhukam Mahfud MD membuat pernyataan kontroversial, Mei lalu, bahwa RUU KUHP akan memidana LGBT.
Melawan kritik dengan jurus lama
Potensi RUU KUHP tak direvisi ini menimbulkan pertanyaan. Namun, Wamenkumham Eddy Hiariej memilih memakai jurus lama menanggapi pertanyaan ini. Ia mempersilakan masyarakat yang tak setuju dengan isi UU KUHP kelak agar menggugat ke MK, yang artinya harus menunggu RUU disahkan dulu.
Eddy menyebut pemerintah dan DPR tidak akan mungkin bisa membuat RKUHP yang memuaskan banyak pihak. “Jadi kalau mau bilang melanggar segala macam tetek bengek, ya sudah diuji saja di MK. Kan yang protes ahli hukum, kita selesaikan saja secara hukum. Nanti kan hakim yang menentukan yang bener yang mana,” ujar Edward kepada BBC Indonesia.
Strategi “jika tidak setuju, silakan gugat ke MK” ini juga yang dipakai pemerintah saat RUU Cipta Kerja diprotes. Sikap serupa disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD saat menyatakan sikap pemerintah yang pro kriminalisasi LGBT dalam RUU KUHP.
Berkaca pada pengalaman UU Cipta Kerja, menggugat UU setelah disahkan jelas bukan solusi. November tahun lalu, MK memvonis UU Cipta Kerja cacat formil (cacat dalam pembentukannya) dan inkonstitusional. Namun, MK juga membuat keputusan ambigu dengan membolehkan UU ini diperbaiki, maksimal selama dua tahun setelah putusan.
Pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Jokowi turut membuat publik khawatir akan membawa implikasi konflik kepentingan. “Memang perkawinan itu tidak disengaja untuk tujuan ini. Tapi lepas dari soal perkawinan, memang MK sudah dilemahkan dengan adanya UU MK baru. Kooptasi lembaga yudikatif, ini fenomena yang belakangan ini makin buruk,” tambah Bivitri.
RUU KUHP, yang merupakan RUU usulan pemerintah, sedianya hendak disahkan DPR pada akhir 2019 lalu. Rencana ini batal menyusul demonstrasi besar di berbagai kota besar Indonesia, menuntut sejumlah pasal bermasalah dalam RUU ini direvisi.
Menurut catatan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang bisa dibaca di sini, setidaknya ada 24 poin masalah dalam draf terakhir RUU KUHP (draf September 2019).
Imbasnya, Presiden Jokowi meminta pembahasan RUU KUHP dihentikan dan agar diteruskan oleh anggota DPR periode selanjutnya. “Saya juga memerintahkan Menkumham untuk menjaring masukan dari kalangan masyarakat sebagai bahan menyempurnakan rancangan RUU KUHP yang ada,” ujar Jokowi pada 20 September 2019, dilansir CNN Indonesia.
Menjaring masukan itu dilakukan oleh Kemenkumham sepanjang 2021 lewat acara bertajuk sosialisasi RUU KUHP, digelar di 11 kota. Namun, alih-alih menjaring aspirasi atas draf lama, acara ini tampaknya dipakai untuk meyakinkan bahwa draf lama tak perlu diubah. Yasonna Laoly, Menkumham era “demo RUU KUHP” yang kembali dipilih di periode ini, menyebut sosialisasi tersebut “mendapat respons positif”.
Daftar isu krusial juga tak berubah setelah sosialisasi. Angka 14 isu yang disampaikan Wamenkumham, Mei kemarin, masih sama dengan yang disampaikan Jokowi pada 2019. “Tadi saya melihat materi-materi yang ada, substansi-substansi yang ada, ada kurang lebih 14 pasal,” ujar Jokowi pada September 2019.
Sosialisasi tahun lalu bahkan sempat menuai kritik, kami sempat menuliskan masalah tersebut di sini. Pasalnya, dari 11 gelaran sosialisasi, hanya di kota kesebelas di Manado, peserta diberi draf RUU KUHP. Itu pun draf lama (draf 2019). “Jika tidak ada sedikit pun perubahan, lantas apa yang dibahas pemerintah [sepanjang 2019-2021]?” kritik Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur pada Juni 2021.