Parlemen di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berencana menggunakan privilese keistimewaannya untuk kebijakan yang progresif terkait mariyuana medis. Pada Kamis 25 Agustus 2022, Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) M. Rizal Falevi Kirani mengumumkan niatan DPRA untuk mengkaji penggunaan ganja untuk keperluan medis.
Rizal menyebut terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 16/2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menjadi pemicu rencana ini.
Apabila kajian yang akan dilakukan memberi hasil positif, DPRA mengaku siap membuat qanun atau perda yang melegalkan mariyuana medis.
“Baru-baru ini ada keluar PMK No. 16/2022. Ini dasar bahwa kita akan mengkaji lebih komprehensif dulu terhadap substansi keluarnya PMK, berbicara salah satunya tentang legalisasi ganja untuk medis. Saya pikir karena Aceh mempunyai literatur ganja yang sangat komprehensif, dan juga memiliki [ganja] berkualitas terbaik, tentu ini menjadi penting dikaji untuk melahirkan sebuah regulasi,” kata Rizal dilansir iNews.
Dari kalimat “literatur ganja yang sangat komprehensif” dan “ganja berkualitas terbaik” yang dikeluarkan, DPRA mengesankan sudah punya modal mendalam untuk melakukan kajian lebih lanjut.
Di samping perkara kesehatan, Politikus dari Partai Nanggroe Aceh tersebut menyebut legalisasi ganja medis akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh, tentunya dengan mengikuti tata cara penjualan yang diatur negara secara legal. Dalam waktu dekat, DPRA Aceh akan memanggil tenaga ahli untuk mengkaji apakah PMK memang bisa menjadi landasan kajian legalisasi ganja medis.
“Ini adalah sumber yang fantastis menurut saya. Karena ini akan menjadi barang ekspor untuk negara-negara luar. Karena banyak negara yang tidak bisa tumbuh ganja yang berkualitas seperti di Aceh. Peluang ini harus dimanfaatkan lewat regulasi yang tepat,” tambah Rizal.
Meski belum jelas apakah niatan tersebut sekedar gimmick atau bukan, berita ini menjadi angin segar setelah Juli lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi UU Narkotika untuk legalisasi ganja medis yang diajukan Dwi Pertiwi, Santi Wirastuti, dan Nafia Muharyanti. Ketiga perempuan ini adalah orang tua dari anak penderita lumpuh otak atau cerebral palsy yang meminta akses kesehatan terhadap terapi ganja medis, yang terbukti berdampak positif pada penderita.
MK beralasan penolakan dilakukan karena menganggap penyakit yang bisa disembuhkan terapi mariyuana medis tak sebanding dengan kerugian besar yang bakal timbul dari penyalahgunaan ganja apabila tidak ada kesiapan aturan. Pelarangan ini disebut sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menjaga kesehatan warga negaranya, sesuai perintah UU 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 54.
MK juga berpendapat meski ada negara lain yang sudah melegalkan ganja medis, bukan berarti hal yang sama bisa langsung diterapkan di Indonesia. “Hal ini disebabkan adanya karakter yang berbeda, baik jenis bahan narkotikanya, struktur, dan budaya hukum masyarakat dari negara yang bersangkutan, termasuk sarana dan prasarana,” ujar Hakim Suhartoyo membacakan putusan.
Kabar baiknya, MK memberi catatan tambahan bahwa legalisasi ganja medis tidak lantas tertutup kemungkinannya. Isu ini kini ada di tangan pemerintah dan DPR RI. Keduanya dianggap perlu proaktif melakukan revisi UU Narkotika. MK mengakui desakan masyarakat agar mariyuana medis bisa jadi alternatif terapi belum bisa diteliti secara bebas akibat benturan pada pasal-pasal UU Narkotika.
Patut diakui, respons pemerintah dan DPR cukup memberi harapan positif bagi yang membutuhkan terapi mariyuana medis. Mulai dari pernyataan perwakilan DPRA di atas, dukungan legalisasi ganja medis yang fenomenal dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin, janji pembahasan regulasi mariyuana dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, hingga PMK 16/2022 tadi.
Patut dinanti bagaimana Aceh sebagai tokoh utama dalam isu ini, bisa secara legal memamerkan literatur ganjanya yang sangat komprehensif itu demi tujuan mulia.