Putu Dessy Fridayanthi sudah berkali-kali memastikan kepada pihak penyelenggara apakah memang dirinya benar bisa tampil membawakan acara saat mengetahui Gubernur Bali I Wayan Koster turut terundang. Penyelenggara pun sudah berkali-kali pula memastikan bahwa Dessy bisa dan akan jadi Master of Ceremony (MC) acara di atas panggung. Acara yang diselenggarakan pada Jumat (10/9) lalu di Kabupaten Badung ini diinisiasi sebuah perusahaan swasta, namun rencananya hadir pula pimpinan kementerian bersama Koster.
Kekhawatiran Dessy cukup berdasar. Sebagai pembawa acara profesional selama 23 tahun di Pulau Dewata, Dessy mengetahui rahasia umum bahwa Koster kerap memaksakan acara yang dihadirinya agar dibawakan oleh MC laki-laki. Apabila memang harus perempuan, maka wujudnya tidak boleh kelihatan di panggung. Dalam postingan itu, disebut-sebut banyak pekerja event perempuan seperti MC, penari, atau penyanyi, yang harus rela diputus kontraknya sehari sebelum acara hanya karena permintaan politikus PDIP tersebut.
Mendapat jaminan dari penyelenggara bahwa semua akan baik-baik saja, Dessy tak ambil pusing sama kegelisahannya. Nyatanya, beberapa saat sebelum acara dimulai, kabar buruk itu datang. Pihak protokol gubernur menginformasikan apa yang ditakutkan Dessy. Koster memintanya tak naik panggung dan diminta membawakan acara dari ruang rias. Melihat acara akan dimulai, Dessy menahan emosinya untuk bekerja secara profesional.
Selepas acara, Dessy meluapkan keluh kesahnya di Instagram Story, kemudian dilanjut dengan kronologi lengkap versinya yang bisa dibaca di tautan ini. Pesannya jelas, ia gerah dengan perlakuan diskriminatif Koster terhadap pekerja perempuan dan meminta klarifikasi dari pemerintah provinsi terkhusus Koster. Aksi berani Dessy bersuara atas apa yang menimpanya ini jadi perhatian publik. Koster segera jadi target kritik berbagai pihak.
Direktur LBH Bali Vany Primaliraning meminta Ombudsman berani memanggil Koster karena sang Gubernur berutang penjelasan kepada publik. Vany berharap Ombudsman bisa jadi mediator agar masyarakat bisa mendapatkan konteks kejadian.
“Ombudsman sebenarnya [berhak] memanggil para pihak untuk melihat secara utuh bagaimana kronologisnya. Kemudian, dari panggilan itu Ombudsman melihat apakah ini benar-benar menjadi pelanggaran pelayanan publik atau ada kesalahpahaman biasa,” kata Vany pada keterangan tertulis Kamis (16/9) kemarin, dilansir dari Kumparan. “Ombudsman punya wewenang kalau ada pelanggaran, bahkan bisa memberikan sanksi untuk dinonaktifkan dari jabatannya. Hal-hal seperti ini harus diklarifikasi. Karena apa, agar tiak menimbulkan informasi yang salah di masyarakat.”
Sampai berita ini dituliskan, juru bicara kantor gubernur Bali belum angkat bicara. Sementara itu, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana mengaku tak tahu menahu soal kebiasaan bosnya tersebut, sekaligus menegaskan bahwa tak ada perlakuan diskriminatif dalam setiap protokol acara pemerintahan.
“Kalau itu [protokol], biasa saja [tidak ada larangan pembawa acara perempuan] dan tidak ada masalah,” kata Oka dilansir Kompas, Senin (13/9) lalu.
Ombudsman Bali sebenarnya sudah merespons kasus sejak Senin (13/9). Namun, hanya kecaman yang disampaikan mereka, belum ada pemanggilan seperti yang diharapkan Vany. Kepala Ombudsman Bali Umar Ibnu Alkhatab menilai apa yang dilakukan Koster bsia masuk kategori maladministrasi.
“Secara khusus perlakuan ini masuk dalam kategori maladministrasi, yakni tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pemerintah terhadap seorang warga negara. Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali menyayangkan terjadinya peristiwa tersebut yang terjadi justru pada acara resmi pemerintah. Peristiwa tersebut menggambarkan betapa diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi dan dilakukan secara mencolok,” kata Umar kepada Detik.