Niat baik Hesti Sutrisno merawat anjing liar terpaksa dipertimbangkan ulang. Perempuan bercadar ini mengasuh 71 ekor anjing liar di lahan pribadinya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Namun organisasi masyarakat sejak Februari 2021 menggelar protes ke Hesti, dengan alasan suara gonggongan para anjing mengganggu warga, serta muncul asumsi tindakan Hesti tidak sesuai norma agama Islam.
Ini bukan kali pertama perempuan 41 tahun itu didatangi dan diprotes oleh ormas. Sebelum merawat anjing-anjing di lahan yang dia juluki Green House tersebut, Hesti sempat viral pada 2018 karena menjadikan kediamannya di daerah Pamulang, Tangerang Selatan, sebagai tempat merawat anjing-anjing liar. Reaksi warga sekitar dahulu dan sekarang cenderung mirip, mereka mengutarakan keresahan dan meminta Hesti tak lagi memelihara anjing.
Adapun insiden tekanan ormas Bogor pada Hesti ramai di media sosial setelah dicuit akun @fravisyar. Kini, akun tersebut tidak dapat ditemukan. Meski demikian, Liputan6.com sempat mencatat beberapa informasi dari cuitan tersebut. Salah satunya, lokasi lahan Green House yang sebenarnya cukup jauh dari pemukiman.
“Lahan yang bu Esti miliki juga tidak bersebelahan dengan rumah warga, bisa dilihat dari sini. Pembuangan kotoran anjing-anjingnya pun, telah uji layak dengan membuangnya pada septic tank yang sudah dibuatkan,” tulis @fravisyar seperti dikutip Liputan6.com. Sebanyak tujuh warga setempat juga turut dipekerjakan oleh Hesti untuk membantu mengurus 70 anjing-anjing tersebut.
Polisi akhirnya turun tangan dan mencoba mengadakan mediasi pada Sabtu (13/3) lalu. Menurut Kapolres Bogor AKBP Harun, jalan tengah hasil dari mediasi tersebut adalah dilepasnya 40 ekor anjing, menyisakan 30 saja di shelter milik Hesti. “Jadi [anggota ormas] mereka keberatan kalau [orang memakai] atribut Islami memelihara anjing. Di sini kita [mencoba mencari] jalan tengah. Sementara itu 40 ekor [anjing] akan dilepaskan,” kata Harun saat dikonfirmasi media.
Melepas 40 anjing tersebut diakui pemerintah setempat bukan solusi terbaik. Pasalnya, 40 ekor anjing bukan jumlah yang sedikit dan perlu ada lembaga memfasilitasinya. Camat Tenjolaya Farid Maruf, saat dikonfirmasi Kumparan, menilai tanggung jawab perawatan anjing-anjing itu otomatis jatuh ke pihaknya. “Mbak Hesti enggak masalah kalau mau dikeluarkan anjingnya dari situ. Cuma kan jadi PR kita, banyak nih. Enggak mungkin dilepas.”
Alhasil Kecamatan Tenjolaya turut meminta Dinas Peternakan Bogor untuk turut ambil bagian dan berkoordinasi dengan Badan Karantina. Namun lembaga itu juga angkat tangan, dan urusan anjing ini dilempar kembali ke Hesti.
“Kalau Dinas Peternakan bukan ngurusin kayak begituan. Mestinya komunikasi berkoordinasi mereka dengan masyarakat. Kita mah nggak ngurus sampai detilnya, hanya anjingnya sehat atau enggak,” ujar Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor Otje Subagja kepada Kumparan, Senin (15/3). Hesti lantas kini diminta aparat kembali bernegosiasi dengan ormas atau warga setempat.
Mengingat shelter untuk anjing liar ini sudah mengantongi izin dari kepala desa serta kecamatan setempat, Hesti menganggap ia tidak melanggar peraturan apa pun. “Saya bukan teroris, penjahat, bandar narkoba, jual anjing atau bahkan jagal. Makanya saya tidak mengerti kenapa kejadian seperti ini terjadi lagi,” kata Hesti kepada CNN Indonesia pasca mediasi dengan ormas.
Terlepas dari kasus Hesti yang jadi ramai lantaran melibatkan isu agama, nasib hewan liar khususnya kucing dan anjing di Tanah Air memang kurang terjamin. Populasi binatang jalanan terus meningkat, namun keberadaannya seringkali dimusuhi warga. Tidak jarang masyarakat melaporkan ketidaknyamanan mereka soal binatang liar, sehingga Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) harus bertindak cukup ekstrem. Salah satunya dengan melakukan razia dengan menggunakan jaring, seperti yang terjadi di jalanan Jakarta pada 2019.
Sempat diprotes para pecinta binatang, Kepala Dinas KPKP DKI Jakarta Darjamuni mengatakan praktik razia tersebut telah dihentikan. Dia juga mengklaim kucing-anjing liar tersebut tidak diperlakukan buruk setelah dirazia.
“Ada isu [anjing-kucing liar] nanti kami kasih ke Ragunan buat makan hewan, itu tidak benar. Tidak pernah kami berikan hewan, apalagi dalam keadaan hidup. Disuntik mati juga tidak, kata Darjamuni seperti dicatat Kompas.com.
Merujuk alur resmi pemerintah, kucing-anjing liar yang dirazia dikirim ke Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan) untuk divaksin dan disterilisasi. Jika hewan yang telah berpemilik tidak sengaja tertangkap, akan ditunggu oleh tiga hari oleh Dinas KPKP. Lewat dari itu, untuk mendapatkan hewannya kembali, warga harus melalui prosedur pengadopsian sesuai aturan yang berlaku.
Sterilisasi massal juga sempat dilakukan oleh Dinas KPKP. BBC Indonesia mencatat di Jakarta sebanyak 33.000 ekor anjing dan kucing yang divaksin pada tahun 2018, dan lebih dari 1.400 kucing pada tahun 2019. Namun belum ada data menunjukkan apakah kebijakan itu berhasil mengendalikan populasi binatang liar di ibu kota.