Wacana penundaan pemilu 2024 terus digulirkan elit politik dan memicu pro-kontra. Kebijakan macam itu, andai disetujui mayoritas parlemen, berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden, paling tidak hingga 2026.
Sosok yang menyuarakan pertama kali wacana tersebut pada akhir Februari lalu adalah Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Politikus akrab disapa Cak Imin itu mengaku penundaan pemilu diperlukan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mulai meningkat selepas pandemi. Sosok Jokowi dianggap berperan besar dalam pemulihan ekonomi, sehingga situasi bisa terganggu jika ada pergantian pemerintahan.
Elit politik lain yang turut menyuarakan argumen serupa adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan saat hadir di acara podcast Deddy Corbuzier pada 12 Maret 2022. Luhut menyatakan timnya memiliki ”big data” percakapan media sosial melibatkan 110 juta orang di Indonesia.
Muncul tren dari data tersebut, yang menurut Luhut cenderung menunjukkan dukungan atas penundaan pemilu 2024. Luhut menilai, karena rakyat yang ingin agar pemilu 2024 ditunda jumlahnya banyak, akan aspirasi tersebut harus didengar partai politik dan DPR. “Kalau suara rakyat itu besar, DPR dan parpol pasti mendengar suara konstituennya,” ujar Luhut.
Klaim Luhut mendapat kritikan dari pakar data, sesama politikus, hingga ahli hukum. PDIP, sebagai salah satu partai utama pendukung Presiden Jokowi, sampai menuntut Luhut agar tidak bermanuver politik, dan fokus pada tugasnya sebagai menko urusan investasi.
Ismail Fahmi, salah satu pendiri lembaga analisis medsos Drone Emprit, termasuk yang kritis menyorot klaim big data dari politikus 74 tahun tersebut. Lewat pernyataan di akun Twitternya, Ismail menyatakan data pembanding yang dia miliki menunjukkan maksimal cuma 10.852 akun Twitter terlibat pembicaraan penundaan pemilu atau perpanjang masa jabatan Presiden Jokowi. Angka tak jauh berbeda muncul dari pengamatan percakapan pengguna Facebook. “Mayoritas nolak [penundaan pemilu],” ujar Ismail.
Saat dikonfirmasi CNN Indonesia, pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul M. Jamiluddin Ritonga mendesak Luhut membuktikan klaim bahwa ada banyak masyarakat ingin menunda pemilu dua tahun mendatang. Dia juga menuntut data big data yang diaku Luhut dibuka untuk publik.
Dari segi definisi, big data pada dasarnya adalah sekumpulan data yang diproduksi publik, sekaligus rangkuman pola interaksi yang dapat diperoleh dari berbagai medium seperti media sosial, forum internet, catatan kependudukan, dan lain sebagainya. Lazimnya data macam ini bisa dianalisis, diolah, maupun diakses terbuka oleh siapapun.
Namun Luhut, ketika dikonfirmasi media pada 15 Maret 2022 sesudah rapat persiapan G20 di Jakarta, menolak membuka “big data” yang dia miliki. Dia sekadar menjamin data melibatkan 110 juta percakapan pengguna medsos itu bukan isapan jempol.
“Pasti ada lah [big data], masa bohong. Tapi jangan lah [dibuka ke publik], buat apa dibuka,” ujar Luhut seperti dilansir BeritaSatu.
Dia menyatakan wacana penundaan pemilu berangkat dari kekhawatiran bahwa pemerintah sedang butuh biaya besar menanggulangi efek pandemi Covid-19, serta memulihkan ekonomi nasional. Sementara biaya penyelenggaraan pemilu serentak 2024 ditaksir mencapai Rp86 triliun.
“Kenapa duit segitu besar untuk Pilpres mau dihabisi sekarang, kita kan masih sibuk dengan Covid-19, keadaan masih begini, dan seterusnya-seterusnya. Itu pertanyaan, kenapa kita mesti buru-buru,” kata Luhut.
Dalam cuplikan diskusi daring yang dilansir Tempo, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, menganggap pernyataan Luhut soal big data itu tidak jelas dasar ilmiahnya. “Kita sedang dibodoh-bodohi dengan cara ini, logika kita dibolak-balik sembarangan dan apa yang dinyatakan penguasa seakan-akan benar,” ujar Bivitri.
Sejauh ini ada tiga partai politik di Indonesia yang mengusulkan penundaan pemilu, sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengklaim penundaan pemilu hanya bisa didukung jika sesuai konstitusi. Partai besar lain seperti PDIP, NasDem, Demokrat, serta PKS menolak tegas manuver ini.
Di tengah sorotan negatif berbagai pihak, Cak Imin sendiri berkukuh akan terus mengupayakan penundaan pemilu 2024. Saat dikonfirmasi Suara.com, Cak Imin berniat melobi ketua-ketua parpol besar agar mengubah sikap. Salah satu solusinya, mengikuti sikap PSI, adalah mengubah UUD untuk membuka peluang penundaan pemilu atau sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden.
“Kita masih menunggu ketum-ketum. Kalau ketemu ngobrol gitu aja [soal kemungkinan penundaan pemilu],” ujar ketum PKB itu pada 15 Maret 2022. “Kita juga taat konstitusi, jadi usulan itu dalam koridor konstitusi.”