Dalam video yang beredar awal tahun ini, tampak seorang perempuan berlinangan air mata ketika meminta pertolongan. Raut panik dan ketakutan terukir jelas di wajahnya yang tertutup masker. “Saya menjadi tawanan agen bernama Sandeep Aujla alias Kaifi di Siprus,” ungkap Kaur membuka video tersebut. Perempuan asal Punjab, negara bagian di India utara, telah menjadi korban perdagangan manusia.
“Keluarga di rumah belum tahu keadaan yang sesungguhnya. Jika sampai terjadi hal yang tak diinginkan kepadaku, maka dialah pelakunya.”
VICE World News telah mengubah semua nama korban dalam artikel ini untuk melindungi keselamatan mereka.
Kaur bercerita dirinya telah ditipu dan diperas habis-habisan oleh Kaifi, yang mengaku sebagai agen perjalanan. Perempuan itu menggunakan jasanya untuk mengurus visa dan dokumen izin bekerja di Eropa. Namun, alih-alih memperbaiki nasib, dia justru diperdagangkan setibanya di Siprus.
Kisah tragis Kaur sampai ke telinga Amrik Singh, aktivis HAM yang mendalami maraknya kasus perdagangan manusia di Punjab. Saat dihubungi VICE World News di kediamannya di Spanyol, lelaki 40 tahun itu mengungkapkan telah menyelamatkan ratusan perempuan Punjabi dari perdagangan manusia di Eropa selama dua dekade terakhir. Dia juga memperhatikan modus jebakan yang menjerat Kaur semakin sering terjadi dalam 10 tahun terakhir.
“Akun media sosialnya hilang tak lama setelah video itu tersebar. Ponselnya juga dimatikan, sehingga kami kesulitan melacak keberadaannya. Entah ada di mana dia sekarang, tapi kami yakin akan menemukannya,” terang Singh melalui panggilan telepon. Dia segera mencari petunjuk mengenai keberadaan Kaur setelah mendapat kiriman video di WhatsApp.
Kelima penyintas yang diwawancarai VICE World News berasal dari Punjab, negara bagian agraris yang memiliki angka pengangguran cukup tinggi. Semuanya dijanjikan bisa bepergian secara legal ke Eropa menggunakan visa kerja. Tanpa mereka sadari, mereka telah jatuh ke dalam cengkeraman sindikat perdagangan manusia. Banyak penyintas yang paspornya diambil oleh agen bodong begitu pesawat mereka mendarat di Eropa. Alasannya supaya berkas-berkas tidak hilang, tapi sebenarnya itu akan dimanfaatkan untuk memeras mereka.
Singh menceritakan tentang tiga orang perempuan berusia 19-22 yang diperdaya agen perjalanan palsu yang beroperasi di tempat tinggal mereka di Kartarpur, Punjab. Mereka harus membayar sekitar 16.600 Euro (Rp255 juta) kalau mau dibantu mengurus dokumen keberangkatan ke Italia dan Jerman. Ketiganya dijadwalkan terbang ke negara tujuan masing-masing pada Desember 2021, tapi malah dikirim ke Serbia. Sesampainya di sana, anggota geng penyelundupan manusia membawa mereka secara paksa ke sebuah hotel dan menyekapnya di sana selama beberapa hari. Singh mengatakan, sindikat itu beroperasi di India, Serbia dan Pakistan.
Mereka kemudian dibawa ke Yunani melalui perbatasan utara Makedonia, dan penderitaan berlanjut hingga dua minggu berikutnya. Sebelum berhasil diselamatkan tim Singh, mereka dikabarkan menjadi korban kekerasan seksual dan penganiayaan.
“Mereka mengalami trauma yang mendalam,” tutur Singh.
Selama ini, para pegiat HAM fokus pada kasus perdagangan manusia yang menimpa laki-laki asal Punjab di Eropa. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dirilis pada 2009 menunjukkan, setiap tahunnya, ada sebanyak 20.000 laki-laki Punjabi yang ditipu pelaku perdagangan manusia saat mereka berusaha bermigrasi ke luar negeri. Namun, berdasarkan hasil wawancara VICE World News, semakin banyak perempuan Punjabi yang menjadi target perdagangan manusia dewasa ini. Banyak di antara mereka dilecehkan secara seksual.
Kondisi yang memprihatinkan di kampung halaman membuat banyak warga Punjab tergiur dengan prospek kehidupan yang lebih baik di luar negeri. Mereka siap mengeluarkan banyak dana jika itu artinya mereka bisa memperbaiki nasib di negara orang. Agen bodong memanfaatkan kesempatan ini dan menjanjikan kemudahan bepergian ke luar negeri. Sebagian besar beroperasi di daerah-daerah pedesaan yang peluang kerjanya kecil.
Banyak penduduk Punjab memilih hijrah ke luar negeri demi meningkatkan kualitas hidup, tapi tak semuanya bernasib beruntung. Mereka kerap baru menyadari kenyataan tak seindah yang diiklankan begitu mereka sudah sampai di tempat tujuan. Tak jarang orang menyesal dan berharap bisa pulang ke tanah air karenanya.
Bersama organisasi nirlaba Helping Hapless, Amanjot Kaur Ramoowalia aktif membantu memulangkan warga Punjabi yang terperangkap di luar negeri. Menurut Ramoowalia, banyak keluarga yang membutuhkan pertolongan timnya agar putri mereka bisa cepat kembali ke rumah. Banyak dari perempuan itu yang terjebak dalam situasi perbudakan manusia modern di negara-negara Eropa, seperti Ukraina, Belarusia dan Italia. Beberapa mengalami hal serupa di Singapura, Dubai dan Thailand.
Baru-baru ini, menteri dalam negeri India mengklaim tingkat hukuman terkait kasus perdagangan manusia telah mengalami penurunan dari 2017 hingga 2020, dan semua kasus yang dibawa ke jalur hukum berujung pada pembebasan. Menurut statistik kriminal India, 15 perempuan Punjabi menjadi korban perdagangan manusia dalam 11 kasus yang berbeda pada 2020. Namun, hanya dua kasus yang diproses hukum, dan tak ada satu pun yang berujung pada pemberian hukuman.
Pada Mei 2020, keluarga Simran menghubungi agen perjalanan bernama Lakhwinder Singh, yang dikenal memiliki nama alias Harman, dengan harapan orang itu bisa membantu mereka mengurus berkas-berkas yang diperlukan Simran untuk tinggal dan bekerja di Benua Biru. Lelaki itu mengaku telah membantu banyak warga Punjab mendapatkan visa kerja dan izin tinggal permanen di Eropa. Mereka cukup duduk santai, sementara dia mempersiapkan segalanya untuk Simran. Lakhwinder menagih 7.000 Euro (Rp107 juta) untuk mengeluarkan dokumen legal, visa kerja dan tiket pesawat ke Italia.
Dokumen Simran kelar dua bulan kemudian. Lakhwinder menjamin perempuan itu sudah menerima izin bekerja di Italia, tapi visanya baru bisa diperoleh saat dia transit di Bandara Siprus. “Dia memesan dan membatalkan tiket penerbangan saya setidaknya tiga kali, tapi kami tidak curiga sama sekali,” ujar Simran.
Kemudian suatu hari pada Agustus 2020, Lakhwinder mengabarkan bahwa Simran akan menuju Italia melalui Austria. Agen itu menyerahkan dokumennya di hari H, dan berjanji akan menemui Simran di tempat tujuan.
Namun, keluarga Simran sama sekali tak mendengar kabar darinya sejak pesawat yang ditumpangi Simran lepas landas. “Kami berulang kali mencoba menghubunginya, tapi tak berhasil. Kami baru mendapat kabar dua jam kemudian, Simran ditangkap di bandara Siprus karena melanggar hukum internasional. Lakhwinder memberikan dokumen palsu, dan ponselnya tidak dapat dihubungi,” terang saudara ipar Simran saat berbicara kepada VICE World News.
Simran divonis hukuman tiga bulan penjara, tapi dibebaskan lebih awal karena berperilaku baik. Saat ini, dia masih mengungsi di Siprus dan bekerja di sebuah pabrik cokelat.
Simran bukan satu-satunya perempuan yang ditipu Lakhwinder.
Nikita, 28 tahun, didukung ayahnya untuk menjajal peluang kerja di Eropa. Sang ayah bahkan membantunya mencari pekerjaan dengan gaji tinggi. “Lakhwinder bilang dia bisa membuatkan izin kerja melalui kenalannya di Eropa dan AS. Biaya pengurusannya 20.000 Euro (Rp306 juta).”
Lakhwinder mendadak hilang kontak setelah menerima bayaran. Tak ada cara bagi keluarga Nikita untuk meminta pertanggungjawabannya atas pemalsuan dokumen.
Sejauh ini, otoritas Punjab telah menerima sebanyak 100 pengaduan yang masuk dari para korban Lakhwinder di distrik Bhatinda, Sangrur dan Jalandhar. Nominal uang yang dibawa kabur pelaku mencapai 200.000 Euro (Rp3,06 miliar). Selain penipuan, Lakhwinder juga dituduh menyelundupkan anak muda asal Punjab ke berbagai negara di Eropa. Polisi masih memburu jejaknya.
Praktik perdagangan orang yang menimpa keluarga Punjabi cepat naik ke permukaan, tapi amat disayangkan masyarakat kurang memperhatikan perjuangan yang terus dihadapi korban setelahnya.
“Perdagangan orang yang melibatkan perempuan Punjabi jarang dibicarakan karena adanya stigma yang melekat pada korban perempuan,” Dr Suneel Kumar, profesor studi strategis dan regional dari University of Jammu, menjelaskan kepada VICE World News. “Banyak masalah yang harus dipertimbangkan, seperti siapa yang bersedia menikahi mereka apabila kasusnya terekspos ke publik.”
Pada 2012 dan 2013, pemerintah negara bagian Punjab mengeluarkan regulasi baru yang memperketat aturan bisnis biro perjalanan di sana. Pihak berwenang juga telah membentuk 28 unit anti-perdagangan orang yang tersebar di seluruh Punjab. Polisi aktif menjalani pelatihan menangani kasus semacam ini. Namun, korban penipuan terus bermunculan. Data Kepolisian Punjab menunjukkan, setengah dari 2.140 tuduhan yang dilayangkan terhadap agen perjalanan di Punjab sepanjang 2017-2019 masuk kategori penipuan. Hanya 25 persen di antaranya yang diatur oleh undang-undang anti-perdagangan orang.
Advokat HAM Arjun Sheoran membeberkan banyak penyintas memilih tidak menempuh jalur hukum karena takut berada di bawah pengawasan itu sendiri. “KUHP India terlalu luas, sehingga mempersulit proses penuntutan. Juga ada keengganan untuk menempuh jalur hukum dan menerapkan undang-undang ini.”
Jurnalis Gurdeep Singh Takkar mengakui undang-undangnya telah mengekang aktivitas biro perjalanan ilegal di daerah perkotaan, tapi gagal menghentikan praktiknya di wilayah pedesaan. Dia menekankan agen perjalanan bodong akan terus merajalela apabila warga Punjab tidak mengubah pola pikir mereka dan terlalu gegabah hijrah ke luar negeri.
Harsh, saudara ipar Simran, mengakui hal ini. “Masalah terbesarnya adalah tidak adanya informasi yang tepat tentang mencari pekerjaan di luar negeri. Banyak orang Punjab ingin pergi ke Kanada dan Eropa, dan mereka siap mengeluarkan uang untuk mewujudkannya. Di situasi seperti inilah, mereka mudah tergiur iming-iming agen yang berencana menipu mereka,” katanya.
Simran sangat menyesal telah terbuai ucapan manis Lakhwinder. “Tak semestinya perempuan mengalami hal ini. Ada banyak perempuan sepertiku yang tertipu agen bodong macam Lakhwinder. Beberapa bahkan mengalami pelecehan seksual dan penganiayaan, tapi mereka terlalu takut menyebutkan siapa pelakunya.”
“Lakhwinder masih bisa berkeliaran dengan bebas, sedangkan saya menderita sendirian di sini, jauh dari keluarga,” ucap Simran. “Itu yang saya sedihkan.”
Artikel ini didukung oleh ‘Modern Slavery Grant’ dari journalismfund.eu
Follow Pari Saikiadi Twitter.