Toko pakaian Saira Javid terletak di ujung jalan sempit yang padat di sebuah pasar di kota Kupwara, Himalaya. Lokasi toko persis seperti kisah hidupnya selama di India: diliputi kebuntuan.
“Saya siap kehilangan semuanya. Saya siap meninggalkan suami. Saya paham betul gimana rasanya tinggal di neraka. Saya hanya ingin pulang ke Pakistan,” tutur perempuan 43 tahun yang berasal dari Ibu Kota Karachi itu.
Sayangnya, dia tidak bisa pulang kampung.
Kota tempat tinggal Javid saat ini berada di Jammu dan Kashmir, wilayah sengketa India dan Pakistan. Kedua negara telah berperang dua kali untuk memperebutkan kekuasaannya.
Jammu dan Kashmir adalah satu-satunya negara bagian India yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Status otonomi khususnya telah dicabut pemerintah India sejak dua tahun lalu.
Warga terbelah antara India dan Pakistan sejak kedua negara memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 1947. Tidak mudah untuk melintasi perbatasan, sering kali tergantung pemerintah sedang akur atau tidak.
Namun, ikutan komunal yang kuat tetap bertahan. Ratusan janji suci terikrar melintasi perbatasan.
Javid memperkirakan setidaknya ada 350 perempuan Pakistan yang menikah di wilayah Kashmir yang dikuasai India, dan tidak bisa bersua dengan sanak saudara di kampung halaman. Melalui WhatsApp, dia mengorganisir aksi protes dan mencari bantuan hukum bagi perempuan Pakistan yang tidak bisa angkat kaki dari India.
Para perempuan itu menikah dengan lelaki Kashmir India yang menerobos masuk ke Pakistan ketika penjagaan perbatasan masih longgar pada 1990-an. Mereka hidup bahagia di Pakistan hingga hubungan bilateral memanas dan pemerintah India memberikan amnesti kepada warga Kashmir India yang menyeberangi perbatasan secara ilegal.
Banyak istri yang diboyong suaminya ke India, tapi hanya membawa paspor Pakistan dengan visa berkunjung ke India. Mereka terjebak di sana sampai sekarang.
Pada 2007, Javid menyanggupi permintaan suami untuk bertemu orang tuanya di Kashmir yang dikuasai India. Mereka ingin memperkenalkan kedua anaknya ke kakek-nenek. Visa Javid hanya berlaku untuk satu bulan. Tapi ternyata, setibanya di kampung halaman suami, paspornya dibuang oleh mertua.
“Mereka ingin saya tinggal di sini selamanya,” kata Javid.
Javid, suami dan anak-anaknya tidak memegang dokumen perjalanan sama sekali. Mereka ditangkap sebulan kemudian karena tinggal di India secara tidak sah. Mereka bebas dengan jaminan setelah beberapa bulan, tapi kasus Javid berlangsung selama delapan tahun sampai dia benar-benar dibebaskan.
Dia bisa kembali ke rumah orang tuanya di Karachi jika punya paspor India, tapi sayangnya dia belum memenuhi syarat.
Sheikh Showkat, profesor hukum di Central University of Kashmir, mengungkapkan, Konvensi Internasional tentang Kewarganegaraan Perempuan Menikah sesungguhnya telah mewajibkan India untuk mengeluarkan dokumen perjalanan bagi para perempuan Pakistan yang menikah dengan lelaki Kashmir.
“Perempuan-perempuan ini berhak memperoleh kewarganegaraan suami, dan negara wajib memberikannya. Itu sudah menjadi kewajiban India,” terangnya.
Pada 1990-an, ribuan lelaki Kashmir India mendatangi Pakistan untuk melakukan pelatihan untuk melawan pemerintahan India di Jammu dan Kashmir, menurut pemerintah India. Ratusan orang diyakini tetap tinggal di sana dan menikahi perempuan Pakistan seperti Javid.
Paspor dan visa Nusrat Begum tiba-tiba hilang ketika dia menjenguk mertua pada 2008. Dia pergi ke rumah orang tua suaminya beberapa bulan setelah menikahi militan India yang latihan di Pakistan. Saking frustrasi ingin pulang, dia rela kalau dideportasi dari India. Tapi itu tidak terjadi.
Dia kini mengurus dua putrinya sendirian karena suami selingkuh dengan perempuan lain. Yang dia inginkan sekarang hanyalah pulang ke Muzaffarabad, ibu kota Azad Kashmir di Pakistan.
“Saya bilang ke suami, tidak peduli kalau dia mau menikah sama 10 perempuan sekali pun. Saya mau pulang,” ujar perempuan 33 tahun itu.
Pada 2010, pemerintah India untuk Jammu dan Kashmir mengumumkan kebijakan rehabilitasi untuk lelaki Kashmir yang ingin hengkang dari Pakistan. Mantan militan dan keluarganya dijamin bisa kembali ke India dengan aman melalui rute khusus di sepanjang perbatasan yang dijaga ketat.
Di bawah skema tersebut, istri mereka bisa menyeberangi perbatasan untuk pulang setelah mendapatkan izin dari otoritas India. Namun, ketentuan ini ambigu.
Begum menemukan kembali harapan yang hilang. Dia mendatangi sejumlah lembaga pemerintahan untuk memperoleh izin tersebut. Akan tetapi, permohonannya selalu ditolak.
“Pemerintah India tidak memberikan alasan kenapa mereka tak kunjung mendeportasi saya, dan pejabat Pakistan tidak bisa melakukan apa-apa,” tuturnya.
Begum pun mencari bantuan melalui grup WhatsApp Javid, dan bertemu teman-teman seperjuangan di sana. Bushra Farooq salah satunya.
Pada 2012, perempuan 30 tahun itu dibawa ke wilayah India oleh suami yang merupakan mantan militan. Suami Farooq juga tergiur dengan kebijakan amnesti.
“Hidup saya hancur pada saat kebijakan diumumkan,” dia memberi tahu VICE World News. “Saya ditipu. Suami bilang akan membawa salah satu anak kami ke Kashmir [yang dikuasai India] dan meninggalkan saya.”
Visa Farooq untuk kembali ke Pakistan ditolak. Suami telah membuang paspornya.
Rumah tangganya juga retak. Dia menceraikan suami pada 2019.
“Kami bertengkar, dan dia sering memukul saya. Baginya, tugas saya hanya memasak Biryani,” Farooq mengeluh.
Parvez Imroz, pengacara yang mewakili para perempuan, menyebutnya “masalah kemanusiaan”.
“Para perempuan ini memercayai komitmen pemerintah India supaya mereka bisa tinggal di sini, tapi pemerintah tak pernah menepati janji. Mereka menyesal datang ke sini,” Imroz berbicara kepada VICE World News.
Farooq mengatakan banyak perempuan Pakistan seperti dirinya yang depresi karena keadaan.
“Ada yang dianiaya, ada yang tidak bisa tidur kalau belum minum obat,” katanya lesu. “Kami terjerumus dalam keputusasaan.”
Follow Haziq Qadri dan Qadri Inzamam di Twitter.