Beberapa konten pengguna TikTok mandi lumpur viral selama beberapa pekan terakhir. Aksi macam itu menampilkan anak di bawah umur, atau bahkan lansia, yang memaksakan diri mandi lumpur sampai kedinginan hanya untuk mendapat ‘gift’ yang bisa ditukar menjadi uang di aplikasi TikTok.
Menteri Sosial Menteri Sosial, Tri Rismaharini, mengaku sudah melihat beberapa cuplikan konten macam itu wara-wiri di media sosial. Dia menganggapnya sudah seperti mengemis, dan karenanya berpotensi melanggar peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) atau peraturan daerah (perda). “Itu [ngemis] enggak boleh. Jadi ada perppu, perda-nya. Makanya ini kami cari rujukan undang-undangnya. Sekarang masih diproses [suratnya]. Nanti kalau sudah jadi suratnya saya tunjukkan,” kata Risma, dikutip dari CNN Indonesia.
Dalam beberapa live, terlihat content creator melakukan aksi-aksi aneh sampai ektrem. Ada beberapa yang memberikan opsional kegiatan bagi penonton beserta ‘tarif’ berupa gift. Apabila penonton memilih kegiatan tertentu, maka content creator akan melakukannya. Gift ini nantinya bisa ditukarkan dengan uang.
Tidak kalah ramai juga live berupa mandi lumpur yang sering muncul di for you page (FYP) pengguna TikTok. Dalam live mandi lumpur, biasanya content creator akan duduk di sebuah kubangan berisi air dan lumpur. Ada yang mandi lumpur kemudian mendapat gift dari penonton, atau meminta gift dulu baru mereka mandi lumpur.
Sebagian netizen sendiri mempertanyakan, mengapa ada penonton di TikTok bersedia memberi gift untuk melihat orang lain mandi lumpur? Jika alasannya untuk hiburan atau lucu-lucuan, tindakan macam ini masuk kategori eksploitasi kemiskinan.
Dalam akun TikTok TM Mud Bath, ada salah satu live yang memperlihatkan seorang nenek mandi lumpur. Live yang berlangsung pekan lalu ini, nenek yang mandi lumpur tersebut sampai terlihat kedinginan. Setiap penonton memberikan gift, nenek berkerudung hitam akan mengguyur badannya dengan air lumpur sekali. Dalam proses mandi lumpur beberapa jam, si nenek diduga hampir pingsan.
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret Surakarta, Drajat Tri Kartono, mengatakan apabila pemicu fenomena ‘ngemis online’ setidaknya dua hal. Pertama adanya peluang dan ruang pengguna untuk mendapatkan simpati, perhatian, sampai uang. Terlebih orang Indonesia terkenal memiliki tingkat kedemawanan yang tinggi. Kedua terkait dengan kebutuhan hidup. Dua sisi tersebut bertemu dan menciptakan fenomena ‘ngemis online’.
Sementara perkembangan media sosial dalam revoluasi industri 4.0 membuat jenis dan cara mengemis juga semakin bervariasi. Meski berbeda ruang, yaitu offline dan online, Drajat menganggap pola mengemisnya masih sama, yaitu berupa memanfaatkan menajemen kesan atau impression management.
“Orang melakukan pengelolaan di penampilannya entah pada pakaian, pada tindakan dan sebagainya dalam rangka menimbulkan rasa iba dan peduli orang lain sehingga orang lain memberikan bantuannya,” kata Drajat, dikutip dari Kompas.com.
Saat di dunia nyata atau offline, melihat apakah pengemis berpura-pura miskin atau tidak cenderung lebih mudah. Namun berbeda dengan di dunia maya, susah untuk mengecek kebenaran kondisi yang terlihat.
“Di dunia virtual, sulit untuk mengukur kesan apakah orang benar-benar miskin atau tidak, atau hanya penampilannya saja,” katanya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Usman Kansong, mengatakan masih mendalami konten jenis ini masuk kategori konten negatif atau bukan.
“Kami harus diskusi juga dengan ahlinya. Jangan sampai itu salah, ternyata itu tidak termasuk, bahaya juga kan,” katanya.
Dalam penjelasannya, Usman mengatakan apabia konten yang dilarang seperti memiliki unsur pornografi, perjudian, radikalisme, hoax, terorisme, prostitusi, maupun kekerasan terhadap anak. Dalam memantau jagat maya, Kemenkominfo mengklaim menggunakan tiga cara berupa automatic identification system atau AIS, patroli siber, dan laporan masyarakat.