Insiden terbaru yang melibatkan Menteri Sosial Tri Rismaharini membuat kami terpaksa mengingat kembali kutipan fenomenal SpongeBob “ironi di atas ironi”. Sebab, ironi ganda itulah yang baru terjadi ketika Mensos Risma terang-terangan melakukan stigmatisasi di acara Hari Disabilitas Nasional yang diadakan Kemensos.
Peristiwa itu terjadi kemarin (1/12), bertempat Gedung Aneka Bhakti Kemensos. Dalam salah satu acara, di panggung tampak Mensos Risma berbicara dengan seorang penyandang disabilitas rungu wicara (Tuli-HoH, Hard of Hearing) bernama Anfield Wibowo dengan didampingi juru bahasa isyarat. Risma lalu memanggil seorang Tuli-HoH lain bernama Aldi untuk bergabung.
Di momen inilah, kejadian memalukan itu tergelar. Saat menanyai Aldi, Risma memintanya menjawab langsung tanpa bantuan juru bahasa isyarat.
“Aldi, ini Ibu. Kamu sekarang harus bicara, kamu bisa bicara. Ibu paksa kamu untuk bicara. Ibu nanam… eh, melukis, tadi melukis pohon, ini pohon kehidupan. Aldi, ini pohon kehidupan. Ibu lukis hanya sedikit tadi dilanjutkan oleh temanmu, Anfield. Nah, Aldi, yang Ibu ingin sampaikan, kamu punya di dalam… apa namanya… pikiranmu. Kamu harus sampaikan ke Ibu, apa pikiranmu,” kata Risma, dikutip Detik.
Kejadian itu ditanggapi oleh hadirin lain. Stefanus dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) naik ke panggung dan memprotes Risma secara langsung menggunakan bahasa isyarat. “Anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk kemudian dipaksa bicara,” ungkapnya.
“Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas, itu tidak akan bisa terdengar juga,” tambah Stefanus.
Acara ini disiarkan secara langsung di kanal YouTube Kemensos, namun saat tulisan ini dibuat, video tersebut sudah tak tampak. Tapi seperti biasa, sudah ada netizen yang mengarsipkannya di media sosial. Dan sebagaimana dalam video, protes tersebut segera dijawab Risma bukannya dengan minta maaf, melainkan menceramahi. Lah, yang disabilitas siapa, yang ngajarin siapa.
“Jadi, Stefan, Ibu tidak mengurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu, Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin Ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar, sebetulnya tidak mesti dia bisu. Jadi, karena itu, kenapa Ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita: mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat, tapi kalau kamu bisa bicara, maka itu akan lebih baik lagi,” ujar Risma sebagaimana ditranskrip Detik.
Menurut Risma, keyakinan bahwa Tuli bisa dilatih bicara berkaca dari Staf Khusus Presiden, Angkie Yudistia, yang seorang Tuli. Ia menyebut, Angkie kini bisa bicara dengan jelas berkat terus melatih diri.
Video lain memperlihatkan Risma, di acara sama, kembali meminta seorang penyandang disabilitas bicara. Tak pelak, tindakan Risma kini panen kritik di media sosial dan dari organisasi hak-hak disabilitas. “Kami merasa tersinggung, bahkan merasa heran karena omongan Ibu Risma itu mencerminkan pelanggaran UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,” bunyi pernyataan tertulis Gerkatin hari ini (2/12), dilansir Detik.
Yang membuat kami penasaran, apakah penjelasan Risma bahwa pemaksaan yang ia lakukan berlatar niat baik itu bisa diterima? Kami lalu bertanya kepada Direktur LBH Disabilitas Hari Kurniawan untuk mencari penjelasan.
“Penjelasan Bu Risma tidak bisa diterima dan tidak etis karena tidak semua anak tuli nyaman ‘berbicara’. Ada sebagian yang merasa, jika mengeluarkan suara, tenggorokannya sakit, walaupun orang itu HoH yang masih punya sisa pendengaran. Jadi setiap tuli itu berbeda. Terimalah isyarat sebagai keberagaman. Isyarat adalah salah satu budaya tuli, Tuli adalah kelompok minoritas linguistik yang butuh dihormati budayanya,” jelas Wawa, sapaan akrab Hari.
Wawa menyebut, apa yang dilakukan termasuk stigmatisasi dan merupakan contoh audism, yakni diskriminasi dan prasangka terhadap Tuli-HoH. “Memaksa seorang Tuli untuk bicara adalah ciri seseorang itu masih terjebak dengan ideologi kenormalan. Karena menurut pandangannya, orang bisa dikatakan normal ketika dia bisa bicara dan melihat,” tambahnya.
Bahkan “maksud baik” untuk “memperbaiki” tersebut sudah merupakan inisiatif bermasalah. “Memperbaiki kekurangan adalah konsep charity dan konsep biomedical, padahal saat ini konsep yang berkembang adalah konsep human rights yang tidak melihat disabilitas dari keterbatasannya dan tidak menyalahkan kondisi individunya. Dalam konsep model human rights, lingkunganlah yang menyebabkan seseorang [penyandang disabilitas] tidak bisa berpartisipasi penuh karena lingkungan tersebut tidak menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak kepada Difabel,” papar Wawa yang semoga Mensos Risma baca dan mengerti.