Sejak lama ilmuwan berupaya mencari alternatif baterai konvensional, karena proses produksinya selama ini belum ramah lingkungan. Tim dari the University of Maryland dan University of Houston menemukan salah satu calon pengganti yang tidak disangka-sangka: kepiting. Lebih tepatnya, elektrolit yang terdapat di cangkang kepiting.
Temuan tersebut dipublikasikan pada 1 September 2022 di jurnal Matter. Merujuk pada kutipan laporan dari tim peneliti tersebut, hadirnya komponen baterai yang lebih ramah lingkungan semakin mendesak. Sebab baterai di masa mendatang akan sangat dominan sebagai sumber energi, mulai dari untuk mobil listrik hingga panel surya untuk menyalurkan listrik.
Sayangnya pembuatan baterai saat ini, sekalipun tujuannya mulia untuk menghasilkan energi rendah emisi, masih merusak lingkungan. Produksi baterai kerap mencemari tanah dengan lithium serta timbal. Belum lagi bahan bakunya yang sulit didaur ulang.
“Setiap tahun jumlah baterai yang diproduksi dan dikonsumsi terus meningkat secara global. Jika metode pembuatannya masih sama, akan ada risiko permasalahan lingkungan serius,” ujar Liangbing Hu, Direktur dari Pusat Studi Inovasi Bahan Baku University of Maryland. “Contohnya, di baterai lithium-ion komponen separatornya menggunakan polikarbonat dan polypropylene. Keduanya butuh ratusan tahun sebelum akhirnya terurai di tanah, sehingga potensi merusaknya tinggi.”
Berangkat dari kekhawatiran itu, tim peneliti menemukan bahwa jel elektrolik yang terbuat dari zat Chitosan dapat menjadi alternatif. Baterai konvensional butuh elektrolit untuk menyalurkan ion positif-negatif sehingga menghasilkan aliran listrik. Hanya saja, komponen kimiawi elektrolit baterai terkini masih sulit didaur ulang, bahkan amat mudah terbakar. Chitosan, yang ditemukan dalam cangkang kepiting, diklaim tidak memiliki problem serupa.
“Chitosan adalah produk turunan chitin. Untuk mendapatkan chitin, sumber alaminya tersedia melimpah di alam, mulai dari jamur, cangkang hewan krustasean, hingga cumi-cumi,” ujar Hu. “Tapi sejauh ini kami mendapati bila kandungan chitin ditemukan paling banyak dari cangkang kepiting, udang, hingga lobster. Semuanya dengan mudah didapatkan dari limbah seafood.”
Elektrolit alternatif ini, menurut tim peneliti, cukup efisien untuk menyimpan energi yang dihasilkan pembangkit angin maupun panel surya. Karenanya, jika ditemukan metode produksi massal, chitosan sangat cocok menjadi komponen baterai di masa mendatang yang lebih ramah lingkungan. Nyaris semua bahan dalam baterai dengan elektrolit chitosan tidak perlu lagi menggunakan zat kimia yang sulit didaur ulang. Chitosan sendiri bisa terurai setelah lima bulan, sementara limbah pengolahannya menghasilkan seng (zinc), yang juga masih lebih mudah didaur ulang ketimbang lithium dan timbal.
“Karenanya, kami menyimpulkan bila elektrolit chitosan-Zn akan sangat layak dikembangkan lebih lanjut menjadi komponen utama baterai yang ekses produksinya tidak membebani lingkungan,” demikian kesimpulan paper tersebut.