Dua pemuda berpakaian ala pembalap duduk berhadapan di atas panggung yang cukup besar. Mereka bukan pemenang balap mobil, juga tidak sedang unjuk gigi di ajang balapan. Mata mereka justru terpaku pada layar komputer di tempatnya masing-masing. Keduanya sedang bertarung habis-habisan melawan alien dalam game StarCraft.
Di belakang panggung, terpasang layar lebar yang memperlihatkan jalannya pertandingan kepada ratusan ribu orang yang memadati pantai Gwangalli di kota pelabuhan Busan, Korea Selatan. Sementara itu, untuk penggemar yang tidak bisa datang langsung, mereka dapat menyaksikan siarannya di televisi. Suasana terasa begitu tegang berkat ucapan para komentator yang menggebu-gebu sepanjang acara.
Kompetisi ini diselenggarakan secara besar-besaran pada 2004, ketika game real-time strategy (RTS) tersebut menyedot perhatian anak muda di berbagai penjuru negeri. Pemain profesionalnya bahkan diperlakukan bak artis papan atas.
Dikenal sebagai NaDa, nama Lee Yun-yeol harum berkat kesuksesannya meraih enam titel liga dan mencetak kemenangan sebanyak 708 kali. Dia juga berhasil menguasai laju pertandingan paling memicu adrenalin, yang cuplikan videonya masih cukup diminati di YouTube.
Lee yang baru 13 tahun sering mendengar obrolan seru teman-temannya tentang game anyar yang sedang mereka mainkan. Penasaran, dia ikut temannya ke warnet untuk mencari tahu apa yang menarik dari StarCraft. Saat itu tahun 1998, ketika warnet jadi tempat nongkrong favorit anak sekolahan di Negeri Ginseng.
Lee tak pernah sekali pun membayangkan, suatu hari nanti dirinya akan menjadi salah satu atlet esport terbaik sepanjang masa. Puluhan ribu penggemarnya tersebar di seluruh dunia.
“Setelah dua jam main [di warnet], saya tidak bisa berhenti bertanya tentang game itu,” kenang Lee, 37 tahun, saat dihubungi VICE dari kantornya di Daegu. “Anak-anak yang jago memainkan game itu terkenal satu sekolah. Saya lalu merengek kepada ibu minta dibelikan komputer, meski saya sadar kami tidak mampu membelinya.”
Developer game AS Blizzard Entertainment baru saja merilis StarCraft awal tahun itu. Game ini menceritakan pertarungan umat manusia (disebut Terran) melawan spesies serangga Zerg dan dewa alien Protoss yang ingin menguasai dunia. Ketiga spesies ini akan memberikan bonus mineral dan gas yang dapat dikumpulkan untuk membangun infrastruktur dan pasukan penyerang musuh.
StarCraft dalam sekejap meraih popularitas di kalangan anak warnet dan mahasiswa Korea Selatan seiring dengan munculnya jaringan internet berkecepatan tinggi dan komputer. Game itu menjadi pengisi waktu luang terbaik bagi siapa saja yang ketagihan dengan grafis, kemampuan multiplayer dan strategi permainannya yang kompleks. Melihat animo yang begitu besar, banyak warnet di Korea mulai mengadakan lomba dengan hadiah uang tunai. Dari situlah liga amatir terbentuk, baik secara online maupun offline, untuk menentukan pemain terbaik di setiap wilayah.
Setelah keinginan membeli komputer dituruti oleh ibu, Lee fokus mengasah kemampuan bermainnya untuk mengalahkan teman, yang kala itu menyandang status pemain terbaik di sekolah mereka. Kegigihan Lee membuahkan hasil. Dia membawa pulang hadiah sebesar 200.000 won (Rp2,3 juta), yang kemudian digunakan untuk beli hape sendiri. Dia baru sadar game bisa dijadikan sumber penghasilan setelah mengikuti turnamen antarkota.
Lee mulai dikenal di kalangan penggemar StarCraft sejak namanya rutin bertengger di ranking server pemain amatir. Empat tahun setelah dia menginjakkan kaki di warnet, Lee membentuk tim bersama dua teman mainnya Lim Yo-hwan dan Hong Jin-ho, dan mendapat dukungan dari lembaga penyiaran yang tergiur memperkenalkan StarCraft ke khalayak luas.
“Itu pertama kalinya saya mengenakan kostum bertema luar angkasa dan berdandan sebelum pertandingan dimulai,” tuturnya. “Saya terkejut saat mengetahui saya punya banyak penggemar laki-laki. Para perempuan juga mulai menyukai saya ketika turnamennya semakin populer.”
Para gamer StarCraft dipuja-puja layaknya bintang K-pop. Perusahaan besar dan stasiun televisi pun mulai mengarahkan perhatiannya pada pemain dan membentuk lebih banyak tim. Turnamen yang diselenggarakan dua liga mempertemukan 10 tim dari berbagai daerah, dan pertarungannya tayang nonstop di salah satu saluran televisi khusus gaming. Saking populernya saluran televisi ini di Korea, idola K-Pop macam IU sampai diminta menjadi pembawa acara.
Dunia esport telah berkembang pesat sejak saat itu. Babak final Kejuaraan Dunia League of Legends 2018 sukses menarik hampir 100 juta pemirsa. Gamer profesional dari seluruh dunia mendatangi kota-kota besar seperti Paris, New York, Singapura dan Seoul untuk bersaing memperebutkan hadiah jutaan dolar. Riuh suara puluhan ribu penggemar menggema seisi stadion.
Komunitas StarCraft di Korea Selatan memelopori ajang kompetisi esport bergengsi seperti World Cyber Games pada 2001, dan menjadi contoh seberapa besar kesuksesan yang dapat diraih gamer profesional. Lee melenggang hingga puncak liga dan meramaikan pemberitaan nasional lantaran dirinya meraup 250 juta won (Rp2,87 miliar) dari bermain game pada 2004. Mengantongi bayaran fantastis dan rutin masuk TV, Lee jauh lebih kaya daripada atlet bisbol dan pesepakbola terkemuka di negara tersebut.
Namun tentunya, ada pengorbanan yang besar untuk bisa menjadi gamer profesional seperti Lee. Mata dan jari jemari tak pernah lepas dari komputer; memainkan game yang sama berulang kali setiap harinya.
“Kesepuluh anggota tim kami tinggal di apartemen satu kamar. Manajer menyewa warnet supaya kami bisa latihan selama berjam-jam,” kenang Lee.
Bagi orang awam, mereka mungkin hanya bermain game layaknya anak muda kebanyakan. Tapi kenyataannya jauh lebih melelahkan daripada yang dibayangkan. Begitu bangun sekitar pukul 10 pagi, mereka akan berlatih selama empat jam di siang hari, dan tiga jam di malam hari. Pemain baru bahkan harus berlatih lebih lama lagi, bisa memakan waktu hingga 10 jam setiap harinya. Mereka wajib mengukur kecepatan aksi per menit (APM), yang mengacu pada jumlah total gerakan tangan yang dapat dilakukan pemain dengan mouse dan keyboard mereka.
“Saya dijuluki ‘mesin’ karena mampu mencapai 400 APM… Kadang-kadang, ketika saya keluar rumah setelah menatap layar komputer sepanjang hari, mata saya seperti dibutakan oleh cahaya,” kata Lee. Beruntungnya, mereka bisa tinggal di apartemen yang lebih luas dan membuat jadwal yang lebih terstruktur.
Seperti banyak video game, pamor StarCraft perlahan mulai memudar dan tergantikan judul-judul lebih baru. Basis penggemarnya masih ada, tapi turnamen sudah beralih ke online. Komentator terkemuka Lee Seung-won menyayangkan tiadanya upaya melestarikan liga-liga ini.
“Saya melihatnya sebagai kegagalan di sisi pemasaran,” ujarnya. “Hari Jumat dulu jadi waktu favorit para penggemar game. Pertandingan diadakan seminggu sekali, tapi liga mulai menayangkan kompetisinya hampir setiap hari.”
Ketenaran Lee juga meredup. Bahkan dia sendiri sudah muak main StarCraft.
“Bayangkan kamu main game delapan jam sehari selama 17 tahun. Itu tidak menyenangkan sama sekali,” kata Lee.
Sekarang dia berambisi membuat game-nya sendiri, yang ia harap bisa diperlombakan dalam Olimpiade suatu saat nanti. Lelaki itu kini menjabat sebagai CEO NADA Digital, developer game Korea yang mencatat pendapatan 5 miliar won (Rp57 miliar) tahun lalu. Perusahaannya telah menelurkan game mobile P2E (play to earn) Slime World, dan menciptakan metaverse untuk platform media sosial Cyworld.
“Tapi saya tak yakin akan ada game lain seperti StarCraft,” renungnya. “Keseimbangan yang disajikan dalam game ini tak ada tandingannya.”
Follow David D. Lee di Twitter.