Berita  

Di Kasepuhan Ciptagelar, Ketahanan Pangan Bukan Lagi Sekadar Wacana

di-kasepuhan-ciptagelar,-ketahanan-pangan-bukan-lagi-sekadar-wacana

Ketika embun masih menempel di rumput dan dedaunan, dua lelaki melangkahkan kaki dengan santai di jalan setapak yang di kiri dan kanannya terdapat kolam-kolam besar. Langkah keduanya terhenti di sebuah bak berukuran sekitar 2,5×3 meter, di pinggir sebuah tebing tanah.

Mereka memunguti daun-daun dan ranting yang mengambang di atas air bak yang jernih. Aki Karma (70) mengangkat daun kelapa kering yang tenggelam di tengah-tengah bak, bagian lainnya ditarik Aki Adoni (74) kemudian diletakkan di sisi jalan setapak.  


Hampir setengah jam keduanya membersihkan bak, lalu menyisir saluran-saluran air yang terbuat dari bambu, selang, hingga pipa-pipa yang mengalir ke sejumlah pemandian dan kamar mandi rumah penduduk di permukiman Kasepuhan Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. 

Pagi itu, merupakan jadwal rutin Aki Karma memeriksa sumber-sumber air untuk kebutuhan warga. Sebagai Baris Kolot, julukan warga yang menerima tugas secara turun-menurun, ia tak mau berpangku tangan pada pihak lain soal pengairan. Di kasepuhan ini, sebetulnya ada kelompok sendiri bernama Manintin, yang bertanggungjawab mengelola sistem pengairan.

Manintin bertugas merawat dan mengatur pembagian air yang berasal dari mata air yang sumbernya berjarak sekitar 3 jam perjalanan dengan berjalan kaki melewati hutan di Gunung Halimun. Mereka juga bertugas mengawasi agar hutan di sekitar mata air tidak ditebangi para penebang liar.

ciptagelar 7.jpg
Seperti inilah kawasan permukiman dan areal persawahan di kasepuhan Ciptagelar Sukabumi Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Anggota Manintin sebut Aki Karma, ada 10 orang. Tapi menjaga sumber air menjadi tanggung jawab seluruh penghuni perkampungan. Karenanya, dia ikut membersihkan berbagai mata air yang menjadi pondasi kasepuhan tersebut.

Di kawasan Gunung Halimun, yang dijadikan perkampungan adat Kasepuhan Ciptagelar, terdapat banyak mata air. “Tidak terhitung. Ada yang besar, ada yang kecil,” sebut Aki Karma. 

Di sana terdapat sejumlah sungai yang menjadi sumber pengairan rumah tangga hingga pertanian. Di antaranya Sungai Cibareno, Cisono, Cibarengkok, Cikaret, dan Cisarua. Dari hulu juga terdapat banyak anak sungai dan sungai-sungai kecil, ada Sungai Cisalada, Cikuntir, Ciasahan, Cihariang, hingga Cidadap.

“Sungai Cibareno dan Cisono itu airnya berasal dari ratusan sungai kecil di hulu,” tegas Aki Karma. 

Amanat para leluhur Kasepuhan Ciptagelar melarang perusakan mata air, karena air merupakan sumber utama kehidupan. Untuk menjaga ketersediaan air, pohon-pohon kayu besar juga dilarang ditebang. “Daripada ditebang, lebih baik ditambah. Semua aktivitas dalam kehidupan ini membutuhkan air, jangankan manusia, hewan juga membutuhkan [air],” tandasnya. 

Ketersediaan air yang tetap terjaga, disokong sistem manajemen leuit alias lumbung padi, membuat Kasepuhan Ciptagelar tak pernah mengalami krisis pangan. Penduduknya juga tak pernah mengalami gagal panen lantaran hama atau kekurangan air, sepanjang mereka mampu mengingat. 

Sejak Ratusan Tahun di Gunung Halimun

Kasepuhan Ciptagelar merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul. Mereka hidup berkoloni sejak 1368. Akar katanya adalah ‘sepuh’, yang dalam bahasa Sunda merupakan sebutan halus untuk orang tua. Pada prinsipnya, kasepuhan didefinisikan sebagai model sistem kepemimpinan suatu masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para sepuh.

Kasepuhan Ciptagelar terletak pegunungan Halimun (bahasa Sunda: berarti kabut). Perkampungan ini berada pada ketinggian antara 800 hingga 1.200 meter di atas permukaan laut, dengan kontur berbukit-bukit. Dari Jakarta, perjalanan menuju Ciptagelar dapat ditempuh sekitar 5-6 jam menggunakan mobil pribadi. Adapun dari Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, waktu tempuh tercepat adalah 4 jam.

Hidup di tengah pegunungan yang dikelilingi hutan, membuat Kasepuhan Ciptagelar menerapkan aturan sendiri soal hutan larangan, hutan titipan, dan hutan garapan. Batas-batas hutan dijaga oleh Barisan Jagawana yang bertugas memeriksa setiap titik zonasi di dalam hutan serta memastikan ekosistem tetap terjaga. 

sinarresmi 15.jpg
Sejumlah warga memasak nasi menggunakan kayu bakar dan dandang di salah satu dapur rumah di kasepuhan Sinarresmi, Sukabumi, Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Ciptagelar merupakan satu dari beberapa kasepuhan di Pegunungan Halimun. Ada juga kasepuhan lain, di antaranya Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, dan Kasepuhan Cibedug. Ciptagelar melingkupi dua kasepuhan lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi.

Kasepuhan Ciptagelar kini dipimpin Abah Ugi Sugriana Rakasiwi—sebutan ‘Abah’ adalah istilah yang disematkan pada sesepuh atau ketua adat. Abah Ugi menggantikan ayahnya, Abah Anom, yang meninggal pada 2007. Sesuai tradisi, jabatan ketua adat diwariskan berdasar keturunan.

Abah Ugi begitu dihormati dan dicintai warganya, tak ada warga yang bicara dengannya dalam posisi kepala tegak. Selain warga, para tamu juga diarahkan untuk berjalan dengan posisi duduk sebelum bersalaman dan berbincang dengan Abah Ugi yang duduk di singgasananya.

Masyarakat Ciptagelar tidak sebatas yang bermukim di pegunungan Halimun. Mereka tersebar terutama di Banten, Kabupaten Bogor, dan Sukabumi. Mereka yang tersebar di luar perkampungan adat dikenal dengan sebutan ‘incu putu’. Para ‘incu putu’ tetap menganggap “pusat pemerintahan adat” mereka di Kasepuhan Ciptagelar, yang dihuni sesepuh girang (pemimpin adat) dan baris kolot (para pembantu sesepuh girang).

Ciptagelar merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa, yang sebelumnya mereka huni. Jarak Ciptagelar dan Ciptarasa sekitar 14 kilometer. Sejak 2001 lalu, penduduk Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa hijrah ke Desa Sirnaresmi.

Di perkampungan ini, tepatnya di Dusun Sukamulya, kala itu Abah Anom yang bernama lengkap Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan adat memberi nama Ciptagelar pada kampung adat baru itu. Nama itu bermakna terbuka dan pasrah. 

Menurut Abah Ugi, perpindahan itu merupakan perintah para leluhur melalui wangsit (petunjuk ilham). Ayahandanya, Abah Anom, menerima wangsit setelah melalui proses ritual yang hasilnya wajib dilaksanakan. Semua masyarakat Ciptagelar percaya seorang pemimpin bisa mendapat wangsit dari leluhur jika sudah waktunya bagi mereka berpindah lokasi. Karena itu, warga adat tidak membangun rumah dari bahan permanen.

sinarresmi 10.jpg
Sejumlah masyarakat kasepuhan Sinarresmi melakukan upacara “Ngunjal” (Menaikkan dan Menyimpan padi ke leuit). Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Seluruh rumah yang dihuni warga di sana nyaris seragam. Rata-rata berbentuk rumah panggung, terbuat dari kayu, dilapisi bilik bambu, dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan dilapisi ijuk dan daun-daunan yang mampu menahan air. Warga dilarang menggunakan genteng sebagai atap rumah mereka.

Pegunungan Halimun memiliki kontur yang berbukit-bukit, membuat perkampungan Ciptagelar sulit ditembus, terutama saat musim hujan. Akses ke sana masih berupa jalan tanah berbatu. Jika memakai kendaraan pribadi, mesti memenuhi persyaratan khusus; bodi mobil cukup tinggi, mesin dalam kondisi prima, dan ban memiliki kembang tebal. Alasannya, selain jalan berbatu, jalan menuju Ciptagelar dihadapkan dengan tanjakan-tanjakan curam dengan dengan kemiringan nyaris 70 derajat.

Mobil-mobil pribadi biasanya hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkir menuju Ciptagelar. Selebihnya bisa disambung dengan menumpang ojek atau mobil carteran jenis jip. Kini, akses ke Ciptagelar bisa melewati kawasan Gunung Bongkok, yang jalannya lebih bersahabat. Meski tanjakannya sama-sama curam, jalur ini bisa dilintasi semua jenis mobil karena telah beraspal.

Padi Sebagai Simbol Kehidupan

Pencaharian seluruh warga Kasepuhan Ciptagelar bertani. Semuanya menanam padi di sawah dan huma, menanam palawija di kebun, serta beternak ikan di kolam. Warga yang masih memegang teguh adat, budaya dan kepercayaan leluhur yang menghargai alam, makhluk, dan hal-hal yang ditabukan ini memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan pangan. 

Keyakinan terhadap alam dan penciptanya mereka terapkan dalam sistem pertanian. Sistem bertani di ladang dan sawah tak pernah menggunakan pupuk kimia, hanya mengandalkan pupuk organik dan mengikuti pola alam. Begitu juga untuk membasmi hama, tak pernah memakai obat-obatan kimia. Penanaman padi hanya dilakukan sekali dalam satu tahun, tujuannya mengistirahatkan tanah atau menggunakannya menanam komoditas lain.

ciptagelar 2.jpg
Ikatan padi (Pocong) dijemur dan dikeringkan oleh warga kasepuhan Ciptagelar Sukabumi,Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Yoyo Yogasmana, juru bicara Kasepuhan Ciptagelar, menyebut masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar, menganggap padi bukan sekadar komoditas pangan untuk konsumsi sehari-hari, melainkan sebagai simbol dari sebuah kehidupan. Mereka menghormati padi yang dianggap sebagai dewi, yakni Nyi Pohaci Sanghyang Asri—sang pemberi hidup—berwujud tanaman padi. 

“Sebagai pemberi hidup, wajib untuk terus merawatnya dari saat ditabur [di sawah atau huma], hingga memasuki masa panen. Karena keteguhan warga pada filosofi ini, masyarakat adat dilarang dan pantang untuk memperjualbelikan padi,” tegas Yoyo.

Selama proses penanaman padi, warga Ciptagelar menggelar berbagai ritual yang bernilai penghormatan terhadap Nyi Pohaci. Sepekan sejak menabur benih, warga melaksanakan ritual ‘sapang jadian pare’ saat benih mulai tumbuh.

Ketika padi siap dipanen, dilakukan upacara ‘mapag pare beukah’. Pascapanen, dilakukan juga syukuran ‘mipit pare’, dilanjutkan dengan upacara ‘ngayaran’ sebagai bentuk terima kasih kepada Sang Maha Kuasa ketika hasil panen sudah dikonsumsi. Sebagai wujud syukur bersama warga adat, digelar upacara besar yang disebut ‘Seren Taun’. 

Dalam puncak acara Seren Taun diawali dengan Upacara Ngadiukeun atau memasukkan dan mendudukkan ikatan-ikatan padi secara simbolik ke dalam Leuit Si Jimat oleh Sesepuh Girang (pimpinan adat) Kasepuhan Ciptagelar, Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.  Pembacaan doa dan mantra menjadi pembuka dimulainnya prosesi ini. Doa dan mantra dipanjatkan sebagai rasa syukur atas restu alam semesta serta para leluhur yang telah menjaga dan memelihara seluruh masyarakat Ciptagelar.

sinarresmi 9.jpg
Varietas padi lokal (Kapundung Bodas) yang ditanam di kasepuhan Sinarresmi,Sukabumi,Jawa Barat. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Selain beragam upacara adat, nilai penghormatan yang dipegang teguh warga Ciptagelar adalah memandang beras sebagai benda sakral. Hasil panen, baik dalam bentuk padi, gabah, maupun beras, dilarang dijual. Memasak nasi pun tak boleh menggunakan alat modern seperti ‘magic jar’. 

Padi hasil panen masih diolah dengan cara tradisional. Para ibu mengupas padi menjadi beras dengan cara ditumbuk dengan lisung. Proses penumbukan dilakukan di Saung Lisung, bangunan terbuka yang dibuat terpisah dari permukiman. 

Meski panen hanya sekali setahun, masyarakat tak pernah kekurangan pangan. Hasil panen disimpan dalam leuit atau lumbung padi. Setiap keluarga wajib memiliki leuit untuk penyimpan persediaan padi hasil panen di lahan masing-masing. Aturan adat juga menyediakan leuit komunal untuk memenuhi kepentingan bersama. Leuit dijadikan lambang ketahanan pangan. Mereka memiliki lebih dari 168 varietas padi plasma sendiri.

Semua benih varietas padi tersimpan dengan aman dan awet di dalam lebih dari 11.000 leuit milik lebih dari 30.000 warga adat yang tersebar di 568 kampung di wilayah pegunungan Halimun. Padi yang disimpan dalam leuit masih menempel di tangkainya, diikat menggunakan tali bambu (pocongan). Ikatan-ikatan pocongan digantung pada galah bambu yang ditopang batang kayu. Sistem penyimpanan ini dilakukan agar padi mengering namun kadar airnya tetap bisa dipertahankan, padi pun tidak rusak akibat kelembaban.

Semua bangunan leuit berbentuk nyaris sama; memiliki satu pintu, menyerupai rumah panggung kecil beratap rumbia yang dirancang agar tidak bocor juga tidak mudah dimasuki hewan pengerat seperti tikus. Setiap keluarga memiliki beberapa leuit, masing-masing mampu menampung 500-1.000 pocongan. 

“Berat setiap pocongan bisa 3 sampai 7 kilogram. Kalau dirata-ratakan 5 kilogram, dengan rata-rata 750 pocongan saja satu leuit itu mampu menampung 3.750 kilogram,” ungkap Yoyo.

ciptagelar 17.jpg
Sejumlah warga masyarakat kasepuhan Ciptagelar mengadakan makan bersama setelah upacara seren taun. Foto oleh Iqbal Kusumadirezza

Kebutuhan konsumsi satu keluarga setiap tahunnya, rata-rata menghabiskan 1.000-2.000 pocongan padi. Setiap keluarga setiap panen mampu menghasilkan pocongan 2.000-4.000 pocongan. “Makanya, stok di leuit terus bertambah setiap tahunnya. Begitu juga dengan leuit, tidak pernah ada yang merobohkan leuit, yang ada terus menambah leuit,” tandas Yoyo.

Total hasil panen seluruh warga Ciptagelar sebut Yoyo, setiap tahun rata-rata selalu surplus 40 ribu ton. Jumlah ini terus menambah pundi-pundi stok beras di lebih dari 11.000 leuit. Pada 2017 lalu, pimpinan adat Kasepuhan Ciptagelar Abah Ugi Sugriana Rakasiwi, kata Yoyo, sempat menghitung total stok beras yang tersimpan di belasan ribu leuit untuk sekitar 30.000 warga Ciptagelar itu aman hingga 95 tahun mendatang.

“Karena panen yang setiap tahun selalu surplus, mungkin tahun ini stok pangan kami sudah aman sampai 100 tahun.”