Bertutur adalah budaya kita. Itulah sebabnya kita punya lebih banyak memori dari apa yang diceritakan bapak-ibu-kakek-nenek, ketimbang dari apa yang kita baca di buku-buku pelajaran. Tuturan dongeng, mitos, legenda, dan cerita-cerita anak inilah sesungguhnya yang membentuk pengetahuan dan identitas kita. Hal ini yang menjadi pondasi diselenggarakannya Indonesia Bertutur 2022.
Helatan akbar ini diadakan oleh Kementrian Pendidikan Budaya Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 7-13 September 2022, di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Tak tanggung-tanggung, sebanyak 900 seniman terlibat menciptakan 100 karya yang bisa dilihat sebagai “dongeng dalam berbagai bentuk”, mulai dari pertunjukan, tari kontemporer, teater, film, instalasi seni, hingga video mapping. Bak parade, dongeng dari 20 cagar budaya di seluruh penjuru Indonesia diinterpretasikan ulang dan diolah jadi beragam karya yang bisa dinikmati publik.
Sore itu, beralas tikar yang digelar di atas rumput, puluhan anak berseragam SD terlihat khusyuk menyimak kisah “Semangkuk Kecil Bubur” yang merupakan nukilan relief Jatakamala di Candi Borobudur. Tak hanya lewat dongeng, relief Borobudur juga ditampilkan dalam bentuk tari oleh beberapa sanggar tari di Panggung Senja, area kuliner. Pertunjukan dongeng dan tari relief ini barangkali bentuk karya paling sederhana, yang mengingatkan pengunjung ke tradisi mendongeng kita sewaktu kecil.
Di kawasan Candi Borobudur, InTur membangun tiga panggung (panggung Senja, panggung Lumbini, dan panggung Aksobya) serta bebeberapa karya instalasi festival cahaya. Selain di area Borobudur, juga ada empat galeri yang dijadikan venue pameran, yaitu Museum H. Widayat, Eloprogo Art House, Limanjawi Art House, dan Apel Watoe Contemporary Art Gallery.
Selain relief Jataka yang dihidupkan oleh Ayo Dongeng Indonesia tadi, ada 20 cagar budaya lain yang jadi benang merah sekaligus inspirasi karya InTur, yaitu Sangiran, Liang Bua, Leang-Leang, Gugus Misool (Raja Ampat), Sangkulirang, Lore Lindu, Kutai, Tarumanegara, Kompleks Candi Dieng, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Prambanan, Candi Gunung Kawi, Muara Takus, Muaro Jambi, Candi Jago, Candi Singosari, Trowulan, dan Candi Bahal. Kisah dari 20 cagar budaya inilah yang dijahit oleh Melati Suryodarmo selaku direktur artistik menjadi tema “Mengalami Masa Lalu, Menumbuhkan Masa Depan”.
Sayangnya, dengan konten yang sedemikian melimpah, waktu festival yang panjang, area begitu luas, dan cuaca yang mempengaruhi venue luar ruangan ini, rasanya mustahil bagi pengunjung mencecap keseluruhan acara dengan komplet. Saya sendiri merasa kesulitan menemukan karya mana yang mengangkat cagar budaya yang mana, dan akhirnya hanya benar-benar menikmati beberapa serta hanya sekilas atau justru melewatkan karya lainnya.
Untuk cagar budaya Sangiran misalnya, dibahas melalui dua karya yaitu “A Song for Sangiran 17” dari Prehistoric Body Theater dan “How Erectus We Are?” dari Sophiyah K. “A Song for Sangiran 17” ditampilkan memukau di panggung Aksobya. Serupa diorama museum sejarah yang hidup, para penampil beragam usia menarasikan kehidupan manusia purba yang baru saja menemukan api, membangun kelompok, dan menjelajahi lanskap purba yang menantang. Pengunjung dibuat menahan nafas melihat gestur tubuh penampil yang didominasi gerakan melompat, membungkuk, dan dialog pra-bahasa itu. Karya ini didasari riset dan kecintaan Arirundeko terhadap ilmu paleontologi.
Sementara, karya “How Erectus We Are?” yang ditampilkan Sophiyah di instalasi festival cahaya memakai teknologi imersif sehingga lebih interaktif. Di karya ini, ia mengeksplorasi kemampuan manusia purba untuk menggenggam. Penonton bisa mencoba melakukan simulasi eskavasi fosil, menjajal batu api, hingga bertemu homo erectus lewat bantuan AR (Augmented Reality).
“Saat riset untuk karya ini, jadi tahu kalau Sangiran itu benar-benar pusat kehidupan Homo Erectus,” ceritanya bersemangat. Selama empat hari pameran, ia siap sedia menemani pengunjung menikmati karyanya, “Narasi karyaku akan terjadi kalau ada interaksi. Lucu-lucu responnya, karyaku jadi wahana primitif untuk mereka. Soalnya orang sekarang kan sudah jarang sekali ya menggenggam batu dengan intim begitu, jadi merasakan lagi”.
Dari homo erectus di Sangiran, pengunjung bisa melompati waktu ke abad 14 di era kemunduran peradabaan kerajaan dan masuknya gelombang kolonialisme di nusantara, lewat karya “Tuban” dari Ade Darmawan. Karya yang dipamerkan di Limanjawi Art House ini memajang proses distilasi biji pala, kayu manis, cengkeh, kopra, dan berbagai rempah lain memakai tabung-tabung kaca segala ukuran. Terinspirasi novel “Arus Balik” Pramoedya Ananda Toer, karya ini mengkritisi jatuhnya kejayaan nusantara yang disebabkan oleh praktik ekstraksi sumber daya alam yang dimotori oleh kolonialisme.
Sementara itu, ketika beberapa seniman ini mengambil titik-titik pada linimasa historis sebagai inspirasi karyanya, sebagian lain memilih mengolah cerita-cerita di linimasa mitologis Indonesia.
Waktu, jadi hal yang juga banyak dibahas di beberapa karya InTur. Teater Garasi, kolektif lintas disiplin dari Yogyakarta ini menampilkan “Waktu Batu: Rumah yang Terbakar” sebagai pertunjukan pembuka InTur di panggung Lumbini. Pertunjukan ini menyajikan pembacaan kritis dengan perspektif kontemporer terhadap tiga mitologi Jawa yang berhubungan dengan waktu atau “sang Kala”, yaitu Watugunung, Murwakala, dan Sudamala.
Penampilan Teater Garasi barangkali tak mudah dipahami begitu saja oleh publik umum, tapi bahkan cuilan-cuilan adegan yang menggelitik akan membuat kita punya banyak pertanyaan tentang waktu. Hujan yang mengguyur tepat di penutupan seperti melengkapi plot pertunjukan yang sedang memanas, dan lalu dipungkasi secara bernas oleh penampilan Melancholic Bitch yang menyuarakan “Cahaya, Harga”. Sekejap, saya merasa bisa melucuti kuasa “waktu” dalam narasi konsep ruang dan waktu yang membangun seluruh semesta ini.
“Ruh Kala”, karya live painting Gilang Anom Manapu Manik di Eloprogo Art House juga bicara soal waktu. Selama tiga hari, ia melukis di bawah rindangnya pohon raksasa di tepi tempuran sungai Elo dan Progo. Seperti menulis, Gilang menggoreskan tinda hitam ke untaian kain putih panjang, membentuk huruf-huruf abstrak yang terlihat seperti labirin. Menekuri ia menggambar dengan latar belakang suara arus sungai dan silir angin, karya seni satu ini terasa begitu puitis dan therapeutic. Kita seolah diajak melambat, menghayati bagaimana waktu berlalu dan mewujud lewat berbagai kisah.
Karya Gilang ini banyak terinspirasi dari ritual Rajah Sunda, bentuk aksara jawa dan sunda, juga gambar-gambar purba di gua. “Sebelum gambar aku buat ritual, nah itu terinspirasi dari ritual Rajah Sunda. Ritual tradisi itu kan karya seni yang sudah sangat lengkap, ada performance, visual, musik, bahkan bau, dan doa-doa. Segala indra mendapat pengalaman artistik di ritual nusantara, karyaku berangkat dari situ,” ujarnya.
Selama InTur berlangsung, pengunjung juga disuguhi video mapping pada badan Candi Borobudur. Candi Buddha terbesar di dunia ini nampak hidup dengan animasi dan sound yang menggelagar. Perlu diakui bahwa sisi produksi karya-karya di InTur tergarap maksimal.
“Dengan perkembangan teknologi, terutama di bidang media, kami ingin mendorong pemanfaatan teknologi agar publik memiliki akses yang semakin besar terhadap warisan budaya yang kita miliki dan dapat memanfaatkan warisan budaya tersebut sebagai sumber ilmu pengetahuan,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid, saat konferensi pers InTur di Jakarta akhir Agustus 2022.
Gelaran megah ini rencananya akan jadi agenda dua tahunan di Borobudur. Di tahun perdananya, InTur juga merupakan mata acara G20 bidang kebudayaan. Itulah mengapa tak seluruh acara terbuka untuk publik.
Pertunjukan InTur untuk umum dipungkasi pertunjukan duo eksperimental asal Yogyakarta, Senyawa tanggal 11 September. Mereka membawakan set berjudul “Vajranala” yang merupakan hasil interpretasi ulang atas mitologi tanah tempat berdirinya candi Pawon di desa Bajranalan.
Senyawa melihat candi sebagai penanda penting bahwa sebuah kisah pernah terjadi di suatu daerah. Melengkapi set pertunjukan, mereka membangun instalasi berupa candi kecil dari batu bata. “Konon, candi-candi dibangun dengan mengikuti panduan rasi bintang Orion, lintang luku yang menandai awal musim tanam, seperti alat yang dipakai Wukir (Suryadi) ini, Luku,” cerita Rully Shabara, sang vokalis sebelum memulai setnya.
Senyawa menampilkan pertunjukan memukau. Seperti merapal mantra, Rully melolongkan larik-larik kisah dengan nuansa tribal berlatar Candi Borobudur yang tampil gagah dan cantik disinari lampu sorot. Di atasnya, bulan purnama menggantung sempurna. Musik tribal Senyawa seperti membawa penonton memasuki mesin waktu, merasakan kemegahan masa lalu nusantara.
Senyawa memang memungkasi acara publik InTur, tapi empat hari pertunjukan di awal ternyata serupa pesta rakyat yang mendahului agenda utama yang sakral, yaitu Ruwatan Bumi. Mengadopsi ritual ruwat atau penyembuhan dari berbagai tradisi di Indonesia, InTur mengajak 10 seniman perempuan untuk mewujudkan Ruwatan Bumi, ritual yang dikemas dengan konsep pertunjukan kontemporer.
Dilaksanakan di panggung Lumbini, pentas puncak ini terasa magis karena menampilkan medley mantra-mantra dari belasan tetua adat dari berbagai suku di Indonesia. Meski bahasa dan caranya berbeda-beda, terasa bahwa isi ratapan kesemuanya senada, mereka memohon keselamatan dan keseimbangan untuk semesta. Puang Bissu Bone dari Sulawesi Selatan misalnya, merapalkan doa dalam bahasa Langit untuk meminta ampunan dan berkah dari dewata.
Ruwatan Bumi barangkali adalah pertunjukan paling penting di InTur 2022. Doa dan ratapan atas dunia yang semakin kacau ini adalah suara paling jernih dari krisis ekologi yang tengah dihadapi masyarakat adat di segala penjuru di Indonesia. Terlebih, pertunjukan ini ditampilkan di depan peserta G20 yang merupakan pemegang kuasa dan pengambil kebijakan terkait pembangunan dunia yang kerap tak berpihak pada bumi dan manusia itu.
Tak sekedar menampilkan cerita-cerita masa lalu dalam balutan yang futuristik, jika benar-benar dihayati InTur adalah upaya pengingat yang patut dihargai, bahwa di tengah penentuan kebijakan-kebijakan dan usaha mewujudkan bayangan masa depan, kita harus mengambil jeda menengok masa lalu. Betapa kisah-kisah yang dituturkan nenek moyang tak sekedar indah jadi tontonan, tapi juga patut jadi tuntutan.