Berita  

Di Balik Drama Paris Fashion Week: Kenapa Brand Indonesia Ngebet Go International?

di-balik-drama-paris-fashion-week:-kenapa-brand-indonesia-ngebet-go-international?

Kerutan di dahi netizen terbentuk sempurna saat menyaksikan foto busana hasil kolaborasi desainer fesyen Yanti Adeni dengan brand kuliner Geprek Bensu diklaim sedang dipamerkan di ajang Paris Fashion Week (PFW) 2022. Foto model memeragakan gaun putih bergambar ayam goreng dan teks “tasty”, “popular”, “hot”, dan “crispy” itu wira-wiri di media sosial sejak kemarin. Sebagian netizen jadi bertanya-tanya apa sebenarnya cita-cita luhur Ruben dan Jordi Onsu memamerkan produk kuliner yang pasarnya ada di Indonesia, lewat catwalk di negara orang.

Nyatanya, ada alasan yang lebih bikin bingung. Ternyata, jadwal resmi pekan peragaan busana prestisius itu sama sekali tidak mencantumkan keterlibatan Geprek Bensu. Padahal, di video promosi acara, Geprek Bensu sans aja mention-mention akun medsos PFW. Jordi bahkan menyebut Geprek Bensu sebagai “brand makanan pertama dari Indonesia yang bisa berpartisipasi di Paris Fashion Week”.


Usut punya usut, kehadiran Geprek Bensu di Paris bukanlah dalam rangka ikut PFW, melainkan sebuah acara bernama “Paris Fashion Show during (at) Paris Fashion Week 2022”. Acara ini diselenggarakan orang-orang Indonesia di bawah lembaga Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (Gekrafs), bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Dan ya, acaranya emang sengaja dibuat berbarengan dengan PFW 2022.

Geprek Bensu tidak sendiri. Mereka berangkat bersama 9 brand Indonesia lain dan beberapa influencer yang mengemban tugas mempromosikan gelaran tersebut. Masalahnya, sebagian besar brand dan influencer ini menggunakan judul promosi yang membingungkan masyarakat: seolah-olah berangkat untuk PFW 2022. Daftar brand yang terlibat bisa dibaca di siaran pers Kemenparekraf di tautan ini, bahkan judul di siaran pers pun membingungkan.

Netizen merasa dibohongi, menilai apa yang dilakukan para brand sebagai tindakan tidak tahu malu karena maksa nebeng ketenaran PFW. Respons masyarakat bisa dilihat di beberapa utas di internet, misalnya di utas Twitter penulis fesyen Lynda Ibrahim dan akun media sosial masing-masing brand.

Keramaian ini bikin Gekrafs angkat suara. Ketua Badan Komunikasi dan Informasi (Bakominfo) Gekrafs Riefian Fajarsyah alias Ifan Seventeen menjelaskan duduk perkara ini mirip dengan yang utas Lynda jelaskan: acara yang mereka buat tidak ada hubungannya dengan PFW selain bertepatan di hari yang sama. Ifan menyebut aksi promo para influencer yang pede menyebut brand-nya terlibat PFW sebagai ketidaktelitian masing-masing. 

Menurut Ifan sih, enggak masalah brand-brand Indonesia tersebut menyebut nama PFW, pokoknya selama tidak menyertakan logo Fédération de la Haute Couture et de la Mode (FHCM)–penyelenggara resmi PFW 2022–aja.

“Mungkin yang membuat miss itu di sini, pada saat brand-brand tersebut menyampaikan kepada para KOL-KOL yang ikut ke sana kurang ditekankan, jadi banyak sekali yang menamai kegiatan mereka dengan Paris Fashion Week. Apakah itu salah? Jawabannya tidak, bahkan kalau memang menamai atau menyebutkan kegiatan mereka di sana dengan sebutan Paris Fashion Week itu juga sebenarnya enggak apa-apa, yang penting jangan menyertai logo dari FHCM tersebut,” kata doi di Instagram pribadinya

Insiden nebeng keramaian Paris Fashion Week ini cuma lanjutan dari gejala yang belakangan menjangkiti merek-merek lokal Indonesia. Bikin publikasi di negara dunia pertama lalu mewartakannya sebagai prestasi go international kepada konsumen di dalam negeri. Taktik ini benderang sedang jadi cara pemasaran yang digemari.

Brand pakaian kasual Erigo, misalnya, pernah ikut serta di New York Fashion Week 2021. Di samping itu, brand asal Depok, Jawa Barat tersebut juga memasang iklan di New York Times Square yang disebut-sebut iklan mingguannya seharga Rp43 miliar dengan impresi 1,5 juta orang per hari. Perkara “pasang baliho” di New York Times Square ini juga dilakukan Spotify yang memajang tampang beberapa musisi Indonesia, seperti Raisa, Yura Yunita, Nadin Amizah, dan Weird Genius. Diamplifikasi artis-artisnya, strategi ini sukses jadi pemberitaan.

Gelagat ini bikin kami bertanya-tanya. Emang sepenting apa sih pengaruh label go international pada sebuah brand? Apa emang segitu kuatnya sampai bisa memengaruhi perilaku konsumen? Untuk menjawabnya, kami bertanya kepada Farid Fatahillah, digital marketer Inventure Indonesia, sebuah perusahaan konsultasi, riset, dan pelatihan di bidang marketing dan strategi pasar. Saat ini, Farid juga menjadi staf ahli di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

“Ini nama tekniknya ambush marketing (pemasaran menyergap). Udah sering dilakukan, biasanya pas event-event besar kayak Piala Dunia. Nebeng popularitas, menunggangi momen. Sebenarnya sah-sah aja selama enggak mencatut nama,” kata Farid saat dihubungi VICE.

“[Sayangnya] ambush marketing yang dilakukan beberapa brand ini [di Paris Fashion Week] agak kurang etis, kecuali yang bener-bener menyatakan bahwa [acara] ini [adalah] Paris Fashion Show during Paris Fashion Week. Mereka bikin keramaian sendiri, berangkat sendiri, bikin event sendiri, heboh sendiri.”

Label brand yang go international disebut Farid menargetkan konsumen yang memang silau dengan hal-hal tersebut. Meski berada di luar negeri, ia menyebut target para brand tetap konsumen lokal kok. “Memanfaatkan konsumen lokal yang kebanyakan overproud. Ada brand lokal yang go international itu kan [membuat] sebagian besar dari konsumen bangga [memakai produk], meskipun pasti tetap ada yang kritis,” tambah Farid.

Saat ditanya apakah label go international ini memang sebegitu berpengaruhnya sama angka penjualan barang ke depan, Farid menyebut marketing gaya ini tidak menjadikan konversi sebagai tujuan, melainkan lebih berfungsi membentuk imej.

Brand dipersepsikan udah level internasional, jadi mereka [konsumen] semakin bangga memakai produk itu. Mungkin enggak akan langsung efek ke penjualan. Tujuannya memancing percakapan. Yang penting diomongin, masalah positif atau negatif enggak terlalu signifikan.”

Farid lantas menggarisbawahi tren beriklan yang disebut hybrid advertising. Para pengiklan mempromosikan produknya secara offline di sebuah tempat, biasanya di luar negeri, tapi justru eksposur di medsos dan media-media secara daring yang jadi tujuan. Memasang iklan di New York Times Square adalah contohnya. “Iklan offline [di suatu tempat], tapi target market-nya netizen di Indonesia. Iklannya offline tapi untuk market yang online,” tutup Farid.

Waduh, kok terdengar kontradiktif ya. Ingin membuat konsumen bangga memakai produk lokal, tapi kudu mencari legitimasi dari event negara dunia pertama. Padahal di dalam negeri udah ada contoh sukses brand yang konsumennya loyal tanpa pemasaran neko-neko. Sabana, Rocky, dan Olive Chicken, misalnya.