Kebakaran hebat di ibu kota Urumqi, Xinjiang, memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh Tiongkok sejak Kamis pekan lalu. Warga menuntut dicabutnya kebijakan “Zero Covid”, yang telah menghambat proses evakuasi selama kobaran api melalap gedung apartemen. Akibatnya, 10 orang tewas karena tidak bisa keluar untuk menyelamatkan diri.
Di satu sisi, aspirasi masyarakat tampaknya membuahkan hasil. Pada Selasa kemarin, (29/11), pejabat kesehatan telah mengumumkan rencana pelonggaran pembatasan sosial, serta mempercepat program inokulasi bagi warga lanjut usia—kelompok usia yang paling rentan terkena penyakit akibat tidak dapat divaksinasi. Tapi di sisi lain, pemerintah geram melihat aksi pembangkangan terbesar yang terjadi sejak Presiden Xi Jinping memimpin Tiongkok. Polisi telah dikerahkan untuk mengejar para warganya yang turun ke jalan.
Sejumlah pengunjuk rasa di Beijing diinterogasi polisi melalui panggilan telepon. Ada juga yang didatangi langsung ke rumah mereka masing-masing. “Polisi tahu nama saya, dan memastikan saya ada di sungai Liangma atau tidak tadi malam… Pertanyaannya sangat spesifik: berapa banyak orang yang ada di sana, saya pergi pukul berapa dan saya tahu dari mana ada demo di sana,” ungkap seorang demonstran kepada kantor berita AFP. Sungai Liangma merupakan tempat massa aksi berkumpul untuk meluapkan amarah mereka terhadap kebijakan Zero Covid yang dinilai terlalu ketat.
“Polisi menekankan demo tadi malam digelar secara ilegal. Menurut polisi, warga seharusnya mengajukan tuntutan melalui saluran yang telah disediakan oleh negara.”
Menurut pengakuan dua orang lainnya, pada Selasa, mereka mendapat perintah dari polisi untuk menyerahkan keterangan tertulis tentang kegiatan mereka di akhir pekan. “Kami buru-buru menghapus riwayat obrolan di hape,” kata seorang saksi di Beijing, dilansir Reuters.
Sementara itu, di Shanghai, seorang pengunjuk rasa ditangkap pada Minggu dini hari, setelah kerumunan berkurang. “Saya baru mau jalan pulang ketika polisi menangkapi orang di sekeliling saya,” katanya kepada VICE World News. Perempuan itu tidak mau menyebutkan namanya karena takut ditindak. “Saya melihat mereka menyeret perempuan yang ada di sebelahku. Saya berteriak meminta mereka untuk melepaskannya, tapi polisi menjatuhkan badan saya dengan keras dan membawaku ke kantor polisi bersama tiga orang lainnya.”
Selama proses interogasi, dia ditanya tentang hubungannya dengan penyelenggara demo, alasannya ikut demo, dan dari mana dia mendapatkan informasi soal aksi protes itu. Dia juga diminta menyebutkan kembali yel-yel yang diteriakkan pengunjuk rasa.
Perempuan itu didatangi polisi untuk kedua kalinya setelah dibebaskan sehari kemudian. Alasan kunjungan polisi yaitu menyuruhnya menghapus postingan tentang penangkapan yang ia unggah ke media sosial.
Seorang pengacara HAM mengungkapkan, banyak demonstran meminta bantuannya setelah dipanggil polisi. “Mereka kebanyakan mahasiswa yang belum pernah mengalami hal seperti ini. Mereka tidak tahu cara menanggapi pertanyaan polisi saat diinterogasi,” terang pengacara yang memohon namanya dirahasiakan. “Kami menyarankan mereka untuk tidak menjawab pertanyaan yang sifatnya spekulatif.”
Berdasarkan perhitungan warga yang memantau situasi, sedikitnya 50 orang ditangkap dalam acara doa bersama yang digelar di Chengdu pada Minggu, 27 November 2022.
Demonstrasi yang berlangsung damai mendapat dukungan dari seluruh dunia. Di Hong Kong, lusinan orang menggelar doa bersama untuk para korban yang tewas dalam kebakaran—suatu kejadian langka di Hong Kong yang tengah bergumul dengan hukum keamanan nasional yang membatasi kebebasan rakyat.
Pemerintah daerah di sejumlah wilayah Tiongkok telah melonggarkan protokol kesehatan, termasuk kewajiban tes Covid-19. Sementara itu, para pejabat di Beijing menekankan telah “melarang keras” penggunaan benda padat yang dapat memblokir akses keluar masuk dan rute darurat kebakaran. Kebijakan lockdown di lingkungan perumahan juga tak perlu lagi diberlakukan 24 jam penuh.
Follow Rachel Cheung di Twitter dan Instagram.