Berita  

Demi Redam Kultur Kekerasan, Pemkot Jaksel Ingin Buat Festival Tawuran di Manggarai

Kawasan Manggarai terus menjadi salah satu titik terpanas tawuran di DKI Jakarta. Bentrokan antar kampung berulang kali terjadi di kawasan padat penduduk tersebut. Bahkan sepanjang 2022, Polda Metro Jaya mencatat sudah enam kali pecah tawuran dalam skala besar di Manggarai. Saking memusingkannya problem tawuran Manggarai, Kapolda Metro Irjen Polisi Fadil Imran saat diwawancarai media mengklaim bahwa andai tradisi tawuran di wilayah itu berhenti, maka “urusan [kriminal] di Jakarta Selatan Insya Allah selesai 50 persen,” ujarnya.

Saat polisi pusing, pemerintah kota Jakarta Selatan yang menaungi kawasan Manggarai lebih pusing lagi. Saking pusingnya, alhasil pemkot merasa perlu terobosan tak lazim supaya kultur kekerasan Manggarai dapat dikikis, bahkan disetop. Salah satu wacana yang kini dilontarkan oleh Plt Wakil Wali Kota Jakarta Selatan, Ali Murtado, adalah menggelar “Festival Tawuran”. Harapannya energi para pemuda di kampung-kampung Manggarai yang paling rutin berseteru seperti di Menteng Jaya, Tambak, Manggarai Bawah, dan Bukit Duri tersalurkan lewat kegiatan lebih positif.


Ide festival tawuran ini, menurut Murtado, sempat dibicarakan pemkot dengan jajaran Polres Jakarta Selatan. “Karena [problem tawuran di Manggarai] sudah membeludak ya, [dari Pemkot usul] mau enggak dibikin festival tawuran,” ujar Murtado seperti dilansir merdeka.com, pada Selasa 11 Oktober 2022.

Murtado menyatakan konsep festival ini tidak berarti anak-anak muda disuruh berkelahi atau melakukan tarung bebas di jalanan. Konsepnya, di mata Wali Kota Jaksel Munjirin, harus dibuat semenarik mungkin. Misalnya, peserta bisa saling lempar tomat atau roti, alih-alih batu. Tak tertutup kemungkinan festival ini juga melibatkan lomba mural antar kampung dan pesertanya juga bisa saling lempar cat ke rivalnya (dua ide tersebut intinya melibatkan saling lempar obyek yang tidak berbahaya).

“Saat ini [konsep lebih detail] lagi dikaji sama pak Wali kota,” imbuh Murtado.

Dari pantauan pemkot, Manggarai adalah zona yang rentan mengalami problem sosial. Pasalnya wilayah yang disebut Manggarai mencakup 151 RT dan 12 RW, dengan luas 85 hektare. Selain itu kebanyakan remaja yang tinggal di kawasan Manggarai putus sekolah, serta tak terserap di dunia kerja formal. Ruang terbuka hijau di wilayah itu juga minim.

“Sekitar 60 persen wilayah [Manggarai] berisi dengan rel [karena dekat stasiun]. Artinya bisa dibayangkan begitu padatnya,” ujar Murtado.

Terlepas dari ide pemkot tersebut, Kapolres Jakarta Selatan sudah membentuk satgas anti-tawuran. Target utamanya adalah Manggarai. Hal ini merujuk arahan dari Kapolda Fadil Imran. Tim ini bakal melakukan patroli rutin, penyuluhan kepada orang-orang yang dihormati di kawasan Manggarai, serta memaksimalkan pemantauan lewat CCTV di berbagai titik.

”Saya akan patroli jalan kaki. Itu yang ada di pikiran saya sampai semuanya betul-betul kita sentuh,” ujar Kapolres Jakarta Selatan Kombes Ade Ary, saat mengunjungi Manggarai pada 12 Oktober 2022.

Ide unik untuk mengatasi tawuran bukan hanya dilakukan oleh Pemkot Jaksel. Sebelumnya, Pemkot Tangsel, seperti dilaporkan Pos Kota, berniat memfasilitasi anak muda menyalurkan emosi lewat latihan olahraga tinju atau MMA. Ide pembangunan ring tinju disampaikan oleh Wali Kota Tangerang Selatan, Benyamin Davnie pada 8 April lalu. Aparat Tangsel diminta mendaftar pelajar dari sekolah tertentu yang potensial untuk dilibatkan dalam program pelatihan tinju tersebut.

Adapun untuk kasus Manggarai, pemkot menganggap festival ini bukan satu-satunya solusi. Idealnya, perlu digelar juga bursa kerja agar para pemuda di Manggarai bisa memiliki penghasilan tetap. “Peluang bekerja untuk pemuda-pemuda yang ada di kelurahan Manggarai menjadi prioritas di dalam upaya kita menangani persoalan tawuran,” ujar Murtado.

VICE pernah membuat liputan mengenai Manggarai. Kala itu semua narasumber warga yang diwawancarai tidak mampu menjelaskan detail kapan dan apa pemicu tawuran pertama kali berlangsung. Namun mereka sepakat, perseteruan antar kampung mulai rutin terjadi sejak dekade 1970’an. Kombinasi kepadatan penduduk dan kemiskinan berujung pada maraknya geng. Dari aktivitas geng ini mulai ada kebanggaan terhadap kampung, berujung pada gesekan antar warga ketika mencari penghidupan. Berebut penumpang ojek dan lahan parkir sekitaran stasiun, atau saling ejek di medsos saja bisa menyulut kembali konflik.

Berdasarkan catatan Sosiolog Imam B. Prasodjo dari Universitas Indonesia, saat diwawancarai TEMPO, kawasan sekitaran Manggarai-Pasar Rumput memiliki 35 geng anak muda. Itu baru yang tercatat resmi ketika didatangi tim penelitiannya pada 2015. Dua geng yang paling terkenal adalah aliansi penghuni ‘gang tuyul’ dari kawasan Tambak-Tenggulun, serta ‘Gemstas’ atawa Gembel Stasiun yang membangun markas dekat rel Manggarai.

Tawuran sudah terlanjur diwariskan ke generasi baru. Bocah SMP sekitaran Menteng Jaya, misalnya, pasti terlibat tawuran. Apalagi jika kakak, sepupu, atau orang tuanya dulu aktif berkelahi menghadapi kampung lawan. Sejak kecil mereka dididik untuk menganggap semua orang yang datang dari Tenggulun sebagai musuh. “Yang ikut tawuran ya anak muda sampai orang tua, siapa aja yang mau tawuran ya tawuran,” kata Aminah, warga yang mengelola toko kelontong di Manggarai.