Berita  

Debat Dugaan Pelecehan oleh Influencer Tunjukkan Tantangan Saat Korban Berani Bersuara

debat-dugaan-pelecehan-oleh-influencer-tunjukkan-tantangan-saat-korban-berani-bersuara

Kasus dugaan pelecehan seksual melibatkan influencer berinisial GH mendominasi linimasa internet sepanjang 9 Juni 2021. Akun yang mengaku pernah dilecehkan GH buka suara di Twitter. Dari kesaksian korban, GH menyentuh bagian tubuh sensitifnya tanpa persetujuan, pada Agustus 2018.

GH disebut melakukan pelecehan saat sedang dalam pengaruh alkohol kala menghadiri sebuah acara Lawless YouTube Squad di Rumah Opa, Kota Malang, Jawa Timur. Keberanian korban menceritakan pengalaman traumatis tersebut sembari membawa nama figur populer direspons oleh simpati luas, sekaligus serangan balik, dari pengguna medsos lainnya.


Tidak lama, GH menuliskan cerita versinya di Twitter. Secara garis besar, ia mengakui sedang mabuk pada saat kejadian, namun mengatakan tidak ada panitia maupun asistennya yang melihat pelecehan seperti dituduhkan. Tim GH lantas menghubungi korban, sembari mengindikasikan akan menempuh jalur hukum terkait tudingan akun tersebut.

Korban selanjutnya meminta bantuan publik saat ceritanya semakin viral. Lewat akun yang sama, korban menginformasikan bagi siapapun yang berada di Rumah Opa pada waktu itu dan melihat kejadian, agar bersedia menghubunginya. Saat artikel ini dilansir, korban diketahui sudah mendapatkan bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), lalu tersiar kabar bahwa korban pelecehan seksual GH akan melakukan Zoom Meeting, mengindikasikan korban GH tidak hanya satu orang.

Selain nama terduga pelaku, kata kunci ‘Lawless’ turut menjadi trending topic di Twitter, terseret pusaran kasus. Manajemen Lawless menyatakan per 9 Juni 2021, GH sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Belum dijelaskan apakah ini berarti saham kepemilikan GH turut hilang. Pasalnya, di salah satu wawancaranya dengan Pandji Pragiwaksono, GH mengaku sudah tak terlibat operasional lagi di keseharian Lawless, namun masih tercatat sebagai pemilik.

Sementara itu, komedian sekaligus jurnalis musik Soleh Solihun menginformasikan lewat akun Twitternya bahwa Arian “13” Arifin dari band Seringai, salah satu pendiri Lawless, mengkonfirmasi GH betul-betul “keluar” dari Lawless. Dikeluarkannya GH diklaim bukan sekadar gimmick untuk meredam kemarahan publik pada citra Lawless yang terkenal atas bisnis burger dan merchandise musik.

Dari berbagai pembicaraan soal debat ini, beberapa netizen menyerang korban. Mereka mempertanyakan mengapa untuk kasus terjadi pada 2018, akun tersebut baru berani speak up tiga tahun setelahnya. Respons menyudutkan mereka yang bersuara macam ini rupanya lazim terjadi di setiap dugaan kasus kekerasan seksual.

Pengacara Publik dari LBH Masyarakat Aisya Humaida menjelaskan, harus diingat bahwa sistem hukum di Indonesia tidak cakap menangani kasus kekerasan seksual. Karenanya, wajar bila banyak penyintas kekerasan seksual akhirnya butuh waktu membangun keberanian bercerita.

Meski sistem hukum mungkin belum siap, namun, Aisya menekankan menempuh proses pidana tetap tindakan tepat. “Tapi, bukan satu-satunya jalur yang dipakai. Perlu kita kombinasikan dengan jalur lain. [Pencarian jalur lain] ini jadi alasan mengapa banyak korban berbicara di media sosial,” kata Aisya kepada VICE.

Menurut Aisya, problem terbesar saat ini adalah hukum di Indonesia yang belum sepenuhnya punya aturan detail bagi aparat di lapangan, untuk merespons laporan kasus kekerasan seksual.

“Secara dasar hukum tidak banyak mengatur [tentang kekerasan seksual]. Di antaranya pemerkosaan dengan definisi yang sangat sempit: persetubuhan atau cabul terhadap anak dan lingkungan kerja. Di sisi penegak, perspektif penegak hukum hanya sebatas syarat formil seperti perlunya saksi. Padahal, saksi dalam kekerasan seksual tidak banyak karena terkadang hanya melibatkan korban dan pelaku,” tambah Aisya. “Apalagi terkadang saat pelaporan, keterangan korban cenderung diragukan.”

Aktivis perempuan Kalis Mardiasih menekankan untuk mendapatkan keadilan, korban kekerasan seksual perlu banyak faktor pendukung mulai dari pendampingan hukum, alat bukti cukup, saksi, dan sistem hukum yang menjamin keamanan korban. Poin terakhir itu yang sampai sekarang belum tersedia memadai.

“Tanpa sistem hukum yang berpihak pada korban dan aparat penegak hukum yang punya perspektif benar, paling-paling korban hanya akan mendapat respons: ‘kejadian tiga tahun lalu, kenapa baru lapor hari ini?’” kata Kalis kepada VICE.

Di tengah gagapnya sistem hukum, Kalis menyarankan tindakan yang paling aman bagi korban saat ini adalah mengakses layanan pendamping, baik psikologis maupun hukum. Sebab, budaya spill di media sosial termasuk berisiko.

“Korban bisa terlebih dahulu melaporkan kasus ke LBH misalnya. Setelah berkonsultasi dengan pendamping hukum, korban akan diberi rekomendasi langkah-langkah lanjutan yang bisa diambil,” tambah Kalis.