Persyaratan rapid test untuk masyarakat yang ingin bepergian dimanfaatkan sekelompok orang untuk mencari untung. Subdit IV Tindak Pidana Tertentu (Tipidter) dari Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Sumatera Utara menemukan dugaan pemakaian kembali, atau daur ulang alat rapid test antigen bekas, di Bandara Kualanamu pada Selasa (28/4) sore waktu setempat.
Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Kombes Hadi Wahyudi mengungkap pihaknya sedang memeriksa enam petugas medis yang diduga terlibat dalam skandal itu. Dalam keterangan pers yang diterima VICE, kepolisian melakukan penggerebekan terhadap lokasi tes setelah mendapatkan “informasi dan banyaknya keluhan dari para calon penumpang pesawat yang hasil rapid antigen positif Covid-19 dalam kurun waktu kurang lebih satu minggu.”
Seorang anggota Polda Sumut lantas menyamar sebagai calon penumpang. Ia menjalani rapid test antigen sesuai yang diwajibkan oleh pemerintah. Selang 10 menit kemudian, hasilnya keluar dan dia dinyatakan positif. Perdebatan pun terjadi antara personel polisi yang menyamar itu dengan petugas medis. Di laboratorium bandara, ia menemukan ratusan alat tes bekas yang kemudian didaur ulang.
Petugas yang merupakan karyawan PT Kimia Farma itu lantas mengaku kepada polisi bahwa ratusan alat rapid test bekas tersebut dicuci dan dibersihkan kembali, sebelum dimasukkan ke dalam pembungkus agar terlihat seperti baru. Dari penggerebekan itu, polisi menyita barang bukti lain seperti dua unit komputer, uang kertas, dan alat tes antigen yang masih belum digunakan.
Berdasarkan keterangan pers yang diperoleh VICE, PT Kimia Farma Diagnostik (anak usaha PT Kimia Farma Tbk) mengaku siap bekerjasama dengan kepolisian untuk melakukan investigasi terhadap karyawan-karyawannya yang diduga ikut andil aktivitas membahayakan tersebut.
“Kita mendukung sepenuhnya investigasi yang dilakukan oleh pihak berwajib terhadap kasus tersebut,” kata Adil Fadhilah Bulqini selaku Direktur Utama PT Kimia Farma Diagnostika. Dia menyebut perbuatan tersebut “sangat merugikan perusahaan dan sangat bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP) perusahaan serta merupakan pelanggaran sangat berat”.
Selanjutnya, perusahaan berjanji akan memberikan “tindakan tegas dan sanksi yang berat sesuai ketentuan yang berlaku” apabila memang mereka terbukti bersalah. Adil berjanji PT Kimia Farma akan “melakukan evaluasi secara menyeluruh dan penguatan monitoring pelaksanaan SOP di lapangan sehingga hal tersebut tidak terulang kembali”.
VICE berusaha menghubungi pihak Angkasa Pura di Bandara Kualanamu untuk mendapatkan informasi mengenai bagaimana ini bisa terjadi. Namun, perwakilan perusahaan pelat merah tersebut mengaku belum ada pernyataan resmi yang bisa diberikan kepada publik.
Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan kepada VICE terungkapnya dugaan penggunaan alat rapid test antigen bekas tersebut adalah “tindakan memprihatinkan dan berbahaya”.
“Tidak ada dalam pedoman global maupun nasional, bahkan dalam kondisi keterbatasan alat tes, untuk reuse atau menggunakan ulang [alat tes bekas] karena pertama itu berbahaya. Ada potensi penularan. Kedua, akurasi jadi menurun dan tidak bisa diandalkan,” tegasnya.
Yang tidak kalah gawat, menurut Dicky, adalah risiko penurunan kepercayaan publik terhadap cara pemerintah menangani pandemi Covid-19. Apalagi banyak orang yang semakin terang-terangan memperlihatkan rasa tidak percaya bahwa situasi darurat kesehatan sedang terjadi.
“Trust ini akan ke mana-mana [dampaknya] karena para penganut teori konspirasi, hoaks, mengatakan ‘wah! ini saya kan di-Covid-kan, benar nih selama ini’, dan ini akan ada collateral effect pada tempat-tempat pemeriksaan lain. Misalnya, rumah sakit. Kemudian, [ada kecurigaan] ‘ini jangan-jangan cari uang’. Dampaknya tidak sepele lho. Ini serius,” imbuhnya.
Oleh karena itu, semestinya pemerintah secepatnya mengambil langkah tegas dan transparan agar dampak-dampak tersebut tidak meluas. Salah satunya wajib dilakukan oleh menteri-menteri terkait serta para petinggi PT Kimia Farma yang mendapatkan mandat untuk melakukan tes di bandara.
“Institusi [yang berkaitan] harus melakukan klarifikasi untuk meluruskan bahwa yang di tempat lain seperti apa. Termasuk pemerintah,” tutur Dicky. “Jadi, harus ada audit menyeluruh terhadap mekanisme atau strategi testing kita. Dari sisi pemilihannya, kenapa pilih PCR, kenapa pilih rapid test, kenapa pilih genose. Harus dikuak sekarang.”
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah. Sebagai pengingat, data Kementerian Kesehatan per Rabu (28/4) mencatat total ada 1.657.035 kasus Covid-19 di Tanah Air, dan pasien meninggal menyentuh angka 45.116 jiwa.
Sementara, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Alwi Mujahit mengungkap tes Covid-19 yang ada di Bandara Kualanamu rupanya tidak mengantongi izin dan telah mengirimkan petugas untuk mencari tahu persoalan ini lebih lanjut.
“Mungkin ya karena mereka merasa sudah permisi dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di sana dan otoritas bandara sehingga tidak perlu izin dari Dinkes Sumut. Padahal seharusnya mereka mengurus izin pada kita,” kata Alwi.
Dicky mengatakan KKP merupakan pihak yang memiliki otoritas untuk mengawasi segala aspek terkait kesehatan di bandara, termasuk tes Covid-19. Rumor yang beredar adalah KKP tidak terlibat dalam pelaksanaan tes.
Lewat konferensi pers pada Rabu sore, Kepala KKP Kelas 1 Medan Priagung mengatakan tugas lembaganya adalah “melayani pelaku perjalanan untuk yang berangkat yang kita awasi adalah suhu tubuh” dan “melakukan validasi dari tes” yang sudah dilakukan oleh PT Kimia Farma.
“Yang penting dilakukan di tempat tersebut, kami lakukan validasi,” ucap Priagung.
Dicky menyatakan dugaan daur ulang alat rapid test ini menambah panjang deretan problem penanganan pandemi di Indonesia. Ia mengingatkan pentingnya pemerintah segera melakukan “audit secara menyeluruh” untuk mengungkap seperti apa standar testing di Indonesia.
“Ini adalah suatu penyakit yang memperburuk respons pandemi kita, dan ini yang terdeteksi. Yang lainnya kita enggak tahu,” ujar Dicky.