Draf bertajuk “Kurikulum Prototipe” sedang menjadi perbincangan khalayak. Naskah kurikulum tersebut sebetulnya belum dirilis, sehingga gambarannya sekadar dari penjelasan pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) di media.
Setidaknya berkaca pada informasi yang tersebar di berbagai kanal, sudah ada calon kurikulum baru yang mulai disebut-sebut sebagai “Kurikulum 2022”, secara radikal mengubah praktik pendidikan di SMA. Konon, praktiknya akan dihapus pembagian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa yang lazim dipilih para pelajar kelas XI sebelum melanjutkan kuliah.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo membenarkan adanya wacana tersebut. Ia mengatakan, Kurikulum 2022 diniatkan menghapus sekat antara ketiga jurusan tersebut, sehingga tidak akan ada lagi kelas khusus IPA, IPS, maupun Bahasa. Sebagai gantinya, siswa dibebaskan memilih mapel yang mau ia ikuti, walau tidak bebas-bebas banget.
Praktiknya akan begini. Akan ada dua kluster mapel yang harus diambil siswa. Kluster pertama adalah kluster mapel wajib diambil, meliputi Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Seni Musik, Penjaskes, dan Sejarah. Kluster kedua ada kluster mapel pilihan yang bebas diambil dari tiga rumpun IPA, IPS, dan Bahasa. Namun, syarat berlaku. Mapel pilihan hanya boleh menggabung pelajaran dari dua rumpun.
“Mapel pilihan pun harus kombinasi dari dua kategori, misalnya dari kategori mapel IPA dan IPS. Atau dari kategori IPA dan bahasa,” kata Anindito, Selasa (21/12), dikutip Medcom. Di atas kertas, model ini akan melegakan siswa yang, misalnya, masuk IPA karena suka Kimia, namun benci Biologi. Namun sayang sekali, siswa Indonesia rupanya masih belum bisa lari dari Matematika, PKn, dan teman-temannya.
Mendikbudristek Nadiem Makarim mengatakan, Kurikulum 2022 bersifat opsional. Sekolah dipersilakan untuk memakainya atau tetap pada Kurikulum 2013. Bagi sekolah yang memakai kurikulum baru, metode evaluasi diserahkan kepada sekolah. “Evaluasi hasil belajar siswa adalah kewenangan guru. Kelulusan juga kewenangan guru dan sekolah,” terang Anindito.
Dari gambaran saat ini, Kurikulum 2022 tampaknya bertujuan membuat lulusan SMA punya bekal pengetahuan mendalam pada bidang tertentu. Keputusan ini nyambung dengan keluhan Mendikbudristek Nadiem Makarim sepanjang ia menjabat, bahwa kompetensi lulusan Indonesia lebih sering enggak nyambung dengan lapangan kerja yang tersedia.
“[Kita] memasuki era di mana kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar,” kata Nadiem 2019 lalu, sebelum meluncurkan program Kampus Merdeka. “Lima tahun ke depan prioritas nomor satu adalah ada satu mahasiswa yang keluar dia bisa apa, sukses apa, dan karakter seperti apa,” tambahnya.
“80 persen lulusan kita tidak masuk dalam sektor di dalam prodinya,” ujar Nadiem pada Oktober tahun ini. “Tidak bisa mengandalkan satu disiplin (ilmu), minimal dua atau tiga kadang-kadang.” Pada 2020, ia juga pernah mengeluhkan program magang mahasiswa yang menurutnya mesti berdurasi enam bulan.
“Mahasiswa atau pelajar kita tidak memiliki gambaran terkait kehidupan di lingkungan kantor karena di kampus atau sekolah, tidak pernah ada simulasi terkait seperti apa lingkungan kerja sesungguhnya,” ia juga mengatakan, April tahun ini.
Dalam opininya di The Conversation, mahasiswa doktoral Universitas Pelita Harapan, Bing Andika menyebut, kasus lulusan bekerja tak sesuai jurusan atau job-education mismatch dapat memengaruhi upah tenaga kerja menjadi lebih rendah. Ia menunjuk, di antara penyebab masalah ini adalah masa sekolah menengah yang disibukkan dengan ujian alih-alih memikirkan karier masa depan dan tidak adanya layanan konseling karier di sekolah. “We put the cart before the horse,” tulis Andika.
Menghadapi masalah tersebut, sekilas Kurikulum 2022 tak mengubah banyak apa yang sudah digariskan Kurikulum 2013. Dikotomi mapel wajib dan pilihan, misalnya, sudah diatur Kurikulum 2013 dengan membagi mapel wajib, peminatan, dan lintas minat. Praktik membebaskan siswa memilih mapel favoritnya pun sudah tersedia saat ini, bahkan sejak kelas X. Dan justru di situ muncul masalah baru.
“Ini khitahnya anak itu disuruh milih, tapi akhirnya yg terjadi adalah sekolah memilihkan mapel Lintas Minat sesuai kebutuhan guru, biar jam kerja guru bersangkutan memenuhi kuota 24 jam. Karena kalau enggak 24 jam, enggak dapat sertifikasi,” kata R, guru SMA di Jawa Tengah, kepada VICE.
Menurut pengalaman R, siswa juga masih bingung jika disuruh memilih. Praktiknya kemudian menjadi: penjurusan terjadi sejak kelas X, ditentukan sekolah berdasarkan nilai rapor SMP. “Lah, keobjektifan nilai rapor ini siapa yang mau tanggung?” kata R.