Berita  

Curhatan Para Pegawai yang Dipaksa Atasannya Masuk Kantor Saat PPKM Darurat

curhatan-para-pegawai-yang-dipaksa-atasannya-masuk-kantor-saat-ppkm-darurat

Kalau kemarin VICE sudah membahas pejabat bandel semasa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, kali ini giliran para pengusaha dan pejabat kementerian/lembaga yang patut disorot. Dengan berbagai alasan, masih banyak kantor menerapkan work from office (WFO), alias mewajibkan pegawai masuk, meski bukan termasuk sektor esensial dan kritikal.

Seharusnya, menurut aturan PPKM Darurat, perusahaan dan instansi di luar sektor esensial wajib menerapkan 100 persen work from home (WFH). VICE mengumpulkan beberapa karyawan yang disuruh bertaruh nyawa, sekaligus mencari tahu kira-kira apa alasan atasan mereka.


Tita*, karyawan perusahaan sektor investasi, adalah salah satunya. Sejak awal pandemi Covid-19, Tita menyebut kantornya sama sekali tidak merespons aturan pemerintah untuk membatasi kapasitas kantor.

“Perasaan gue khawatir. Apalagi gue udah kena Covid dua kali dan tracing-nya memang dari aktivitas gue di kantor pas meeting sama orang yang infected. Gue ngerasa bersalah bertubi-tubi karena bikin kluster keluarga. Anak gue masih batita pun kena dua kali. Gelisah banget dan ngerasa bersalah,” ujar perempuan 27 tahun tersebut kepada VICE.

Tita mengaku koleganya sudah banyak yang protes dan mengajukan sistem mitigasi ke atasan, tapi perusahaan tetap meminta karyawan masuk, masuk, dan masuk, “Satu-satunya momen kantor kapasitas 40-50 persen itu ya sekarang. Bukan karena ikutin PPKM, tapi karena most of us antara udah terinfeksi atau udah kena kontak erat. Ironis kan?”

Kalau ada sisi positif, ia mengapresiasi langkah perusahaannya gercep memfasilitasi 3T (test, tracing, treatment) dan vaksinasi. Meski begitu, Tita tetap resah melihat perusahaan tidak mengambil langkah pencegahan. “Kayak, tolong dong pikirin efek jangka panjangnya. Ini badan, badan gue. Organ, organ gue. Riset belum cukup juga buat ngukur seberapa jauh Covid berdampak ke seseorang. Tapi, sesebel-sebelnya kita, ujungnya bakal dijawab, ‘Enggak suka? Ya udah, resign aja’,” keluh Tita.

Situasi membingungkan juga dialami Rachma*, aparatur sipil negara (ASN) berusia 26 tahun yang bekerja di satu kantor pemerintahan di Jakarta. Meski lembaga tempatnya bekerja tidak termasuk sektor esensial dan kritikal, ia dan koleganya tetap dipaksa masuk.

“Sedih dan takut, karena keluarga dan lingkaran terdekat banyak yang positif, sampai ada yang meninggal karena masuk IGD aja enggak bisa. Kesel juga sama kantor karena ternyata ada salah satu pejabat kena Covid-19, eh bisa dapat ICU,” kata Rachma kepada VICE.

Saat ditanya alasan kantornya mengabaikan aturan WFH, Rachma malah kebingungan. “Sumpah, enggak tahu apa alasannya. Kurang tahu karena kantor ini kurang transparan. Tapi, denger-denger sih di antara para pejabat sendiri enggak sepakat, ada yang mau seratus persen WFH, ada yang enggak setuju entah apa alasannya.”

Saat ini, Rachma mencatat sudah ada lebih dari 100 pegawai di lembaganya positif Covid-19 setelah diadakan tes usap antigen massal di kantor. “Sampai detik ini masih terus bertambah.”

Tidak semua lembaga dan perusahaan cuek dan asal terabas aturan PPKM Darurat, ada juga yang “main cantik” dengan mengakali sistem. Mika*, karyawan perusahaan konsultan bisnis di Jakarta Selatan, menceritakan bagaimana kantornya punya cara sendiri untuk tetap menggencarkan WFO selama PPKM Darurat.

“Kebetulan salah satu klien kantorku ada yang di sektor esensial, terus kantorku minta lah ke klienku ini untuk dibikinin surat keterangan bahwa kantorku adalah vendor mereka, biar kantorku juga dianggap sebagai esensial. Emang kami vendor sih, tapi [kan] urusannya [cuma] sama HR sebenarnya,” cerita Mika kepada VICE.

Koleganya sempat mempertanyakan kebijakan kantor tersebut, terutama karyawan yang sudah berkeluarga. Namun, perusahaan beralasan bahwa pekerjaan mereka sangat bergantung pada semua data yang tersimpan di server kantor yang tak bisa diakses dari semua tempat. “Alasan sebenarnya sih karena kalau WFH, [karyawan] dikira enggak kerja,” keluh Mika.

PPKM Darurat digencarkan pemerintah untuk merespons lonjakan kasus Covid-19 di berbagai daerah. Kebijakan ini menyasar 122 kabupaten/kota di Pulau Jawa-Bali selama 3-20 Juli 2020. Penopang ekonomi di sektor esensial dan kritikal diperbolehkan WFO dengan kapasitas orang di kantor maksimal 50 persen.

Menurut Panduan Implementasi PPKM Darurat Jawa-Bali yang beredar, sektor esensial meliputi keuangan dan perbankan, pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan non-penanganan karantina Covid-19, dan industri orientasi ekspor. Sementara sektor kritikal adalah energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar seperti listrik dan air, serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari.

Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, perusahaan yang bandel akan langsung dihukum tanpa peringatan.

“Sekarang sanksinya enggak ada peringatan, sekarang langsung sanksi penutupan sementara tiga hari,” ujar Andri dilansir Bisnis, pada Senin (5/7) kemarin. Kalau masih bandel, akan kena denda Rp50 juta dan berlipat ganda mengikuti pelanggaran lanjutan. “Setelah penutupan, sanksi administratif, lalu berjenjang, selanjutnya lagi usulkan ke PTSP [Pelayanan Terpadu Satu Pintu, pusat layanan perizinan] untuk pencabutan izin operasional.”

Di atas kertas, pemerintah dan aparat penegak hukum berbondong-bondong menjamin hak para karyawan untuk melaporkan atasannya yang nakal. Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Syafrizal Z.A. meminta para karyawan yang dipaksa masuk kerja meski tak termasuk esensial dan kritikal agar melapor ke Satgas Penanganan Covid-19.

“Bisa melapor kepada Satgas di daerah. TNI-Polri bagian dari Satgas. Satgas akan bertindak menutup sementara perusahaan tersebut. Apabila masih membandel penutupan akan diperpanjang,” kata Syafrizal kepada Kompas. “Denda [bagi perusahaan yang bandel] termasuk sebagian yang diatur, tetapi besaran denda bukan yang dicari. Yang dicari adalah kepatuhan yang meningkat demi kesehatan dan keselamatan.”

Sementara Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus menjamin polisi akan proaktif menindak laporan karyawan yang dipaksa masuk kantor padahal bergerak di bidang non-esensial.

“Kami sampaikan kepada masyarakat silakan laporkan ke kami. Kami datang ke sana untuk langsung lakukan penutupan. Kami akan sidik dan kerahkan tim operasi yustisi pelanggaran Perda, kami tindak,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus, dilansir dari Liputan6, Senin (5/7) kemarin.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun sudah menggelar sidak ke beberapa kantor dan marah-marah di Instagram pribadinya. Sebab, dia mendapati beberapa perusahaan di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, tetap mewajibkan karyawan masuk kantor. Anies sebelumnya sudah meminta karyawan perusahaan di sektor non-esensial yang dipaksa masuk kantor agar melapor lewat aplikasi Jakarta Kini, alias JAKI.

*Narasumber meminta nama mereka disamarkan agar lebih leluasa membicarakan kebijakan kantornya