Suatu sore di akhir Agustus, saya memutuskan beristirahat sejenak di tengah pendakian menuju puncak Peyre Eyraute, Prancis. Saya berhenti bukan untuk mengagumi indahnya matahari terbenam yang melatarbelakangi pegunungan, tapi karena ada tahi yang menempel di kaki.
Kotoran kecil runcing itu berwarna hitam keunguan. Penasaran, saya mengamatinya selama beberapa saat. Eek itu sepertinya berasal dari hewan karnivora yang habis makan blueberry, tapi saya tidak tahu pasti siapa pelakunya.
Satu hal yang saya sadari selama 10 hari lebih mendaki pegunungan Alpen di Prancis adalah, semakin lama waktu yang saya habiskan di atas gunung, semakin besar pula ketertarikan saya terhadap feses. Perjalanan ini tampaknya melatih saya menjadi pencinta pup sejati.
Di awal pendakian, saya selalu memperhatikan keadaan sekitar untuk memastikan tidak menginjak kotoran. Akan tetapi, setelah menemukan segala macam feses — milik kambing liar, sapi, rubah, anjing, berang-berang dan juga pendaki yang kebelet boker — saya mulai diliputi rasa penasaran, tak kuasa menahan diri untuk tidak membelek kotoran kering dengan tongkat berjalan, berharap bisa mengungkap rahasia di dalamnya.
Saya rupanya tidak sendirian di dunia ini. Pemandu gunung Sébastien Janin sama-sama terpesona dengan segala hal yang ditinggalkan binatang. Dia bekerja di Au Pays des Traces (secara harfiah berarti “Di Tanah Penuh Jejak”), taman rekreasi di jantung pegunungan Pirenia yang mengajak pengunjung belajar ichnology — ilmu menafsirkan jejak dan bekas binatang. Hasil buangan termasuk di dalamnya.
“Saya menyebutnya ‘poo-ology,’” kata Janin. Dia lalu menjelaskan dasar-dasar bidang yang diminatinya ini. “Kita bisa melihat pola makan hewan dari bentuk umum [kotorannya].”
Kotoran hewan herbivora bentuknya bulat-bulat, sedangkan karnivora cenderung mengeluarkan feses yang memanjang dan runcing — biasanya mengandung potongan tulang, rambut atau bulu mangsa. Kotoran hewan omnivora tak jauh berbeda dengan manusia.
Kotoran binatang juga sangat menakjubkan bagi pemandu bernama Corentin Esmieu. “Setiap kali menemukan kotoran serigala yang bentuknya bagus, saya suka menggalinya,” dia mengungkapkan. “Kecuali yang masih baru, soalnya bau banget.”
Sebagai pencinta serigala, Esmieu terus mengagung-agungkan berbagai jenis feses yang pernah ditemukan. “Jika serigala makan domba, kalian akan menemukan jaring wol yang bagus di tahinya. Benar-benar menakjubkan. Saat ini, saya menemukan banyak pup serigala yang dipenuhi blueberry. Mirip pâté [olesan pai atau roti], sangat berbeda dari kotoran yang pernah saya temukan di sini,” ujar lelaki yang menyambi sebagai fotografer. Dia bahkan pernah melihat feses berhiaskan kaki marmut.
Ichnology tak sebatas menjelaskan identifikasi dasar spesies. “Kita bisa memetakan cerita darinya, kita bisa melihat apa yang dimakan dan kapan waktunya hewan makan,” tutur Janin. “Kotoran juga meluruskan kesalahpahaman yang mungkin kita miliki tentang spesies tertentu.”
Dia mengambil contoh tahi beruang yang isinya lebih banyak “kulit semut dan sisa-sisa tanaman” daripada seonggok daging besar yang ada di bayangan kalian.
Janin dan Esmieu merekomendasikan agar kalian lebih banyak menghabiskan waktu di alam bebas jika tertarik menjadi pencinta tinja. Bagi kalian yang mudah jijik tapi tetap penasaran, ada metode non-invasif lain yang melibatkan pengambilan sampel kotoran. Sampel itu bisa digunakan untuk mempelajari perilaku suatu spesies di lingkungannya.
Ahli biologi di Badan Perburuan dan Margasatwa Nasional Prancis menguji sampel kotoran yang dikumpulkan orang-orang seperti mereka berdua. Esmieu mengenang momen saat pakar menganalisis kotoran serigala yang diambil dari Taman Nasional Mercantour yang berbatasan dengan Italia. Ahli biologi menemukan serigalanya berasal dari Oulx, kota kecil di Piedmont, Italia. Hewan itu anggota kawanan terbesar di perbatasan, tapi kemudian berkeliaran dan merantau ke Prancis.
Inilah hal yang paling menarik dari kotoran. Benda menjijikkan itu menyimpan sejarah dan informasi penting tentang cara binatang bertahan hidup di alam bebas. Feses menimbulkan pertanyaan, dan mendorong kita untuk lebih memperhatikan keadaan sekitar. Kalau boleh jujur, jauh lebih baik menginjak kotoran hewan daripada dikejar empunya. Kalian cukup membersihkan eek bau itu.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.