Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.
Curhatan pembaca: Saya sudah tiga tahun lebih naksir cowok yang tidak membalas perasaanku. Saya sadar sudah saatnya merelakan dia, tapi saya selalu baper setiap dia memberi perhatian lebih.
Hubungan kami cukup dekat. Kami sering main bareng dan teleponan hingga berjam-jam. Dia selalu menjadi pusat perhatian di lingkaran pertemanan kami.
Dia tahu kalau saya menyukainya — saya bahkan pernah menembaknya dulu. Dia bilang, hubungan kami mungkin akan berbeda jika dia mengetahuinya lebih awal. Dia sudah punya pacar kala itu. Hanya saja, dia tak bisa komitmen.
Ada kalanya kami sangat menempel bak pacaran. Kami bahkan pernah ciuman ketika mabuk. Akan tetapi, juga ada saat-saat saya menghindarinya karena dia selalu mengelak.
Teman-teman yang dulunya mengatakan kami cocok satu sama lain, sekarang mereka menyuruhku untuk berhenti menuruti segala kemauannya. Saya kira bisa cepat move on dan menemukan orang lain. Tapi nyatanya tidak.
Saya sudah lelah dan frustrasi. Terkadang saya seperti terlalu tergila-gila padanya. Di sisi lain, saya merasa dia sengaja memanfaatkanku. Apa yang harus saya lakukan untuk lepas darinya? Saya sudah dewasa, sudah 25 tahun, tapi susah menerima kenyataan cintaku bertepuk sebelah tangan.
Dalam urusan asmara, tak ada yang lebih pedih selain cinta bertepuk sebelah tangan. Setelah semua perhatian yang kita curahkan, harapan agar gebetan membuka hatinya sirna begitu saja. Untuk segera move on dan melupakan mereka pun bukan perkara gampang. Walau hubungan belum terjalin, kita kadang butuh waktu cukup lama untuk mengusir rasa yang pernah hinggap. Ada saat kita denial dan membayangkan rasanya bisa mendapatkan sang pujaan hati.
Federica Micale dan Giulia Amicone, dua orang terapis yang berspesialisasi dalam masalah percintaan, mengutarakan, otak akan mengaktifkan “mekanisme tak sadar” ketika kita mencintai orang yang tak bisa dimiliki. Ini ada kaitannya dengan ‘efek Zeigarnik’, yang merupakan kecenderungan mengingat hal-hal yang belum terselesaikan dibandingkan dengan yang sudah selesai dikerjakan. “Kita selalu merasakan dorongan untuk menyelesaikan apa yang telah kita mulai. Itulah sebabnya kita sering bertahan dalam hubungan yang kurang memuaskan.”
Mencintai seseorang secara sepihak begitu menyiksa, apalagi jika perasaanmu terhadapnya tak kunjung padam. Kamu lelah menunggu, namun ada suara hati kecil membisikkan untuk bertahan — bahwa suatu saat nanti mereka bisa saja berubah pikiran. “Mengakui kamu sudah capek menunjukkan betapa rapuhnya dirimu. Ini biasanya terjadi pada masa-masa sulit,” para terapis menuturkan. Akan tetapi, ini juga berarti “kamu sadar berada dalam situasi yang tidak ideal, tapi kamu terus berharap lebih”.
Perasaan semacam ini jelas sangat membingungkan, terutama jika gebetan memberi pesan yang campur aduk. Mereka bertingkah seolah-olah juga memiliki perasaan untukmu, tapi kamu tidak memperoleh kepastian darinya. Di satu sisi, kamu muak dipermainkan. Di sisi lain, perhatian yang mereka berikan membuat hatimu senang.
Micale dan Amicone berujar, alangkah baiknya jika kamu mempertanyakan apakah gebetan telah memanfaatkanmu — baik secara sadar maupun tanpa sadar. Cobalah pikirkan, apakah mereka selalu ada untukmu di saat kamu membutuhkan bantuannya, seperti saat kamu selalu ada untuknya? “Gebetan mungkin banyak minta kepadamu, tapi sulit mengembalikan kebaikanmu,” kata terapis melalui email. “Dia mungkin mengharapkan kamu selalu siap melakukan apa pun untuknya.”
Kedua terapis lebih lanjut menduga, alasan gebetan tak kunjung memberi kepastian yaitu mereka cuma menginginkan perhatianmu. Dalam kasusmu, gebetan senang menjadi pusat perhatian. Kamu sudah menyatakan perasaan, tapi dia tidak menolak dengan tegas.
Kita biasanya dibutakan oleh perasaan saat sedang jatuh cinta, dan mengesampingkan “red flag” atau perilaku gebetan yang patut dipertanyakan. Kamu terlena dengan hal-hal sepele yang mereka lakukan, seperti menyukai postingan Instagram atau mengajak ketemuan. Kamu menjadikannya sebagai bukti bahwa gebetan menaruh perasaan lebih untukmu, meski kenyataannya tidak seperti itu.
Micale dan Amicone menganjurkan untuk melihat sikap gebetan dari perspektif lain. Dengan begini, kamu akan tersadar kalau selama ini, “kamu bergantung pada situasi yang tidak menguntungkan”. Setelah itu, kamu bisa “memberi waktu untuk dirimu sendiri” dan tak langsung menuruti semua permintaan gebetan. Kamu akan terkejut dengan perubahan yang terjadi jika kamu mengubah pola pikir.
Apabila kamu tidak segera mendapat pengganti, mungkin memang belum waktunya bagimu menemukan orang yang benar-benar kamu sukai. Namun, kamu juga perlu merenungkan apakah selama ini kamu tidak menggubris orang yang berusaha mendekatimu. Faktanya, terlalu lama menunggu bisa membuat seseorang mudah minder. Akibatnya, kita malah meragukan diri sendiri ketika ada orang yang menunjukkan ketertarikan dan menghargai kita apa adanya. Kita akhirnya terjebak di zona nyaman.
Menurut saran terapis, kamu bisa menjadikan pengalaman ini untuk mencari sesuatu yang lebih konkret. “Jauh lebih baik jika kamu fokus dengan minatmu sendiri dan membagikannya dengan orang-orang terdekat, seperti teman dan sahabat,” tutur Micale dan Amicone.
Kamu juga perlu meningkatkan rasa percaya diri supaya tidak gampang baper. Kamu bisa meminta bantuan profesional jika dibutuhkan. “Hati akan terasa lebih bebas dan lega setelah kamu berhasil melepaskan diri secara bertahap,” imbuhnya.
Dan yang terpenting, janganlah kamu menyalahkan diri sendiri hanya karena tidak bisa cepat sadar diri di usia yang terlampau sudah dewasa. “Dalam urusan hidup dan percintaan, tak ada aturan mana yang sebaiknya diikuti,” ujar terapis. “Ini bukan soal usia, melainkan kedewasaan emosional dan fase yang kamu lalui. Setiap orang punya pengalamannya masing-masing, dan akan tersadar ketika waktunya sudah tepat.”
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Italy.