Sebuah dokumenter produksi Netflix Tinder Swindler yang bercerita tentang penipuan yang dilakukan oleh laki-laki bernama Simon Leviev melalui aplikasi kencan Tinder sempat viral beberapa waktu lalu. Diprediksi, kerugian dari penipuan yang dilakukan sosok Simon Leviev ini mencapai US$10 juta.
Kasus serupa juga terjadi di Indonesia. Julukan Tinder Swindler Indonesia+ diberikan kepada James Daniel Sinaga yang diduga menipu hingga puluhan juta rupiah. Dua kasus ini sebenarnya potret fenomena kasus yang berawal dari hubungan melalui dunia maya yang ternyata berujung pada penipuan.
Mengapa romance scam?
Tujuan penipuan romance scam tak jauh dari materi kepunyaan korban: uang, barang, bahkan identitas pribadi. Para penipu akan berpura-pura menjadi pasangan prospektif di media sosial atau aplikasi kencan lalu memainkan emosi korban guna memanipulasi pikiran dan membuatnya mendapatkan apapun yang mereka minta.
Praktik penipu memanfaatkan celah psikologis korban. Literatur menunjukkan bahwa para korban romance scam ini memiliki ciri karakter serupa, yaitu perasaan kesepian. Sementara, pelaku berusaha masuk untuk memenuhi perasaan sepi dengan cinta dan perhatian yang pamrih karena mereka meminta imbalan berupa materi biasanya.
Monica T. Whitty, peneliti sekaligus profesor dalam bidang cybersecurity di University of New South Wales, Canberra, Australia, menyebutkan karakter lain yang teridentifikasi pada korban romance scam, yaitu pribadi yang cenderung impulsif . Korban dengan impulsivitas tinggi lebih mudah untuk segera memenuhi permintaan para penipu. Aspek impulsivitas mencakup dua hal yang menjelaskan mengapa seseorang menjadi korban romance scam adalah karakter yang suka mencari perhatian dan pecandu.
Para pelaku romance scam seringnya menggunakan cerita yang heboh, rumit, dan fantastis. Metode ini ternyata berhasil pada orang dengan karakter yang mencari perhatian.
Karakter pecandu menjelaskan mengapa para korban cenderung sulit meninggalkan para pelaku romance scam, bahkan ketika sudah diberi tahu oleh penegak hukum.
Pada studi yang sama, jika melihat dari sisi identitas korban, pola yang terlihat adalah para korban biasanya berusia paruh baya. Alasan yang dapat menjelaskan adalah para korban pada usia ini memiliki lebih banyak pendapatan, selain itu mereka juga cenderung mencari pasangan melalui situs kencan. Dalam konteks Indonesia, kasus ini pernah terjadi pada 2017 silam dan membidik emak-emak berusia 35 tahun ke atas.
Jangan terburu menghakimi korban. Para penipu ini dapat berkomitmen dalam jangka panjang. Kasus Exposto, seorang nenek dari Australia korban kasus romance scammer, menunjukkan bahwa pelaku adalah sosok yang tidak segan ‘berinvestasi’ pada waktu demi mendapatkan kepercayaan korbannya. Hal ini memberi ilusi bahwa korban sungguh-sungguh berelasi dengan sosok nyata dan dapat dipercaya.
Proses romance scam
Proses penipuan berbasis hubungan romantis melalui beberapa fase: (1) pelaku membuat profil yang menarik perhatian korban; (2) pelaku meyakinkan korban supaya korban tidak merasa keberatan jika harus mengirimkan uang; (3) pelaku mulai meminta dana dari korban (dengan empat kemungkinan lintasan); (4) beberapa pelaku melakukan pelecehan seksual, dan; (5) pengungkapan jati diri bahwa pelaku adalah seorang penipu.
Kita juga perlu waspada bahwa penipuan berbasis hubungan romantis ini tidak terjadi melalui aplikasi kencan saja.
Berbagai media sosial dapat menjadi sarana yang potensial bagi penipu. Mereka akan membuat profil dan mencari korbannya tersebar dari media sosial seperti Facebook, Instagram, bahkan yang dianggap sebagai media sosial profesional seperti LinkedIn.
Pelaku juga tidak segan menggunakan foto orang lain yang dinilai berpotensi menarik perhatian calon korban.
Konten yang disampaikan oleh penipu atau pelaku romance scam ini juga perlu menjadi perhatian.
Pesan-pesan mereka kepada korban dalam romance scam ini cenderung memiliki kekuatan atau kendali besar, yang sifatnya memanipulasi pikiran korban tentang siapa diri mereka.
Selain itu, para pelaku scammer tidak akan malu untuk terus bersikap pamer . Ditambah, para penerima pesan atau para korban biasanya memiliki karakteristik orang yang kesepian sehingga mereka lebih mudah termakan pesan-pesan dari para romance scammers.
Bagaimana hukum di Indonesia mengatur ini
Berkaitan dengan penegakan hukum, kasus romance scam masuk dalam kategori bentuk Kekerasan Seksual. Dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sri Wiyanti Edyyono, menyebutkan bahwa love scam bukan fenomena baru dan banyak terjadi. Sayangnya, jarang yang melaporkan kasus ini.
Wiyanti melanjutkan bahwa alasan jarangnya laporan kasus ini adalah ketakutan (dari sisi korban) akan dijadikan bahan bercanda, kekhawatiran disalahkan, dan adanya perasaan malu. Ketakutan ini juga muncul ketika kasus ini tidak dianggap serius saat dilaporkan ke penegak hukum kecuali kasus ini berhasil mendapatkan sorotan publik.
Jika melihat data pemerintah pun, jenis kasus penipuan yang terdata didominasi oleh penipuan berbasis transaksi online. Lalu diikuti oleh kasus penipuan terkait narkotika dan obat terlarang, pemerasan, pencucian uang dan korupsi, investasi online fiktif, prostitusi online, terorisme dan radikalisme, dan kejahatan lainnya. Padahal, kasus penipuan berbasis hubungan romantis ini mudah sekali kita temukan di internet.
Dukungan hukum untuk menangani masalah romance scam juga dianggap belum konsisten, pengawasan terhadap kasus yang tidak berkelanjutan, serta permasalahan mengenai keamanan data. Akibatnya, penanganan terhadap masalah ini menjadi tidak bisa menyeluruh dan menembus akar permasalahan.
Dhalia Ndaru Herlusiatri Rahayu adalah Research Associate di Universitas Gadjah Mada
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.