Baru-baru ini, Rodolfo Hernández, developer real estat yang mencalonkan diri sebagai presiden Kolombia, mengeluarkan pernyataan mencengangkan. Dia mengusulkan program bagi-bagi narkoba gratis guna mengakhiri kekerasan yang dipicu perdagangan narkoba.
“Jika kita memberi narkoba gratis kepada orang yang ketergantungan, baik itu melalui infus, embusan maupun oral, maka permintaannya akan berakhir. Tak ada lagi yang membeli obat-obatan terlarang,” tukas Hernández, yang kerap disamakan dengan Donald Trump, di depan kerumunan pekan lalu. “Penjualan, serta masalah terkait narkoba, akan berakhir kalau tidak ada yang beli.”
Kolombia bersiap menggelar pemilihan presiden putaran kedua pada 19 Juni mendatang. Pasalnya, tak ada satu pun kandidat yang memperoleh suara 50 persen dalam pemilu awal yang digelar 29 Mei lalu.
Hernández akan bersaing melawan Gustavo Petro, mantan gerilyawan dan pendiri Gerakan 19 April ‘M-19’ di era 1970-an. Petro akan menjadi presiden kiri pertama di Kolombia jika menang.
Pemberantasan peredaran narkoba menjadi isu utama yang diangkat kedua calon presiden. Petro sendiri menegaskan, perang narkoba di Kolombia harus diakhiri “tanpa menggunakan kekerasan”.
“Perang narkoba diakhiri dengan kapitalisme, bukan dengan lebih banyak kekerasan,” ujarnya.
Dia lalu berjanji akan mengekspor ganja ke Amerika Serikat dan Eropa jika terpilih menjadi presiden. Sejak mariyuana medis dilegalkan pada 2016, ekspor ganja sering disuarakan selama masa kampanye.
Sebagian besar pemilih Kolombia kurang puas dengan janji-janji kedua kandidat, sedangkan para pengamat skeptis terhadap proposal mereka seputar pemberantasan narkoba.
“Ada persepsi luas bahwa perang narkoba telah gagal,” Jeremy McDermott selaku co-founder InSight Crime, wadah pemikir yang mendalami kejahatan terorganisir di Amerika, memberi tahu VICE World News.
“Sudah lebih dari 20 tahun sejak Plan Colombia (bantuan militer AS untuk memerangi kartel narkoba) diluncurkan, tapi semakin banyak kokain yang diekspor dari Kolombia,” lanjutnya.
Sebagai penyedia kokain terbesar di dunia, negara itu dikuasai sindikat pengedar narkoba. Kesepakatan damai antara pemerintah dan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) enam tahun lalu terbukti gagal meningkatkan keamanan di sana. Negara itu masih bergulat dengan kelompok bersenjata, yang menurut statistik resmi, mengakibatkan Kolombia mengalami tingkat pembunuhan tertinggi dalam tujuh tahun pada 2021.
Clan del Golfo dulunya merupakan kelompok gerilya, tapi kini bertransformasi menjadi kartel narkoba terbesar di Kolombia. Mereka mendeklarasikan “paro armado”—serangan bersenjata—dan pemberlakuan jam malam mulai pukul 7 di sebagian wilayah bulan lalu. Mereka memblokir akses jalan utama sebagai pembalasan keputusan ekstradisi bos kartel Dario Antonio Úsuga alias “Otoniel” ke AS.
Otoniel menjadi buronan paling dicari Kolombia. Bahkan AS menjanjikan hadiah $5 juta (Rp74 miliar) bagi siapa saja yang berhasil menangkapnya.
“Untuk bisa mengakhiri perdagangan narkoba, kita seharusnya mengalihkan fokus dari mata rantai terlemah dalam pengedaran kokain ke korupsi di negara bagian dan broker internasional yang memfasilitasi bisnis ini,” terang McDermott.