Rubrik ‘Ask VICE’ diperuntukkan bagi para pembaca yang membutuhkan saran VICE untuk menyelesaikan masalah hidup, dari mengatasi cinta yang bertepuk sebelah tangan hingga menghadapi teman kos yang rese.
Curhatan pembaca: Selama ini, saya melihat diriku sebagai sosok yang suportif dan siap membantu kapan saja. Alasannya mungkin karena saya sulit mengatakan ‘tidak’, tapi saya pribadi merasa bukan orang yang seperti itu.
Suatu hari, saya membaca twit yang mengatakan, orang biasanya akan dianggap menyebalkan jika mereka tak lagi memprioritaskan orang lain. Saya pun jadi terpikir, apakah selama ini saya termasuk “people-pleaser”? Apakah sebenarnya saya takut mengecewakan orang lain, dan khawatir orang tidak akan suka denganku jika saya tidak tersedia setiap saat?
Saya jadi memikirkan saat-saat saya tidak menjadi diri sendiri saat berinteraksi dengan orang lain, atau meminta maaf untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya denganku karena tidak mau cari masalah. Namun, hal yang paling mengganggu pikiran adalah sikapku dengan mantan. Saya sadar kami sudah tidak cocok, tapi saya tidak enak mengakhiri hubungannya duluan karena takut terkesan mengasingkan mantan.
Sekarang saya sudah punya pacar baru, tapi saya khawatir akan memusingkan yang tidak-tidak. Apakah situasi ini akan terulang? Bagaimana caranya membedakan kebaikan dan kebiasaan menyenangkan orang lain? Apa yang bisa kulakukan agar tak lagi memikirkan pendapat orang lain tentang diriku?
Manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan masukan dan pengakuan dari orang lain. Setiap orang juga punya caranya sendiri dalam berinteraksi.
“‘People-pleaser’ selalu berusaha menyenangkan orang lain dalam situasi apa pun,” terang Gianluca Franciosi, psikoterapis yang fokus menangani masalah hubungan. Namun, terkadang kita sulit membedakan mana tindakan yang murni untuk kebaikan, dan mana yang dilakukan untuk menyenangkan orang lain.
Franciosi menekankan perbedaannya ada pada konteks, seberapa sering sikap itu muncul dan kesadaran kita saat melakukan sesuatu untuk orang lain. Contohnya, apakah kamu selalu menyanggupi permintaan semua orang? Adakah saat-saat kamu bisa dengan mudahnya mengatakan tidak?
Hampir semua orang pasti akan menyesuaikan diri saat berinteraksi dengan orang lain, tergantung hubungan mereka dengan orang yang diajak bicara dan tujuan obrolannya. Misalkan kamu ngobrol dengan rekan kerja baru — kamu bersikap ramah atau menanggapi mereka dengan baik karena alasan tertentu, seperti naik jabatan atau sebatas menjaga hubungan baik. “Ini biasa disebut adaptasi fungsional,” kata Franciosi.
Berbeda halnya dengan kecenderungan menyenangkan orang lain. Menurut sang psikoterapis, proses adaptasi ini terjadi pada tingkatan yang lebih besar sampai-sampai seseorang “menekan keinginan, kebutuhan dan nilai-nilai pribadi” untuk mempertahankan hubungan. Dalam kasus ini, harapan dapat diterima orang lain mengalahkan segalanya.
Franciosi menambahkan kebiasaan ini lama-lama akan menjadi kontraproduktif, sebagian besar karena people-pleaser tidak dapat mengekspresikan diri seutuhnya. Ironisnya, kebiasaan memprioritaskan keinginan orang lain dapat menjadikanmu sosok yang mudah tegang karena kamu merasa tidak bebas. Kamu tidak dapat bersikap spontan dan menunjukkan siapa dirimu sesungguhnya. Selain itu, menurut Franciosi, “orang akan kebingungan kamu sebenarnya orang yang seperti apa” karena seperti tidak ada pendirian.
Franciosi menegaskan keinginan untuk lebih memedulikan diri sendiri bukanlah tindakan egois, justru hal itu dapat membantumu “meningkatkan kepuasan pribadi dengan hubungan apa pun”.
“Rasa tidak puas yang berkepanjangan bisa membuatmu stres, serta mengalami breakdown dan gejala-gejala fisik,” tuturnya. Apabila hubungan percintaan tidak berjalan mulus, pasangan bisa saja memanfaatkan kelemahanmu ini.
Franciosi mengakui tidak ada cara yang mudah untuk mengusir segala ketakutan ini. Akan tetapi, kamu bisa mulai mempertimbangkan alasanmu menyanggupi permintaan orang lain. Apakah karena mereka telah meyakinkanmu itu hal yang bagus untukmu, atau kamu hanya ingin mereka menyukaimu? Setelah itu, belajar untuk lebih tegas dalam berkomunikasi. Walaupun sulit dipraktikkan, kecil kemungkinannya situasimu akan terulang begitu kamu memperjelas posisimu.
Kamu juga perlu memikirkan kembali sikapmu saat berhadapan dengan suatu masalah. Meski menakutkan, terkadang kita “butuh konflik untuk bisa merasakan jadi manusia seutuhnya yang teguh pada pendirian,” Franciosi menjelaskan. Faktanya, orang-orang lebih menyukai dan menghargai mereka yang memahami kebutuhan dan batasan pribadi.
Menjalin asmara dengan orang baru bisa menjadi permulaan yang bagus. Berhubung mereka belum terlalu mengenalmu, kamu mungkin akan lebih percaya diri untuk bersikap tegas ketika menghadapi situasi tertentu, dibandingkan saat berhadapan dengan orang yang sudah kenal dekat. Selain itu, penting juga bagimu untuk mengubah pola pikir. Ingatlah, orang tidak akan marah hanya karena kamu menolak permintaan mereka. Jika ternyata mereka malah menjauhimu, itu artinya ada yang salah dengan mereka.