JAKARTA – Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) untuk memperpanjang masa tugas 5 anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Periode 2017 -2022 hingga 3 bulan ke depan.
Rumah Demokrasi menilai kehadiran Keppres No. 63/P Tahun 2022 yang ditandatangani Presiden pada tanggal 8 Juni 2022 sebagai bentuk kepastian hukum.
Pertimbangan Keppres yang digunakan adalah Pasal 155 ayat (4) huruf c dan ayat 5 tentang usulan 5 anggota DKPP yang 2 orang berasal dari Pemerintah dan 3 orang usulan dari DPR RI.
Sikap untuk berhati-hati memilih calon anggota lembaga etik penyelenggaraan Pemilu yang ideal haruslah diapresiasi.
“Tabungan ‘dosa’ calon anggota DKPP harus dibuka. Sebab mereka tidak boleh tersandera oleh pihak tertentu akibat dosa masa lalu. Jika dosa masa lalu mereka terbuka dengan jelas dan tetap dipilih jadi anggota DKPP, berarti tekanan terhadap dosa masa lalu mereka bisa berkurang. Dosa masa lalu yang tidak terekspose bisa menjadi senjata mematikan buat anggota DKPP pada suatu saat nanti,” jelas Pimpin Rumah Demokrasi Ramdansyah, Senin (13/6/2022).
Ramdansyah menambahkan, kehati-hatian untuk tidak memilih mereka yang tidak pernah terkena sanksi dari lembaga ini adalah sebuah prioritas.
“Integritas harus dikedepankan sebelum kapasitas dan kapabilitas calon. DPR RI dan Pemerintah harus memastikan bahwa mereka yang tidak pernah kena sanksi DKPP dan kasus hukum, sehingga menjalani pidana penjara. Bagaimana seorang penjaga etika yang akan dipilih adalah orang-orang yang pernah melanggar etika dan pernah diberikan sanksi oleh lembaga yang akan dipimpinnya?,” beber Ramdansyah.
Rumah Demokrasi melihat anggota periode DKPP awal yang dipimpin oleh Prof Dr. Jimly Asshiddiqie cukup berintegritas, karena pengetahuan luas dari Ketua dan Anggota DKPP.
Sayangnya, lembaga ini berubah menjadi superbody. Rumah Demokrasi melihat fenomena DKPP karena Undang-Undang No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu membuat frasa multi interpretasi bahwa “putusan DKPP bersifat final dan mengikat”.
“Frasa ini menjadikan DKPP serasa “saudara kembar”dari Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal, MK adalah lembaga peradilan yang memiliki kewenangan atribusi yang diberikan oleh UUD 1945 (Pasal 24C ayat 1),” terang Ramdansyah.
MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945 dan DKPP ingin seperti MK. Padahal DKPP tidak masuk dalam lembaga kekuasaan kehakiman manapun.
Sebagai contoh, Pilkada Kota Tangerang pernah diintervensi oleh DKPP di tahun 2013. DKPP mengalahkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Provinsi Banten.
DKPP melakukan pemulihan hak konstitusional salah satu pasangan calon. Padahal, Majelis Hakim PTUN Serang tengah memeriksa, mengadilan dan memutus perkara No. 23/G/2013/PTUN-SRG,”
Contoh lain terkait tahapan Pemilu 2014. Putusan DKPP Nomor : 23-25/DKPPPKE-I/2012 yang memutuskan agar KPU mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual untuk Pemilu 2014 menunjukan lembaga ini sebagai superbody.
“Nantinya, DKPP bisa saja menghidupkan kewenangan untuk mengintervensi tahapan Pemilu yang sudah ditetapkan oleh KPU RI untuk Pemilu 2024,” jelas Ramdansyah.
Rumah Demokrasi menganggap bahwa DKPP bisa saja menjadi “superbody” kembali, meskipun langkah ini terhenti dengan Putusan (MK) Nomor 31/PUU-XI/2013 yang diuji oleh Ramdansyah dari Rumah Demokrasi.
Putusan MK membatalkan Pasal 112 ayat 12 UU No. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan putusan MK tersebut, maka rekomendasi final dari DKPP yang bersifat final dan mengikat, tidak dapat memaksa lembaga penyelenggara kekuasaan negara lain, selain penyelenggara Pemilu dan Presiden.
Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013 diperkuat kembali dengan Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 yang diuji kembali oleh mantan Ketua KPU Arief Budiman dan anggota KPU Evi Novida Ginting Manik tanggal 29 Maret 2022 lalu.
Rumah Demokrasi mengharapkan calon anggota DKPP yang memiliki integritas setelah Keppres No. 63/P Tahun 2022 berakhir 3 bulan kedepan.
“Perpanjangan masa tugas memberikan berkah kepada DPR RI dan Pemerintah untuk mencari figur yang sesuai sebagai penjaga etika Pemilu yang bersih,” ujar Ramdansyah.
Perlu ditelusuri rekam jejak apakah calon-calon tersebut pernah terkena sanksi DKPP atau lembaga hukum lainnya. Harapan lainnya adalah Presiden RI dan DPR RI dapat mengusulkan mereka yang dapat menjaga marwah sebagai lembaga etika yang tidak melampaui kewenangannya.
“Rumah Demokrasi berharap tidak perlu lagi Keppres untuk perpanjangan masa tugas, tetapi terpilih anggota DKPP 2022-2027 sebelum tengat Keppres No. 63/P/2022. Terpilihnya anggota DKPP periode selanjutnya tentunya dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap Pemilu 2024,” pungkasnya