Seorang buruh migran Indonesia bernama Adewinda dinyatakan bebas dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Perempuan berusia 43 tahun asal Cianjur itu dituding membunuh anak mantan majikannya pada 2019 lalu.
Berdasarkan keterangan pers yang diterima VICE pada Senin (24/5), Adewinda awalnya hendak dijatuhi qisas, yang berarti hukuman setimpal dengan perbuatan yang dituduhkan. Namun, persidangan pada Maret lalu menghasilkan keputusan lain.
“Adewinda dinyatakan lepas dari hukuman mati setelah orang tua korban sebagai pemilik hak qisas secara sukarela dan tanpa syarat apa pun menyatakan ‘tanazul’ (pembatalan tuntutan hukuman mati) pada sidang lanjutan yang berlangsung Maret 2021 di Pengadilan Pidana Riyadh,” kata Duta Besar Indonesia di Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel.
Pembatalan itu membuat Adewinda hanya perlu menjalani kurungan penjara selama lima tahun dipotong dua tahun. Begitu putusan ini disahkan oleh Pengadilan Kasasi setempat, maka tinggal tersisa masa hukuman satu tahun penjara yang harus dilaluinya.
Kepolisian Distrik Aziziah di ibu kota Arab Saudi menangkap Adewinda pada 3 Juni 2019. Dia dituding membunuh anak majikannya yang saat itu berusia 15 tahun dan mengalami keterbelakangan mental. Orang tua korban menyebut Adewinda memukul kepala anak tersebut berulang kali sampai meninggal dunia.
Dari proses persidangan juga terungkap bahwa si majikan mengurung Adewinda selama lima tahun bersama anak tersebut di dalam satu ruangan. Akibatnya, dia mengalami depresi. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Arab Saudi menilai ini merupakan poin penting dalam pembelaan yang berpotensi meloloskannya dari jerat hukuman mati. Apalagi pengadilan telah memutuskan dia terbukti bersalah.
KBRI Riyadh menyebut pihaknya aktif melakukan pendampingan terhadap Adewinda dan menjalankan pendekatan persuasif kepada orang tua korban. Salah satunya adalah dengan meyakinkan bahwa peristiwa tersebut berkaitan dengan kesalahan mereka yang mengurung Adewinda dan korban tanpa memberikan akses ke luar sama sekali.
Selama proses persidangan, KBRI Riyadh berkeras tidak membayar jasa pengacara karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk itu. Alasan lain adalah keyakinan bahwa orang tua korban sebenarnya juga turut bersalah dalam kasus ini sehingga mereka dipercaya akan membatalkan tuntutan hukuman mati.
Dalam lima tahun terakhir, KBRI di Riyadh mencatat setidaknya ada 10 pekerja migran Indonesia yang bebas dari ancaman hukuman mati. Mereka didakwa bersalah dalam kasus beragam, mulai dari pembunuhan hingga sihir.
Contohnya adalah seorang warga Kalimantan Barat bernama Jama’ah yang pada 2010 lalu ditangkap karena dituduh melakukan sihir terhadap anak majikannya. Pada 2018, pengadilan menolak permintaan orang tua yang menuntut Jama’ah dengan hukuman mati. Dia akhirnya dinyatakan bebas.
Contoh lainnya adalah Eti Toyib Anwar yang menjalani kurungan penjara sejak 2002 usai dinyatakan bersalah telah meracuni majikannya. Awalnya, Eti dituntut hukuman mati oleh ahli waris korban. Jika ingin bebas, maka ia harus membayar diyat (uang tebusan) sebesar Rp107 miliar.
Pemerintah berupaya menawar dan kedua pihak akhirnya sepakat jumlah yang perlu dibayarkan adalah Rp15,2 miliar. Uang itu berhasil terkumpul karena bantuan dari banyak pihak di dalam negeri. Pada 2020, perempuan asal Majalengka itu pun kembali ke Tanah Air.
Memang tak sedikit pekerja migran Indonesia yang terancam hukuman mati di Arab Saudi. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri pada 2018 lalu, ada 103 orang WNI yang dituntut mati di Kerajaan Saudi, tetapi 85 diantaranya berhasil dibebaskan dengan berbagai upaya.
Meski kontroversial, bahkan sempat dilakukan moratorium pengiriman buruh migran lantaran seringnya terjadi kasus eksekusi mati WNI, Negeri Petro Dollar tersebut tetap menjadi salah satu yang paling banyak menjadi tujuan para WNI yang ingin bekerja di luar negeri. Catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperlihatkan Arab Saudi pada Februari 2021 masuk dalam lima besar negara penempatan buruh migran. Dari segi pendidikan, sebagian besar pekerja adalah perempuan lulusan SD hingga SMA dan bekerja di sektor informal.