Berita  

Bukannya Jadi Bermental Baja, Didikan Keras Ortu Justru Merusak Mental Anak

bukannya-jadi-bermental-baja,-didikan-keras-ortu-justru-merusak-mental-anak

Sewaktu masih muda dulu, saya punya teman yang harus selalu mengikuti kemauan orang tua. Dari gaya berpakaian sampai makanan, semua telah diatur ayah ibunya. Dia akan dikurung di gudang yang gelap jika ketahuan melawan perintah mereka.

Hukuman semacam ini dinilai kejam dalam budaya Barat, tapi sudah menjadi hal yang normal di Asia. Bagi para orang tua, ini cara terbaik mendidik anak agar mereka lebih penurut dan disiplin. Banyak dari mereka percaya pola asuh yang berfokus pada prestasi akan menghasilkan generasi berkualitas dan kuat mental.


“Selama berkarier sebagai terapis yang menangani trauma, saya sering bertemu klien yang mendapat didikan keras dari orang tuanya. Mereka cenderung memiliki keyakinan yang terdistorsi, mudah cemas, atau sangat kritis terhadap dirinya sendiri,” terang psikolog dan ahli trauma Seema Hingorrany saat dihubungi VICE. Menurutnya, pola asuh orang tua dapat memengaruhi cara anak memandang dunia.

“Orang tua mengira mereka telah melakukan yang terbaik dalam menerapkan disiplin pada anak, tapi seringnya ini malah membuat anak dewasa sebelum waktunya. Bukannya menemukan minat mereka sendiri, anak justru melakukan hal-hal yang mereka tahu akan menyenangkan hati orang tua. Mereka terlalu serius menjalani hidup, selalu meragukan diri sendiri, hingga mudah mengalami burnout dan sindrom kelelahan kronis.”

Seperti apa rasanya dibesarkan di keluarga yang penuh kekangan dan larangan? Bagaimana sikap orang tua membentuk kepribadian mereka saat dewasa? Berikut pengakuan empat anak muda yang dituntut menjadi sempurna oleh ayah ibu mereka.

“Saya meminjam ponsel teman dan menyembunyikannya di pembalut.”

Ayah saya masih konservatif. Ayah tidak pernah mengizinkanku main ke rumah teman atau mengikuti study tour. Saya bahkan tidak dikasih uang jajan, dan harus punya alasan bagus kalau ingin membeli sesuatu. Ayah juga tidak memperbolehkan saya punya ponsel sendiri, padahal teman-temanku di kelas sembilan sudah pegang HP. Akses internet pun dibatasi untuk keperluan belajar saja.

Saya jadi suka bohong karena tidak ada gunanya berkata jujur kepada ayah. Saya ingat pernah memohon untuk dipinjamkan ponsel oleh teman di kelas 11. Alasannya supaya saya bisa ngobrol dengan pacar, yang tentunya ayah tidak tahu soal ini. Saya menyembunyikan HP-nya di pembalut biar tidak ketahuan ayah. Saya pura-pura ke kamar mandi untuk menelepon pacar. Kalau ayah mendengar suaraku, saya akan beralasan sedang berbicara sendiri.

Saya mulai merokok dan minum-minum di usia yang masih sangat muda sebagai bentuk pemberontakan. Saya sering bolos sekolah untuk main ke taman hiburan atau minum-minum.

Saya akhirnya bisa hidup bebas setelah kuliah dan tidak tinggal serumah dengan ayah. Tapi kebebasan ini membuatku gampang lepas kendali. Saya mulai melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri, baik secara fisik maupun mental. Saya bahkan pacaran dengan lelaki yang memperlakukanku buruk.

Cara ayah membesarkan saya benar-benar memengaruhi diriku secara psikologis. Saya sering kelepasan ketika tidak ada yang mengawasi, dan suka berbohong untuk hal-hal yang sebenarnya kurang penting. Saya juga mengalami gangguan kecemasan sosial karena tidak pernah boleh main semasa kecil. Sekarang saya berusaha mengatasinya, tapi hubunganku dengan ayah menjadi rumit karenanya. Saya tetap tidak nyaman bercerita kepada ayah. – Debadhrita, 23 tahun, pelajar

“Saya pura-pura ada rapat dadakan, padahal aslinya mau pergi kencan.”

Keluarga saya sangat konservatif, dan mereka melarang saya berteman dengan laki-laki. Bahkan sekarang pun, saya tidak boleh pulang malam-malam. Ayah ibu akan mengamuk dan menghujaniku dengan celaan kalau saya membalas omongan mereka atau minta izin keluar rumah. Karena itulah saya mencari cara supaya bisa main tanpa dimarahi.

Saya tinggal bersama orang tua selama kuliah, tapi untungnya kampus cukup jauh dari rumah. Saya akan mengarang cerita ada rapat dadakan kalau ingin berkencan, atau harus mengerjakan tugas hingga larut malam supaya bisa pergi ke pesta. Lockdown akibat pandemi membuat saya tidak bisa ke mana-mana dan rasanya amat memuakkan. Saya sampai harus ngomong seperti, “Kenapa sih tanya-tanya mulu? Memangnya aku teroris apa?” kalau ayah ibu mulai menuduhku kaum antivaksin atau tidak percaya COVID hanya karena mau keluar rumah sebentar.

Kata terapis langgananku, saya tidak suka disuruh-suruh dan cenderung melawan akibat sikap orang tua yang overprotektif. Saya selalu merasa seperti menjalani kehidupan ganda, terutama sejak saya sadar kalau saya queer yang berada di lingkungan nasionalis Hindu. Saya sulit terbuka dalam hubungan dan selalu mempertanyakan apakah orang benar-benar tertarik denganku. Saya dan orang tua menjalin hubungan yang palsu. Saya sedih setiap memikirkan ayah ibu tidak akan mencintaiku apa adanya. Saya hanya bisa memendam perasaan saat depresi kambuh, atau saat tugas kuliah membuatku stres. Curhat hanya akan memperburuk suasana. Saya melatih diri untuk selalu waspada. – JK, 23 tahun, pelajar

“Ibu akan mencukur rambutku kalau ketahuan melanggar perintahnya.”

Saya tinggal bersama ibu sejak ibu pisah dengan ayah, saat saya masih kelas tujuh. Ibu orangnya sangat keras. Saya tidak boleh pergi ke mana-mana selain untuk sekolah dan bimbel. Saya bahkan dilarang nonton TV dan main video game karena katanya buang-buang waktu.

Suatu hari, saya selesai bimbel sejam lebih cepat dan memutuskan main video game di rumah teman. Tapi sepulangnya ke rumah, ibu bertanya saya habis pergi ke mana. Saya bingung kenapa ibu bisa tahu, dan ternyata ibu mengecek jumlah kilometer yang ditempuh mobil.

Ibu akan menghardik saya, terkadang sampai main tangan, kalau saya ketahuan tidak mematuhi aturannya. Ketika ini tak lagi membuatku jera, ibu mulai menggunting rambutku karena tahu saya sangat merawatnya.

Saya jadi anak bandel sejak kelas 10, terutama setelah saya menolak masuk jurusan IPA atau kedokteran seperti yang ibu harapkan. Ibu juga tidak terima saat saya memutuskan untuk tinggal sendiri, tapi tidak bisa melakukan apa-apa begitu saya punya uang sendiri. Pola asuh ibu yang keras membuat hubungan kami tidak dekat. Saya lebih suka mencari dukungan emosional dari teman, bahkan termasuk orang-orang yang tidak bisa dipercaya. Saya selalu merasa haus kasih sayang karena tidak pernah mendapatkannya dari ibu kandungku sendiri.  – SD, 24 tahun, pegawai marketing

“Saya dituntut menjadi anak yang sempurna.”

Saya dituntut menjadi anak yang sempurna sejak kecil, sehingga saya tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Banyak yang saya rahasiakan dari orang tua karena takut dimarahi atau dipukul. Saya bahkan tidak boleh main ke rumah teman.

Dulu saya sangat penurut, tapi sekarang saya jarang sekali mengikuti perintah orang tua. Kadang saya masih merasa harus berbohong kalau ingin main. Saya mulai mengonsumsi minuman keras saat kuliah, tapi selalu dihantui perasaan bersalah karena orang tua saya religius.

Saya selalu dibayangi keraguan dan rasa bersalah jika melakukan sesuatu yang menurut saya tidak akan disukai orang tua, bahkan saat memilih karier atau menjalani hidup setelah beranjak dewasa. Saya masih takut membuat kesalahan karena orang tua pasti akan menyalahkanku, bukannya memberi saya kesempatan untuk belajar dari kesalahan itu. Saya merasa orang tua berharap saya punya gambaran yang jelas dalam hidup, padahal sebenarnya saya masih berusaha memahami diri sendiri. Pada akhirnya ini menciptakan ketegangan di antara kami. – Usman, 27 tahun, content writer

Follow Shamani di Instagram dan Twitter.