Huruf “I” dalam singkatan LGBTQI merujuk pada interseks, orang-orang yang terlahir dengan jenis kelamin ambigu. Mereka kurang cocok disebut laki-laki, tapi perawakan mereka berbeda dari perempuan kebanyakan.
Istilah ini sangat variatif bentuknya dan memiliki definisi yang begitu luas, sehingga sulit mengetahui secara pasti ada berapa banyak orang interseks di dunia. Namun, diperkirakan sekitar 0,02 hingga 1,7 persen populasi global merupakan interseks.
Kondisi ini masih sering disalahpahami, bahkan di kalangan kedokteran sekali pun. Penelitian yang diterbitkan pada 2017 menunjukkan, mahasiswa kedokteran melaporkan pengetahuan medis mereka tentang orang interseks dan transgender tak sebanyak yang mereka pahami tentang kelompok lainnya di spektrum LGBTQI.
Tidaklah mudah menentukan jati dirimu sebenarnya di dunia yang suka mengkotak-kotakkan manusia. Karena itulah, kami berbicara dengan tiga orang interseks untuk mencari tahu seperti apa prosesnya sampai mereka tahu kalau mereka interseks — dan apa arti label tersebut bagi diri mereka sekarang.
Joyce Kiela, 19 tahun
Saya memiliki Sindrom Insensitivitas Androgen (AIS). Saya seharusnya terlahir sebagai laki-laki dengan kromosom XY, tapi tubuh saya 100 persen tidak sensitif terhadap testosteron, sehingga menjadikan saya perempuan.
Sewaktu kecil dulu, saya sering berobat ke dokter anak karena terlalu tinggi. Di usia 14, saya memberi tahu mereka kalau saya belum menstruasi. Saya pun tes darah dengan harapan tidak menemukan apa-apa, tapi hasilnya mengejutkan dokter. Mereka harus mempelajari kondisi saya lebih dalam lagi. Dari situlah saya mulai menjalani berbagai tes darah, MRI dan USG. Hasil pemeriksaannya menunjukkan kalau saya tidak punya rahim dan ovarium. Saya hanya bisa menangis sepanjang sore ketika mendengarnya. Saya selalu bermimpi memiliki tiga anak suatu saat nanti, jadi sulit sekali menerima kenyataan ini.
Saya akhirnya didiagnosis memiliki AIS. Saya bingung apa maksudnya karena belum pernah mendengar istilah itu sebelumnya. Teman-teman saya juga tidak mengerti apa yang saya omongin — mereka sibuk cari pacar, sedangkan saya mempertanyakan identitas saya sebenarnya. Apakah itu artinya saya laki-laki? Tapi saya langsung menyadari kalau diri ini masih seperti Joyce yang dulu.
Bisa dibilang, saya agak lega setelah menerima diagnosis itu. Akhirnya ada alasan mengapa pertumbuhan saya begitu cepat dan suasana hati mudah berubah.
Saya merasa kesal setiap kali memberi tahu orang kalau saya interseks dan memiliki testis [testis yang tidak berkembang], karena kedengarannya kayak cowok banget. Hampir semua orang interseks [yang terlahir dengan testes] telah mengangkat organ itu. Dokter dulu percaya itu bisa menjadi karsinogenik, tapi saya rasa mereka mengira seharusnya itu tidak ada di sana.
Interseks memiliki kondisi yang berbeda-beda, jadi keputusan operasinya pun bervariasi dari kasus ke kasus. Testis yang saya miliki membantu tubuh mengubah beberapa hormon laki-laki menjadi perempuan, jadi saya tidak perlu minum obat.
Saya sering membahas tentang interseks di media sosial, dan mengikuti teater tentang kawan-kawan seperjuangan. Menurut saya, semua orang perlu tahu tentang keberadaan kami di dunia ini.
Annelies Tukker, 36 tahun
Teman-teman saya semasa sekolah dulu sering membicarakan tentang menstruasi. Saya tidak pernah haid, makanya saya mulai curiga tubuh ini berbeda. Setelah USG di usia 17, dokter meminta saya untuk menjalani pemeriksaan lain. Dari situ, saya semakin yakin ada yang tidak beres.
Dokter akhirnya memberi tahu kalau saya interseks dan tidak punya rahim atau ovarium. Saya cukup terkejut, tapi untungnya dokter saya sangat baik. Dokter menjelaskan kalau saya punya kromosom XY, yang membuatku mempertanyakan kewanitaan saya. Sejauh pengetahuan saya, itu kromosom laki-laki.
Saya takut untuk mengungkapkan kepada orang-orang kalau saya interseks. Saya konsultasi ke psikolog, tapi dia menyuruh agar saya tidak memberi tahu orang lain karena mereka akan mengolok-olok saya. Ini bagaikan rahasia besar yang harus saya pendam. Testis saya juga diangkat tanpa persetujuanku.
Untung saja, saya bisa membicarakannya dengan orang tua. Saya juga memberi tahu beberapa orang, tapi tetap ketakutan untuk membuka diri karena rasa takut dan malu yang telah lama tertanam dalam diri.
Lama-lama saya capek juga hidup dipenuhi rasa malu. Jadi di usia 30-an, saya memutuskan untuk menghadiri Utrecht Canal Pride [pawai Pride di atas kapal] dengan memakai kaus bertuliskan “Intersexy” di bagian belakang. Saya melepas jaket ketika sudah duduk bersama orang-orang di atas kapal, dan mengejutkannya, reaksi mereka biasa-biasa saja.
Pada saat itulah saya menyadari bahwa saya ingin merangkul identitas ini dengan bangga. Sejak itu, saya bergabung dengan NNID, organisasi yang mempromosikan keragaman jenis kelamin di Belanda. Setahun kemudian, kami menyelenggarakan pawai Pride interseks pertama kami di atas kapal. Untungnya, orang-orang mulai memahami jenis kelamin yang ada di dunia ini jauh lebih beragam daripada yang mereka pelajari selama ini.
Aart, 42 tahun
Saat saya berumur 15, saya pergi ke dokter untuk memeriksa punggung yang sakit. Begitu memasuki ruangan dokter, mereka langsung menyadari ada yang berbeda dari fisik saya — bentuk tubuh saya seperti buah pir dengan pinggul dan bahu lebar, yang mungkin menandakan ciri fisik interseks.
Saya didiagnosis mengalami sindrom Klinefelter dan memiliki kromosom XXY. Dokter bilang saya tidak bisa memproduksi testosteron dan belum mengalami pubertas, jadi harus menaikkan kadar testosteron hingga normal. Kalau tidak, saya berisiko terkena kanker payudara dan osteoporosis.
Dokter juga bilang saya berisiko memiliki kapasitas mental yang rendah dan mungkin akan kesulitan mencari pekerjaan suatu saat nanti. Saya beruntung orang tua selalu mengajarkan untuk tidak menjalani hidup berdasarkan informasi tersebut, yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman. Saya juga didiagnosis tidak subur, ini benar-benar menyedihkan.
Perjuangan terbesar bagi saya yaitu orang-orang menganggap saya laki-laki, padahal bukan itu yang saya rasakan. Saya tidak merasa seperti laki-laki atau perempuan. Tubuh ini sangat cocok untuk saya. Tanpa testosteron, saya bisa memiliki payudara. Hal itu mungkin sulit di masa remaja, tapi bisa saja membuat saya bahagia. Saya rasa dokter seperti itu karena ingin membuat hidup saya lebih mudah.
Menjadi interseks adalah masalah sosiologis, bukan medis. Saya ingin hidup di dunia yang mewajarkan saya untuk memiliki payudara juga. Istilah “interseks” belum digunakan saat dokter memvonis saya seperti itu. Saya baru tahu tentang interseks tahun lalu, setelah menonton dokumenter Beste reizigers [film tentang layanan kereta api Belanda yang mengadopsi bahasa inklusif gender].
Sekarang, saya ingin lebih memahami diri sendiri, karena saya selalu beradaptasi dengan dunia di sekitarku. Untuk langkah selanjutnya, saya mungkin akan berhenti minum obat hormon. Ini membuatku penasaran karena telah mengonsumsinya sejak saya baru 15 tahun. Saya tak tahu seperti apa rasanya hidup tanpa obat itu.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE Netherlands.