Tersenyum lebar dengan kalung bunga, penyanyi dangdut Saipul Jamil melambaikan tangan ke awak media dari atas mobil mewah yang menjemputnya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cipinang, Jakarta Timur. Pesohor yang terbukti melakukan pencabulan anak di bawah umur dan menyuap hakim itu resmi bebas dari penjara pada 2 September lalu. Prosesi kebebasan lantas dihelat bak penyambutan atlet Olimpiade pendulang emas. Industri hiburan bersiap menerima Saipul kembali.
Transmedia, perusahaan yang menginduki stasiun televisi Trans TV dan Trans 7 rupanya melihat momen ini sebagai momen pendongkrak rating. Perusahaan ini maju di barisan pertama membawa Saipul kembali ke layar kaca. Pria 41 tahun itu langsung diajak bersafari ke dua acara: Bercanda tapi Santai (BTS) di Trans 7 dan Kopi Viral di Trans TV.
Keputusan itu memang benar mendatangkan rating, namun ia tidak datang sendiri. Caci maki, citra buruk, dan pemboikotan masif dari publik ikut menerjang kelompok Trans. Meski pelaku dianggap sudah selesai menjalani hukuman, Transmedia dinilai tak berpihak pada trauma korban Saipul. Kemunculan seorang pelaku pencabulan anak di televisi mengindikasikan pemakluman terhadap perilaku pedofilia yang merusak masa depan anak. Tambah lagi, keputusan tim kreatif memakaikan baju tahanan pada Saipul juga insensitif dan terkesan meremehkan dampak kasusnya.
Lewat media sosial, publik beramai-ramai menyuarakan protes dengan cara masing-masing. Skandal ini juga berefek pada bisnis Transmedia. CEO rumah produksi Visinema Pictures, Angga Sasongko, mengaku telah menghentikan negosiasi distribusi film Nussa dan Keluarga Cemara dengan Transmedia gara-gara masalah ini.
Sementara komedian Arie Kriting memutuskan menolak kontennya ditayangkan stasiun televisi tersebut. Muncul juga petisi di situs change.org yang meminta Saipul Jamil tidak diberi panggung di televisi nasional dan YouTube. Saat artikel ini ditulis, lebih dari 400 ribu orang menandatangani petisi tersebut.
Warganet juga mendesak para pengiklan untuk tidak menaruh produknya di acara yang mengundang Saipul. Investigatif seperti biasanya, netizen sudah merunut apa saja merek yang beriklan di acara BTS dan Kopi Viral. Daftar itu kini tersebar di media sosial.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dikenal getol mengatur moralitas tayangan televisi Indonesia tentu tak luput dari hantaman netizen. Lembaga ini bahkan disindir sengaja mendiamkan tayangan yang menampilkan pelaku kekerasan seksual karena memang akur sama skandal serupa yang bertahun-tahun terjadi di internal kantor KPI.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menilai penampilan Saipul di hadapan publik akan memberi dampak buruk bagi masyarakat. “Saya khawatir, para penonton TV menjadi memaklumi penyebab Saipul Jamil masuk penjara. Pelaku bisa merasa tidak bersalah atas perbuatannya. Berikutnya bisa menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang normal. Ini sangat berbahaya,” kata Retno pada rilis pers, dikutip Tempo.
“Korban kekerasan seksual lainnya menjadi makin takut terbuka atau bicara atas apa yang dialaminya, psikologis korban menjadi terpukul kembali dan bisa jadi sulit pulih ketika pelaku malah disambut seperti pahlawan. Kita harus berpihak pada korban kekerasan seksual dan membantunya pulih,” tambah Retno.
Tekanan besar dari publik itu berhasil. Entah karena setuju sama suara publik atau enggak tahan disindir, hari ini (6/9) KPI merilis permintaan kepada seluruh lembaga penyiaran televisi untuk tidak lagi melakukan apa yang Transmedia lakukan. Dalam rilis pers di situs resmi KPI, Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo memohon insan media memahami sensitivitas dan etika kepatutan publik terhadap kasus dan tidak membuka trauma korban dengan mengundang pelaku pencabulan. Pihak Kopi Viral dan Bercanda tapi Santai juga sudah mengunggah permohonan maaf di media sosial masing-masing.
VICE lantas menghubungi Wisnu Prasetya Utomo, pemerhati media sekaligus pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, untuk mendapatkan pandangan terkait efektivitas gerakan publik yang biasa disebut cancel culture ini.
“Efektif tidaknya tergantung sejauh apa individu atau kelompok mau ikut mengorganisir proses canceling tersebut, apalagi jika berhadapan dengan individu atau kelompok yang berpengaruh. Proses canceling kan tidak sekadar menunjukkan bahwa seorang individu atau kelompok bermasalah lalu memboikotnya, tetapi juga proses pendampingan terhadap korban sampai mendapatkan keadilan,” ujar Wisnu saat dihubungi VICE.
“Untuk itu kita harus melihat relasi kuasa yang ada dalam kasus. Jangan sampai proses cancel culture ini justru menyasar orang-orang yang tidak punya kuasa dan akses, dan akhirnya malah jadi korban,” tambah Wisnu.
Pertanyaan selanjutnya, apakah cancel culture perlu dan bisa dikontrol? Sebab, dalam kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialami pegawai KPI, dilaporkan bahwa keluarga pelaku juga kena getah ikut dicaci maki publik.
“Sebagaimana karakter media sosial, cancel culture enggak bisa dikontrol. Dia bisa kuat, bisa juga lemah dan segera hilang. Makanya penting ada gerakan kolektif atau gerakan sosial yang kuat untuk meminimalisir jika ada problem muncul dan membawa dampak negatif,” jawab Wisnu.
“Dengan adanya gerakan kolektif [seperti gerakan internasional #MeToo], jadi tuntutan-tuntutan yang ada dalam proses canceling bisa terukur, misalnya apakah [tuntutan] sampai advokasi kebijakan publik atau sekadar membangun kesadaran publik, dan segera bisa melakukan mitigasi risiko apabila ada masalah.”
Wisnu memprediksi pola tekanan serupa cancel culture akan semakin sering dilakukan di masa depan. Sebab, media sosial membuat orang tidak harus muncul di media arus utama atau memiliki nama besar agar protesnya didengar. “Media sosial memungkinkan setiap orang punya akses yang setara untuk melakukan protes dan tekanan apabila ada individu atau kelompok yang dianggap melanggar nilai-nilai kolektif,” tutup Wisnu.