Mama mengabariku kalau nenek sedang sakit, gejalanya sekilas lebih mirip pneumonia, tapi tak ada jaminan itu bukan Covid-19. “Nenek batuk darah,” kata ibu dari kampung halamannya di Kota Medan. Orang tuaku pindah ke Ibu Kota Sumatra Utara itu setelah pensiun.
Kesehatan ‘ah ma’, panggilan keluargaku buat nenek, semakin memburuk setahun terakhir. Terutama setelah beliau didiagnosis mengidap demensia. Pertama, nenek kehilangan fungsi motorik dan limbiknya. Lalu setelah itu, nenek mulai hilang ingatan dan mudah tersesat. Nenek sering jatuh dan membenturkan kepala ke tembok hingga berdarah. Rambutnya kian hari kian menipis. Nenek tidak mau makan dan tidak kuat menahan masalah pencernaan dan sakit fisik yang dideritanya.
“Kena Covid kali?” jawabku yang bimbang harus bagaimana. Aku merasa bersalah tidak bisa banyak membantu, tapi juga berharap ah ma bisa segera terbebas dari kabar buruk ini.
Keluargaku bingung nenek positif Covid-19 atau tidak. Rumah sakit di seluruh Kota Medan sedang tidak bisa menerima nenek, karena kapasitas penuh. Mama bilang paman dan bibi yang tinggal bersama ah ma sudah keluar dari rumah untuk jaga-jaga. Akan tetapi pembantu keluarga, Atun, harus tetap menemani nenek. Atun, yang namanya kuubah untuk menjaga privasi, merantau dari Kabupaten Malang, 2.000 kilometer jauhnya dari rumah nenek. Dia dua tahun terakhir bekerja untuk keluargaku, kelas menengah dari latar etnis Tionghoa.
Aku langsung membatin: Bibi dan anak-anaknya harus melindungi kesehatan mereka sendiri karena risiko pandemi, tapi kenapa Atun tidak dapat kesempatan yang sama? Aku syok mendengarnya, tapi tidak terlalu kaget juga. Sama seperti kebanyakan orang Asia dari generasi lebih tua, mama masih memegang bias terhadap ras dan kelas sosial tertentu. Dan layaknya anak muda Asia lainnya, aku tahu cara keluarga mamaku memperlakukan Atun salah, tapi tidak cukup berani menyanggahnya.
Mamaku sedang tidak baik-baik saja dan keluarga besar kami diliputi kesedihan yang teramat dalam akibat kondisi ah ma. Semuanya memang serba sulit. Kondisi keuangan keluarga sedang suram, semua rumah sakit penuh, dan pandemi tak kunjung berakhir. Mendengar ucapan mama soal nasib pembantu kami sebetulnya menguji batas kesabaranku, tapi aku tak yakin ada jawaban yang tepat.
Aku akhirnya tetap menyuarakan pikiranku, meski rasanya seperti anak yang tidak berbakti.
“Atun memang cuma pembantu, tapi dia juga manusia,” kataku, tidak bisa menyembunyikan amarah.
Aku meminta mama agar Atun setidaknya divaksin lengkap dan diberi APD. Dia juga berhak memilih mau tinggal bersama ah ma atau tidak. Atun harus mendapat upah lebih tinggi kalau setuju merawat nenek, dan jangan dipecat kalau menolak.
Ibu langsung mencak-mencak.
Anak macam apa kamu ini? Memangnya sudah bisa kasih apa ke orang tua yang telah membesarkanmu, kok berani mengkritik seperti itu? Memangnya kamu tahu apa sampai bisa menggurui keluarga? Untuk apa kamu peduli sama pembantu? Memangnya kamu pernah diminta atau ikut mengurus nenek?
Aku dianggap mama cuma peduli sama diri sendiri, dan pikiranku terlalu kebarat-baratan karena kuliah di luar negeri. Aku dianggap anak durhaka yang pantas masuk neraka.
Mendadak jadi aku yang salah. Orang tua melahirkanku ke dunia ini, dan mereka merasa selalu benar. Aku kehabisan akal harus bagaimana lagi. Aku memang merasa bersalah menentang omongan mereka, tapi aku juga tidak enak hati kalau diam saja.
Satu yang pasti, tentunya bukan hanya aku yang mengalami konflik batin ini.
Pandemi Covid-19 seharusnya semakin menyadarkan banyak orang betapa minimnya perlindungan dan pengakuan terhadap pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia. Mereka sering kali dianggap rendah derajatnya oleh keluarga yang mempekerjakan. Berbagai laporan media mengungkapkan, PRT rentan terinfeksi virus Sars-CoV-2 karena mereka diminta mengerjakan hal-hal yang membahayakan kesehatan, seperti merawat lansia dan bepergian ke luar rumah, tanpa perlindungan tambahan atau asuransi kesehatan.
Beberapa PRT mengaku terpaksa membeli sendiri masker dan hand sanitizer dengan gaji yang terlampau kecil itu, karena tidak disediakan oleh majikan. Mereka juga terancam kehilangan pekerjaan kapan saja, terkadang tanpa pesangon. Berbagai permasalahan seperti ini sudah dialami para PRT, jauh sebelum pandemi.
Sayangnya, sistem pembantu rumah tangga di negara ini memang tidak pernah berubah drastis dari praktik kelam masa Hindia Belanda. Sejarah kemunculan pembantu rumah tangga sebagai profesi tersendiri di Indonesia, bertautan dengan gencarnya praktik perbudakan zaman kolonial sekitar tahun 1800-an.
Pada masa itu, budak kerap dipekerjakan sekaligus sebagai buruh (mengurus kebun majikan) serta babu untuk melayani kebutuhan rumah tangga orang Eropa, pengusaha Cina, hingga kalangan aristokrat Melayu dan Jawa. Istilah “babu” bermakna negatif, sehingga diganti menjadi “pembantu” setelah Indonesia merdeka. Pembantu jelas bukan budak karena dibayar untuk jasanya, tapi sebagian besar beban kerja, dan cara mereka diperlakukan, tetap mirip babu.
Pembantu rumah tangga biasanya datang dari desa dengan latar belakang pendidikan, sumber daya dan kesempatan kerja yang terbatas. Mereka kerap dipekerjakan penuh waktu dan akhirnya ikut tinggal di rumah majikan. Mereka mengerjakan seluruh urusan rumah tangga, dari mencuci pakaian, menyapu lantai, hingga mengurus anak majikan.
Jam kerja pembantu sangat tidak menentu. Mayoritas PRT lazimnya sudah sibuk bersih-bersih di saat majikan baru bangun tidur, dan baru bisa merampungkan pekerjaan di malam hari. Tidur menjadi satu-satunya waktu untuk mereka beristirahat. Meski tanggung jawab PRT sangat besar, upah yang diterima hanya bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan banyak dari mereka yang tidak mendapatkan hari libur sama sekali.
Ada yang berpendapat bekerja sebagai pembantu di kota besar lebih baik daripada mengais rezeki di desa. Walaupun begitu, nasib PRT yang bermigrasi ke kota besar tak serta-merta menjadi lebih baik setelahnya. Rerata gaji “layak” PRT di Indonesia berkisar di angka Rp2 juta hingga Rp3 jutaan per bulan, masih di bawah UMR banyak wilayah. Survei Badan Pusat Statistik pada Februari 2020, menyebut daya beli riil pembantu rumah tangga yang bisa disisihkan dari gajinya, secara rata-rata per bulan hanya Rp420 ribu.
Beban kerja mereka jelas tidak mudah, tapi kenapa profesi ini masih sangat disepelekan?
Aku melewati masa kanak-kanak dengan bantuan si Mbak (bukan Atun) di Jakarta, seperti keluarga kelas menengah lainnya. Banyak keluarga yang punya PRT, sehingga aku tidak terlalu menghiraukan praktik ini. Aku baru menyadari ada yang bermasalah dari profesi pembantu di Indonesia setelah pindah ke Amerika Serikat untuk kuliah. Di sana, hanya konglomerat yang mampu mempekerjakan PRT.
Aku menggosok kamar mandi asrama untuk mendapatkan pemasukan tambahan selama kuliah. Suatu hari, ketika aku menahan napas sambil mengikis kotoran di toilet, aku tersadar pembantu di rumah bekerja keras seperti ini setiap hari dengan upah yang lebih kecil daripada penghasilanku kerja sambilan.
Sementara aku bisa membagi waktu antara kerja sambilan, bersenang-senang, sambil menyeselesaikan kuliah, sebagian besar pekerja rumah tangga di Indonesia—dan banyak negara Asia lain—tidak dapat melakukan hal yang sama. Sebab batas antara pekerjaan dan rumah sangat kabur bagi mereka. Setiap pembantu pasti memiliki impian dan jati diri mereka sendiri, tapi kita hanya memandang mereka sebagai pembantu. Seakan identitas mereka sebagai pembantu sudah final sebagai manusia dewasa. Masalah ini masih menjadi momok di Indonesia dan negara-negara lain dengan ketimpangan ekonomi mencolok, tingkat pendidikan yang rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, dan hak-hak buruh yang terbatas.
Si Mbak sudah bekerja di rumahku sejak umurnya baru 18 dan tinggal bersama kami sampai berusia 40-an. Mbak selalu ada untukku. Dia yang menyuapiku makanan, memakaikan baju, menjemputku sepulang sekolah, menyisirkan rambut, bahkan mendengarkan segala curhatanku semasa remaja. Dia tidak bisa bersikap santai, walaupun telah bekerja puluhan tahun untuk keluargaku. Saat menonton TV, aku duduk di sofa, sedangkan Mbak “harus” duduk di lantai. Tak lama kemudian dia biasanya pergi untuk mengerjakan hal lain.
Mbak sering memuji penampilanku setiap pulang ke Indonesia untuk liburan. Dia bilang aku makin langsing dan tinggi, kulitku juga bagus—sementara dia merendahkan dirinya sendiri, dengan bilang tidak ada orang yang mau dengannya karena dia sudah tua dan gemuk.
Orang tuaku menjual rumah di Jakarta sebelum balik ke kampung halaman. PRT kami diberhentikan dari pekerjaannya dan diberi uang pesangon. Ibu bilang si mbak bisa membeli sejumlah properti di desanya untuk membantu keluarga, setelah bertahun-tahun bekerja untuk kami. Kepergian Mbak sangat menyedihkan. Aku harap kelak bisa memberinya kompensasi lebih karena keberadaannya sebagai pembantu sangat penting di rumah kami.
Sejujurnya, orang tuaku menggaji pembantu dengan layak. Ibu sering membanggakan kemurahan hatinya karena suka memberi hadiah dan bonus kepada ART. Ayah ibu juga tidak pernah memperlakukan pembantu dengan kasar. Tapi semua itu hanya kedok, setelah kupikirkan ulang.
Seolah-olah memperlakukan pekerja secara wajar patut dipuji. Mereka menyebut diri sendiri majikan yang baik, tapi wujud asli ortuku sendiri muncul ketika berurusan dengan urusan hidup dan mati. Contohnya adalah Atun yang mereka paksa menemani nenek. Terpampang jelas bahwa orang tua, dan keluarga besarku, menganggap enteng nyawa Atun. Seakan kesehatan Atun tidak sepenting kesehatan tante, sepupu, atau nenek.
Selama pandemi, kita sering menyaksikan banya keluarga menyuruh pembantu mereka belanja ke pasar yang ramai atau mengambil paket langsung dari kurir, acap kali tanpa mempertimbangkan risiko kesehatan atau memberi perlindungan yang lebih baik. Aku tidak yakin mayoritas keluarga kelas menengah terlampau peduli pada situasi kesehatan para pembantunya.
Sekarang aku menetap di Singapura dan tidak punya PRT, tapi pengalaman bertengkar dengan ortu membuka mataku terhadap perlakuan yang tidak adil di banyak rumah tangga Asia, tidak cuma Indonesia. Aku sejak dulu sering mengkritik teman yang mengejek atau merendahkah kebiasaan pembantu keluarga mereka.
Karena itu jugalah aku memprotes keputusan mamaku kali ini. Mengubah pola pikir orang memang sulit, tapi aku optimis suatu saat mereka bersedia mendengarkanku, lalu memperlakukan pembantu secara lebih manusiawi.
Jangan lupa baca tulisan-tulisan Alice di blog pribadinya dan ikuti kesehariannya di Instagram.