Nasib pelajar berinisial MS (19), masih duduk di kelas XI salah satu SMA di Bengkulu, menjadi perbincangan publik. Doi dikeluarkan sekolahnya karena videonya di TikTok tentang Palestina viral. Menurut sekolah, video itu dianggap menyebarluaskan ujaran kebencian terhadap Palestina dengan kata-kata enggak pantas.
Keputusan drop out ini sudah dianggap kelar oleh dinas pendidikan setempat, tapi diprotes Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Kalau kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah Adang Parlindungan, keputusan DO itu hasil kesepakatan sekolah, orang tua MS, polisi, dan tokoh masyarakat setempat.
MS juga membuat permintaan maaf terbuka yang diunggah ke internet. MS lantas diberi solusi yang khas Indonesia banget: disarankan mencari sekolah baru. Dengan demikian, masalah disimpulkan selesai.
Tapi menurut KPAI ini bukan solusi mendidik. “Sanksi terhadap MS seharusnya bukan dikeluarkan, apalagi MS sudah meminta maaf, mengakui kesalahannya, dan menyesali perbuatannya. Jadi, seharusnya MS diberi kesempatan memperbaiki diri, karena masa depannya panjang,” tulis Komisioner KPAI Retno Listyarti pada rilis pers yang diterima VICE. “KPAI memperoleh informasi bahwa MS mengalami masalah psikologis akibat dampak dia dikeluarkan oleh pihak sekolah, bahkan takut bertemu orang lain.”
Kalau diringkas, ada beda cara pikir antara sekolah dan KPAI. Sekolah nerapin sistem mengeliminasi murid bermasalah, sementara KPAI menggunakan mindset sekolah justru harus berperan mendampingi murid bermasalah.
Tapi kasus ini menarik buat ditarik secara umum, ke siswa-siswa yang dikeluarin sekolah mana pun karena kasus apa pun. Coba bayangin, misal ada murid atau wali murid yang enggak terima dikeluarkan sekolahnya, bisa enggak sih ia menggugat keputusan itu?
Nah, rupanya nih, kasus siswa melawan keputusan DO dari sekolah lewat jalur hukum ada presedennya. Pada 2018, dua siswa kelas XII di SMAN 1 Semarang, APH dan AA, dikeluarkan dari sekolah menjelang Ujian Nasional. Keduanya dianggap terbukti melakukan kekerasan saat menghelat Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) pada November 2017.
Tidak terima pada keputusan drop out, orang tua APH menggugat Kepala Sekolah SMAN 1 Semarang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang setelah somasi yang mereka layangkan tidak digubris sekolah.
Dikeluarkannya APH dari sekolah dinilai tidak sesuai prosedur. Kuasa hukum APH, Denny Septiviant, menjelaskan keputusan sekolah melanggar Pasal 10 ayat 1 dan Pasal 11 Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
Kesalahan prosedur yang dimaksud karena APH dikeluarkan tanpa melalui proses teguran lisan dan tertulis terlebih dahulu. Setelah teguran, seharusnya sekolah melakukan bimbingan terhadap siswa yang dinilai bermasalah. Terlebih APH dilaporkan tidak boleh mengikuti proses belajar-mengajar di kelas. Tapi, gugatan ini ditolak majelis hakim PTUN.
Akhirnya, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah Gatot Bambang Hastowo memastikan keduanya tetap bisa melaksanakan UN, tapi di sekolah terpisah. APH di SMAN 2 Semarang dan AA di SMAN 6 Semarang. Ijazah yang terbit nantinya bukan dari SMAN 1 Semarang, melainkan atas nama sekolah tempat mereka melaksanakan ujian tersebut.
Jalan menggugat sekolah ke PTUN juga direkomendasikan Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Tioria Pretty Stephanie. Namun, sebagai prosedur sebelum ke pengadilan, Tioria juga ngasih tahu cara lain yang bisa dilakukan siswa buat memperjuangkan haknya bersekolah.
“Dia bisa upaya dulu lewat mekanisme internal yang disebut ‘upaya administratif’. Bisa dengan bikin surat keberatan ke kepala sekolah yang mengeluarkan surat DO. Kalau kepala sekolah tidak menjawab atau jawabannya kurang memuaskan, bisa mengajukan banding administratif ke atasan kepala sekolah—bisa kepala dinas pendidikan, misalnya,” kata Tioria kepada VICE. “Jika masih belum puas juga, bisa lakukan upaya hukum seperti mengajukan gugatan ke PTUN.”
Soal kasus siswi di Bengkulu, Tioria berpendapat apabila dibawa ke jalur hukum, kemungkinan MS menang cukup besar, terlepas dari permasalahan UU ITE yang karet dan keputusannya untuk tidak membawa kasus ke ranah hukum. “Soalnya [kasus ini] enggak masuk akal. Dia dilaporkan ke polisi karena menghina Palestina, siapa yang bisa buktikan kalau perkataan dia merugikan pihak yang dihina, dalam hal ini Palestina, secara langsung?” tambah Tioria.