Menjelang pemberian gelar kehormatan (honoris causa) dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia (Unhan RI) kepada Ketua Umum PDIP dan Presiden Republik Indonesia ke-5 Megawati Soekarnoputri, jurnal akademik karya mantan presiden ke-5 tersebut sebagai syarat penerimaan gelar tersebar di media sosial. Sesudah membaca karya ilmiah tersebut, publik antusias merespons.
Pasalnya dalam artikel jurnal itu, Megawati menuliskan sejumlah klaim bahwa selama menjabat sebagai presiden, dia terhitung berhasil mengantar Indonesia melewati era “krisis multidimensi” pada rentang 2001-2004. Alhasil, cap narsis diberikan netizen kepada Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional tersebut.
Cuitan sosiolog Sulfikar Amir di Twitter jadi pemicu pertama diskusi seputar etis tidaknya menggunakan tulisan ilmiah untuk “memuji-muji” pencapaian hidup diri sendiri.
Jurnal karya Megawati itu bisa dibaca atau diunduh dari sini, namun izinkan kami menghemat waktu Anda sekalian dengan memaparkan intinya.
Dalam artikel itu, Megawati mengklaim kepemimpinannya berhasil membawa Indonesia melewati krisis di bidang ekonomi, politik, sosial, lingkungan, dan militer. Dia juga menceritakan alasan-alasan di balik kebijakan yang diambilnya tersebut. Tapi yang menarik, Megawati justru mencoba memperkuat klaim tersebut dengan pendapat para menterinya di era Kabinet Gotong Royong.
Misal, keberhasilan di bidang ekonomi divalidasi dengan pendapat Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Menko Perekonomian, lalu keberhasilan di bidang politik diungkapkan oleh Hari Sabarno selaku Menteri Dalam Negeri. Mungkin cuma Megawati yang minta testimoni keberhasilan dari anak buahnya, menandakan beliau adalah figur yang down-to-earth, mengingat pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang dicintai anak buah. Bismillah, komisaris ESEMKA.
Penganugerahan gelar akan dilakukan Jumat (11/6) siang pekan ini di Aula Merah Putih Indonesia Peace and Security Center (IPSC) Sentul, Kota Bogor. Rektor Unhan RI Laksamana Madya Amarulla Octavian menginformasikan gelar yang diberikan adalah gelar kehormatan di bidang Ilmu Pertahanan bidang Kepemimpinan Strategik. Pada acara nanti, Megawati diagendakan menyampaikan orasi ilmiah dengan judul yang sama dengan judul jurnal trending-nya itu.
“Unhan RI mencatat keberhasilan Megawati saat di pemerintahan dalam menuntaskan konflik sosial, seperti penyelesaian konflik Ambon, penyelesaian konflik Poso, pemulihan pariwisata pasca-Bom Bali, dan penanganan permasalahan TKI di Malaysia,” kata Amarulla dilansir CNN Indonesia.
Sebelumnya, Megawati juga pernah dapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Waseda University di Jepang, Moscow State Institute di Rusia, dan MIT Ocean University di Korea Selatan.
Pemberian gelar kehormatan pada politisi menjadi hal lazim, bahkan terkesan diobral, sesudah terbitnya Peraturan Menristekdikti Nomor 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. Beleid ini menyerahkan syarat pemberian gelar kehormatan kepada masing-masing kampus asalkan sudah memiliki program doktoral di bidang tersebut, dengan akreditasi A. Ketiadaan standar yang ketat ini membuat gelar H.C. rentan dipolitisasi.
Beberapa contoh: Pada 2021, bekas narapidana korupsi Nurdin Halid mendapat gelar kehormatan dari Universitas Negeri Semarang (Unnes). Pada 2020, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar mendapatkannya dari Universitas Negeri Yogyakarta. Ketua DPR RI Puan Maharani juga diberi gelar itu oleh Universitas Diponegoro. Lainnya adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dari Unnes, Susi Pudjiastuti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Muhaimin Iskandar dari Universitas Airlangga.
Praktik ini dikritik Penasihat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik Herlambang P. Wiratraman. Ia khawatir pemberian gelar kehormatan dari sejumlah perguruan tinggi kepada politisi bersifat transaksional. “Obral gelar doktor [kehormatan] sangat mempengaruhi integritas dan budaya akademik. Ini refleksi bagaimana kampus menghargai dirinya sendiri. Jika tidak, dia [kampus] sedang merobohkan dirinya sendiri,” kata Herlambang kepada Tirto.
Saat sedang panas-panasnya penentangan pemberian gelar kehormatan kepada Nurdin Halid, Pengamat politik Ubedilah Badrun menyebut ada salah tafsir dalam melihat aturan permenristekdikti oleh kampus. “Tafsirnya sangat hegemonik, [penentuan pemberian gelar kehormatan] oleh elite kampus tidak dilakukan diskusi khusus yang dalam [terlebih dahulu] di senat universitas.
Kedua, tafsir itu jadi dipertanyakan ketika proses-proses pemberian gelar doktor honoris causa dilatari oleh pertemuan-pertemuan sebelumnya dengan elite politik, misalnya. Jadi, ada pertemuan-pertemuan sebelumnya antara elite kampus dengan elite politik, baru kemudian [wacana pemberian gelar] dibawa di dalam senat universitas. Itu prosesnya sangat top-down, bukan bottom-up,” ujar Ubaedillah kepada LPM Pendapa.