Manusia dianggap sebagai makhluk perusak karena telah menyebabkan perubahan iklim, krisis kepunahan dan penggunaan lahan berlebihan. Namun, penelitian terbaru mengungkapkan dulu tidak seperti itu.
Sekelompok ilmuwan yang terdiri dari arkeolog, ahli ekologi, antropolog dan manajer konservasi menemukan manusia telah mengubah Bumi setidaknya selama 12.000 tahun, dan sebagian besar dampaknya bersifat positif sebelum industrialisasi dan kolonisasi terjadi. Temuannya diuraikan dalam penelitian yang terbit di jurnal Proceedings of the National Academy of Science pada Senin.
“Hanya ada sedikit sekali tempat yang belum terjamah manusia sama sekali — sekitar 17 persen daratan Bumi,” ujar Erle Ellis, guru besar ilmu lingkungan Universitas Maryland yang mengetuai penelitian. “Di banyak tempat, keberadaan manusia dapat mempertahankan keanekaragaman hayati selama ribuan tahun. Dalam banyak kasus, manusia membentuk keanekaragaman hayati dengan cara positif.”
Konservasi modern didasarkan pada dua gagasan jenis lahan: alam yang masih alami dan yang sudah rusak oleh manusia. Pola pikir itu terus bertahan, bahkan ketika banyak ahli konservasi tak lagi berpikiran begitu. Untuk mengatasi hipotesis tersebut, para peneliti menciptakan peta yang merekonstruksi sejarah populasi manusia dan penggunaan lahan. Mereka kemudian mencocokkan datanya dengan pola keanekaragaman hayati saat ini. Peneliti memproyeksikan peta kepadatan populasi dan penggunaan lahan saat ini pada masa lalu menggunakan kumpulan data History Database of the Global Environment (HYDE). Setelah itu, mereka melacak perubahan dari waktu ke waktu.
Hasil penelitian mereka menunjukkan, pada 10.000 SM, manusia menempati hampir tiga perempat planet. Mereka juga menemukan, wilayah yang saat ini tingkat keanekaragaman hayatinya tinggi berkorelasi dengan wilayah yang memiliki sejarah panjang pengelolaan masyarakat adat. Peneliti menggunakan tiga indikator berupa kekayaan spesies vertebrata, keberadaan spesies vertebrata yang terancam punah dan metrik yang disebut Area Keanekaragaman Hayati Utama (KBA) untuk mengukur tingkat keanekaragaman hayati di suatu tempat.
Penelitian ini didasarkan pada pemahaman suatu lahan bisa memiliki spesies yang beragam karena adanya praktik budaya dari banyak masyarakat adat dan tradisional, seperti menyalakan api, berburu, pertanian, serta domestikasi tanaman dan hewan. Krisis keanekaragaman hayati saat ini bukanlah karena manusia menjamah lahan yang masih alami. Masalah ini hasil dari kolonisasi dan intensifikasi penggunaan lahan.
Membiarkan lahan tetap alami untuk melindungi kelestariannya telah menciptakan masalah besar bagi masyarakat modern. Menurut Ellis, contoh paling klasik adalah penekanan api sejak Eropa menjajah Amerika Serikat. Dia berujar hal ini tak hanya membuka jalan bagi kebakaran hebat, tetapi juga memengaruhi spesies yang telah berevolusi untuk mengandalkan api.
Kita tidak bisa membalikkan apa yang sudah terjadi. Praktik pengelolaan lahan tradisional tak lagi cukup mendukung umat manusia yang jumlahnya sudah sangat banyak, dan tingkat penggunaan lahan yang intens juga diperlukan. Akan tetapi, Ellis mengatakan meski penggunaan lahannya intens, bukan berarti kita harus merusaknya.
Kebanyakan lanskap yang ada saat ini telah dihomogenisasi. Seluruh petak lahan digunakan untuk tanaman. Kita bisa meningkatkan pengelolaan lahan dengan mendiversifikasi wilayah tersebut, misalnya dengan menjadikan sejumlah kawasan terbuka sebagai padang rumput atau hutan. Cara ini memang tidak mudah, dan membutuhkan lebih banyak tindakan pencegahan terhadap herbivora dan karnivora di dekatnya. Akan tetapi, hal ini dapat meningkatkan kesehatan lingkungan dan planet.
Bagi Ellis, kesimpulan terbesar dari penelitian ini adalah hubungan manusia dengan lingkungan. Peneliti berpendapat mengakui hubungan budaya dengan lahan dan memberdayakan masyarakat adat untuk mengelola lingkungan adalah strategi kunci melindungi keanekaragaman hayati. Beberapa negara sudah mulai melakukan ini. Kanada, misalnya, mengorganisir kelompok masyarakat adat dan non-adat untuk mencapai target keanekaragaman hayati.
“Sejarah penggunaan lahan global membuktikan pemberdayaan masyarakat adat dan lokal sangat penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati planet ini,” para peneliti menyimpulkan.