Para pengusaha mengusulkan pemberlakukan aturan No Work No Pay kepada pemerintah. Aturan yang memungkinkan buruh hanya dibayar sesuai jam kerjanya ini, dianggap pengusaha sebagai solusi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menjelang terjadinya resesi global, yang diramal bakal terasa pada akhir 2022.
Wacana ‘No Work No Pay’ muncul saat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bertemu Komisi IX DPR dan perwakilan Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dalam rapat kerja pada 8 November 2022. Salah satu pengusulnya Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusah Indonesia (Apindo) Anton J. Supit.
Di tengah ancaman resesi dan banyak PHK, Anton mengatakan pesanan di industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki turun hingga 50 persen. Dia menambahkan, beberapa perusahaan sudah mem-PHK pekerjanya. Alhasil, perlu adanya penurunan jam kerja per minggunya bagi buruh.
Penurunan ini tidak bisa ditahan para pengusaha lebih dari tiga bulan. Apabila penurunan ini terus berlangsung, kata Anton, maka PHK massal menjadi satu-satunya pilihan. “Masalah PHK ini menurut kami itu sangat serius, jadi harus antisipasi. Oleh karena itu bisa nggak dipertimbangkan, yaitu harapan kami agar ada satu Permenaker yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay,” kata Anton, seperti dikutip Bisnis Indonesia.
Terkait implementasi sistem ‘No Work No Pay’ ini, Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Eddy Widjanarko, memberi gambaran yang sudah dialami perusahaan Nike dan Adidas. Dua pabrikan tersebut, kata Eddy, tidak pernah kesulitan menjual produknya selama 30 tahun berbisnis. Namun tahun ini berbeda, pertama kalinya terjadi penurunan order sampai 50 persen.
“Sehingga dengan demikian, beberapa pabrik mereka di negara seperti Vietnam dan China mengajukan kepada pemerintah agar bisa dilakukan pengurangan jam kerja. Dari 40 jam per minggu menjadi 25-35 jam per minggu. Ini sebenarnya sudah kita lakukan bulan-bulan lalu,” kata Eddy, dalam pemberitaan CNN Indonesia.
Sejauh ini, Kemenaker mengaku masih mengkaji usulan sistem No Work No Pay. Menurut Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja, Dita Indah Sari, aturan tersebut harus berdasarkan persetujuan antara pengusaha dan serikat pekerja.
Misalpun nantinya akan ada aturan tersebut, harus ada batas waktu yang jelas dan tidak di semua sektor. “No work no pay itu [untuk] yang ordernya kurang-kurang itu lah, garmen, tekstil itu wajar. Nanti [malah sektor] tambang, nikel, timah, ikut-ikutan. Makanya itu jangan, buruhnya juga harus kritis dong. Jangan disamakan sawit sama sepatu,” kata Dita.
Dari 27.500 buruh di pabrik sepatu, sudah ada 10 persen pekerja yang di-PHK. Sementara yang masih bisa bekerja, tidak bisa beraktivitas penuh. Eddy mengatakan apabila pekerja sepatu hanya bekerja setengah hari atau 70 persen dari biasanya. Alasannya karena memang ordernya sedang turun. Eddy menekankan apabila aturan No Work No Pay merupakan kelonggaran mengurangi jam kerja agar tidak perlu melakukan PHK.
Usulan Apindo segera ditolak oleh serikat buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menganggap usulan ini melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan. Upah buruh di Indonesia bersifat bulanan dan bukan harian. Selain itu, tidak boleh juga ada pemotongan gaji pokok kecuali perusahaan mengalami kebangkrutan.
Dalam Pasal 93 UU Ketenagakerjaan, ada perjanjian apabila buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan, maka buruh tetap dibayar. Apabila perusahaan tidak bisa memperkerjakan buruh karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha, bukan berarti mereka bisa dirumahkan.
“Terkait dengan dalih merumahkan untuk menghindari PHK, itu hanya akal-akalan saja. Tidak ada alasan untuk pengusaha lakukan PHK karena pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaik nomor tiga dunia,” kata Said yang juga Presiden Partai Buruh, dikutip dari Kompas.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menganggap aturan No Work No Pay sebagai upaya legalisasi merumahkan pekerja tanpa perlu membayar upah. Berbeda dengan PHK yang ada kepastian berbagai hak seperti pesangon dan lainnya, usulan aturan ini justru mengabaikan hal itu.
“Yang terjadi saat ini justru dirumahkan tanpa upah dan iuran jaminan sosial tetapi tidak di-PHK. Ini yang membuat pekerja jadi menderita. Tanpa upah dan tanpa perlindungan sosial,” katanya.