Kata siapa orang bergaji kecil tidak bisa punya rumah sendiri? Harga properti memang terus naik, tapi pola hidup boros merupakan alasan utama anak muda tak mampu beli rumah. Bukannya menabung demi masa depan yang lebih terjamin, mereka justru menghamburkan uang untuk hal yang tidak berguna—seperti langganan Spotify atau Netflix, dan beli es kopi mahal setiap hari. Setidaknya begitulah kata pakar keuangan atau generasi tua yang tidak memahami letak permasalahannya.
Dewasa ini, kamu harus memiliki tabungan sedikitnya Rp180 juta untuk membayar uang muka rumah seharga 600 jutaan di pinggiran kota Jakarta. Itu artinya kamu tidak dapat berlangganan Netflix premium selama 98 tahun.
Tapi, apa yang sebenarnya akan terjadi jika anak muda mengikuti saran kelompok berprivilese dan mengorbankan kesenangan yang bersifat sementara demi beli rumah? Akankah ini membantu memajukan ekonomi atau malah sebaliknya?
Ada pandangan yang menyatakan bahwa pola hidup super irit dapat berdampak buruk bagi perekonomian negara. Sarah Coles, analis keuangan pribadi senior di perusahaan Inggris Hargreaves Lansdown, mengungkapkan setiap pengurangan signifikan dalam hal layanan, seperti di sektor ritel atau rekreasi, akan merugikan negara dalam konteks ekonomi di Inggris. Pasalnya, industri pelayanan/jasa membentuk 80 persen dari total output ekonomi Inggris dan 82 persen lapangan kerja.
“Jika ada segmen masyarakat yang sepenuhnya berhenti mengeluarkan uang untuk hal-hal yang kurang penting demi hidup hemat, itu akan berdampak pada ekonomi,” terangnya kepada VICE. “Tak hanya sektor ekonomi yang didominasi anak muda saja yang sulit bertahan, semua sektor usaha akan terpukul.”
“Lihat saja betapa besarnya keinginan pemerintah agar kita cepat kembali bekerja di kantor, supaya kita dapat membelanjakan uang untuk kopi dan makan siang. Dari sini, kamu bisa melihat betapa bergantungnya bisnis pada kebiasaan ini.”
Anak muda zaman sekarang juga harus menabung hampir dua kali lipat dari mereka-mereka yang membeli rumah 20 tahun lalu. Itu pun jika mereka bisa menyisihkan sekitar 15% dari gajinya. “Jika uang mukanya 20 persen dan itu berubah-ubah seiring berjalannya waktu, maka orang yang baru mau beli rumah harus menabung selama 9,5 tahun untuk bayar DP,” ujar Robert Gardner selaku kepala ekonom di lembaga keuangan Inggris Nationwide. “Jika kita kembali ke tahun 2001, misalnya, kamu hanya perlu menabung selama lima tahun.”
Pada kenyataannya, anak muda yang hidup hemat tidak mungkin menyebabkan keruntuhan ekonomi, karena mereka hanya menghabiskan sedikit dari pendapatan untuk hal-hal non-esensial dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. Sebagian besar uang mereka justru dipakai untuk membayar sewa kontrakan dan kebutuhan pokok lain.
“Rata-rata, anak muda berpenghasilan lebih rendah daripada rekan-rekan mereka yang lebih tua. Mereka yang berusia di bawah 29 tahun memiliki pendapatan lebih rendah daripada orang lain, dan penghasilan rata-rata memuncak pada usia 40-49 tahun,” Cole menjelaskan. “Itu berarti mereka pada dasarnya jarang membelanjakan uang. Mereka lebih cenderung menyewa tempat tinggal, yang menyedot sekitar sepertiga dari pendapatan mereka […] sehingga mereka menghabiskan sebagian besar pendapatan untuk kebutuhan pokok dan hanya sedikit untuk kebutuhan tersier.”
Berhenti langganan Netflix dan semacamnya tak serta-merta membuat orang lebih cepat memiliki hunian pribadi. Tinggal bersama orang tua atau pindah ke daerah lain mungkin bisa membantu, tapi itu akan menjadi marginal, menurut Christine Whitehead, profesor emeritus ekonomi perumahan di London School of Economics.
“Mengumpulkan uang untuk DP [rumah] sangat sulit,” tuturnya. Melihat realitas yang ada saat ini, anak muda mau tak mau harus mengorbankan hidup dan kebahagiaan mereka untuk memperoleh penghasilan yang cukup untuk mengikuti tren uang muka rumah yang sedemikian rupa harganya.
Sebaliknya, banyak anak muda baru bisa beli rumah jika mendapat bantuan dari keluarga atau warisan. “Pada 2018-2019, sepertiga pembeli rumah pertama [di Inggris] mendapat hadiah atau pinjaman dari keluarga atau teman mereka,” terang Gardner. “Ini menunjukkan adanya kesenjangan, dan kamu bergantung pada keadaan yang lebih luas, bukan sebatas penghasilanmu sendiri. Ini tentang ada tidaknya orang yang bisa membantumu.”
Penelitian terbaru dari Resolution Foundation menemukan orang-orang yang mendapat sokongan finansial dari orang tua hampir tiga kali lebih mungkin untuk membeli rumah pada usia 30 dibandingkan mereka yang tidak dapat apa-apa.
Lalu, ada kabar buruk lain. Jika semua anak muda bisa membeli rumah, harga properti akan semakin melonjak tinggi lantaran banyaknya permintaan tidak diimbangi dengan ketersediaan hunian. “Meningkatkan permintaan secara dramatis di ujung bawah pasar tanpa tindakan apa pun untuk menambah pasokan akan membuat harga rumah semakin mahal bagi pembeli pertama,” kata Coles. “Pasarnya sudah tidak seimbang, yang mana lebih banyak pembeli daripada penjual, sehingga ada risiko nyata memperburuk tren ini.”
Felicia Odamtten, ekonom di Resolution Foundation, sepakat. “Kita telah menyaksikan bagaimana langkah meningkatkan kepemilikan rumah di masa lalu telah menyebabkan inflasi harga rumah — memang bukan bencana besar, tapi memiliki semacam dampak inflasi… Jika ada skema radikal yang nyata untuk meningkatkan kepemilikan rumah di kalangan anak muda, harus ada skema tandingan untuk menekan permintaan dari kelompok lain, seperti orang yang ingin membeli rumah lagi, agar harga rumah tidak melambung.”
Namun, selama tinggal di kos-kosan atau kontrakan dianggap lebih terjangkau dan praktik sewa properti tidak terkendali, harus ada solusi supaya anak muda bisa membeli rumah demi kenyamanan yang berhak dimiliki semua orang.
Whitehead mengusulkan perubahan distribusi pendapatan mendasar, yang selama ini membebankan anak muda. “Langkah paling tepat yaitu memberlakukan pajak properti pada orang yang sudah memiliki rumah guna menurunkan harga dan membuat orang tertarik membeli rumah.”
Beberapa orang mungkin akan keberatan dengan langkah tersebut, terutama jika mereka membeli banyak rumah untuk investasi. Namun, cara ini dapat menyelamatkan generasi yang secara tidak adil didorong ke jurang yang menganga antara upah rendah dan harga rumah tinggi. Generasi boomer yang ngotot kaum milenial harus punya rumah sendiri harus siap menerima itu semua.