Pria terkaya di Asia, Gautam Adani, memenangkan tender proyek penataan ulang permukiman kumuh di jantung kota Mumbai, India. Bernama Dharavi, kawasan kumuh terbesar se-Asia ini dikenal dunia berkat film Hollywood Slumdog Millionaire.
Adani Enterprises, perusahaannya yang memiliki nilai pasar di atas Rp850 triliun, mengalahkan kompetitor dengan tawaran $612 juta (hampir Rp9,5 triliun). Kabar ini, yang diumumkan Selasa (29/11) kemarin, diharapkan benar-benar menjadi awal dimulainya proyek ambisius yang sudah puluhan tahun mangkrak akibat tak kunjung menemukan developer yang tepat.
Keberadaan permukiman kumuh di Mumbai menandakan tingginya ketimpangan ekonomi di kota tersebut. Namun, pada saat yang sama, daerah ini menawarkan peluang investasi yang menguntungkan.
Lebih dari 40 persen penduduk Mumbai yang berjumlah 22 juta tinggal di permukiman kumuh. Di Dharavi, sekitar 60.000 gubuk pengap memadati lahan seluas 210 hektar yang bersembunyi di balik megahnya gedung pencakar langit.
Negara berjanji akan menyediakan rumah secara cuma-cuma kepada 68.000 warga yang sudah tinggal di Dharavi dari sebelum tahun 2000. Sementara itu, bagi penduduk yang bermukim setelahnya, mereka harus membeli rumah sendiri. Akan tetapi, menurut pengakuan Bhau Korde yang tinggal di Dharavi, warga tak pernah sekali pun diberi kejelasan tentang jenis tempat tinggal maupun sarana yang menyertainya. “Tanpa adanya solusi konkret yang secara khusus mengatasi masalah di Dharavi, bisa saja kami berakhir di tempat tinggal kumuh bertingkat,” kata Bhau kepada VICE World News.
Dharavi terletak strategis dekat kawasan bisnis paling makmur di India, dan kontribusi ekonomi informalnya diperkirakan mencapai $1 miliar (setara Rp15 triliun). Perencana tata kota Bhaumik menyebut Dharavi lokasi penting di Mumbai, yang wilayahnya telah diperluas untuk mengatasi overpopulasi.
“Meningkatkan infrastruktur yang sudah ada di Mumbai lebih masuk akal daripada membangunnya di area baru,” tutur Bhaumik. “Dharavi yang seluas 210 hektar terletak di jantung kota, diapit kawasan bisnis internasional dan bandara. Wajar jika pemerintah ingin mengembangkan daerah ini.”
Namun, proyek ini menimbulkan sejumlah pertanyaan. “Bagaimana proyeknya terlaksana? Apa yang telah dipersiapkan untuk menampung begitu banyak warga yang terdampak, atau bagaimana caranya meyakinkan mereka supaya mau pindah ke tempat baru? Topik ini sangat sensitif di India,” Bhaumik menambahkan.
Di masa lalu, proyek penataan kota dan pembangunan permukiman baru bagi masyarakat yang kesulitan ekonomi kerap menimbulkan polemik karena terlalu lamban dan menjadi sarang korupsi. Program permukiman baru yang ditawarkan pun tak jarang berkualitas buruk.
Kepada Reuters, SVR Sriniva selaku CEO Dharavi Redevelopment Project, yang memimpin proyek pembangunan Dharavi, mengungkapkan rencananya membangun “kota di tengah kota” seluas 253 hektar dan menyediakan tempat tinggal bagi setengah penduduk Dharavi.
Tak semua warga Dharavi setuju dengan megaproyek ini, dan nasib yang tidak jelas selama dua dekade semakin membuat mereka frustrasi.
Raju Korde, yang mengepalai organisasi warga Dharavi Redevelopment Committee, mengungkap dari awal warga tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. “Menurut undang-undang yang berlaku, setiap program penataan kota wajib melibatkan warga. Tapi kenyataannya, kami tidak pernah diberi kesempatan seperti itu,” terangnya.
Dharavi mulanya merupakan kawasan permukiman nelayan, tapi kemudian kedatangan para perantau yang tinggal secara turun-temurun di sana.
Bhau mengatakan, penduduk migran yang tidak memiliki dokumen sah terancam digusur apabila proyeknya terlaksana. “Bisa-bisa mereka terpaksa tinggal di jalanan karena kehilangan rumah,” ujar Bhau.
Bhaumik sepakat bahwa perencanaan seharusnya mempertimbangkan kepentingan warga. “Dharavi sering disebut kawasan kumuh, padahal sebenarnya ekosistem itu membantu menghasilkan pendapatan melalui UMKM dan tenaga kerja migrannya,” jelasnya.
Oposisi Varsha Eknath Gaikwad berulang kali menyinggung kontroversi yang menyelimuti proyek infrastruktur garapan Adani, salah satunya pembangunan pelabuhan bernilai $900 juta (hampir Rp14 triliun) di negara bagian Kerala yang dituding menghancurkan mata pencaharian nelayan setempat. Proyek tambang batu bara milik Adani di negara bagian Jharkhand dan kota Goa juga diprotes habis-habisan. Begitu pula dengan proyek tambang batu bara dan kereta api di Australia yang didanai olehnya.
“Pertanyaannya, sudahkah pemerintah negara bagian Maharashtra (di mana Mumbai berada) mempertimbangkan langkah-langkah khusus yang dibutuhkan untuk memenuhi kepentingan warga Dharavi?” demikian bunyi twit Varsha.
Raju menegaskan warga Dharavi seperti dirinya tidak menentang proyek peremajaan sama sekali. Mereka hanya ingin memastikan haknya sebagai penduduk terpenuhi.
“Terutama bagi para pelaku UMKM yang tidak bekerja dalam kerangka hukum,” tuturnya. Menurut Raju, ketakutan terbesar mereka adalah proyek Adani tidak mementingkan kebutuhan warga Dharavi. “Apakah dia sudah punya solusi yang tepat untuk menyelesaikan segala masalah yang akan dihadapi selama proses peremajaan Dharavi?”
Srinivas telah mengakui kepadatan populasi Dharavi sebagai salah satu kendala proyeknya tak kunjung terlaksana. Laporan media lokal memberitakan, tak ada satu pun perusahaan yang menang tender karena visi pemanfaatan lahannya tidak memenuhi aspek kelayakhunian.
Matias Sendoa Echanove, pendiri kolektif desain perkotaan Urbz yang berbasis di Dharavi, menekankan rencana penataan kota yang tidak memikirkan kepentingan warga mustahil untuk terwujud.
“Menggusur permukiman dan mengusir sebagian besar penduduknya bukan solusi yang tepat,” ujarnya. “Yang dibutuhkan warga [Dharavi] bukanlah perombakan, melainkan keringanan pajak dan penyediaan infrastruktur yang lebih baik.”
Follow Pallavi Pundir di Twitter.